Anak Soshum, Anak Tiri Pendidikan?

0

Masih hangat rasanya di ingatan kita terkait statement terkait misi pembangunan 300 Fakultas Kedokteran baru di Indonesia, ditambah lagi dengan program beasiswa untuk anak 20.000 SMA belajar STEM (Science, Technology, Engineering and Mathematics)di luar negeri. Pernyataan-pernyataan ini diutarakan oleh calon presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto, dalam beberapa kesempatan dalam debat presiden. Pada Debat Kelima Calon Presiden 2024 yang diselenggarakan 4 Februari lalu, Prabowo mengklaim bahwa kita perlu “rebut teknologi” dengan cara mengirimkan anak-anak bangsa ke luar negeri. Baginya, mengirimkan para anak SMA untuk belajar STEM di negeri orang dan menambah fakultasnya di dalam negeri merupakan jalan keluar yang efektif demi ‘Strategi Transformasi Bangsa’. Namun, kenapa hanya anak-anak bangsa yang di bidang sains dan teknologi (saintek) yang mendapat penekanan?

Warganet Indonesia, terutama yang berlatar pendidikan ilmu sosial humaniora (soshum), kemudian heboh dengan pernyataan ini. Dalam debatnya, Prabowo sama sekali tidak menyebutkan bagaimana nasib anak-anak yang menggeluti bidang soshum ke depannya. Pun, nadanya begitu percaya bahwa Indonesia hanya akan bisa maju jika pengetahuan anak bangsa terfokus pada ilmu-ilmu saintek-sentris.

Prabowo terbilang memiliki sentimen yang kompleks terhadap ilmu soshum. Dengan fokusnya pada topik keamanan dan pertahanan dalam komentar-komentarnya di masa lampau—ditambah dengan masa jabatannya sebagai Menhan—Prabowo kerap kali dikritisi oleh punggawa-punggawa akademika dari ilmu soshum. Prabowo juga sering bersikap negatif terhadap jurnalis yang mengkritisi rekam jejak atau programnya. Tentunya, posisi Prabowo dalam menghadapi isu hak asasi manusia dan proses demokrasi menjadi titik empuk kritik dari kalangan ilmuwan soshum.

Akan tetapi, apakah Prabowo yang memulai semua drama penganaktirian soshum ini? Atau sejatinya pemandangan ilmu soshum sebelah mata berakar lebih jauh lagi?

Rekam Jejak Perkembangan Soshum di Indonesia

Meski kita sudah lama mencicipi reformasi yang memberikan banyak kebebasan bagi anak bangsa untuk memilih ilmu yang didalaminya dan karir yang didambakannya, penganaktirian ilmu sosial pernah tumbuh subur sebelum itu—terutama pada masa Orde Baru. Kala itu, sistem pendidikan yang ada begitu kental dengan indoktrinasi nilai-nilai pancasila dan UUD 1945 sesuai representasi yang diinginkan pemerintahan kala itu. Hal ini dilakukan agar para pelajar pun patuh, terlepas dari cabang pembelajaran mana yang mereka tempuh, dan mendistorsi “imajinasi sosial” dalam budaya masyarakat. 

Jika harus menarik garis ke belakang, mimpi buruk Orde Baru diawali oleh perspektif di mana pihak-pihak yang ada pada saat itu (baik presiden, para pengambil keputusan, dll.) adalah satu-satunya rezim yang bisa menyelamatkan Indonesia dari kehancuran. Sebegitu apokalipsnya pandangan mereka soal Indonesia sehingga lahir urgensi uniformalitas dalam pendidikan (lihat Loppies, 2023). Pembangunan yang digadang-gadang jadi misi utama Orde Baru itu tidak digiring untuk menghasilkan masyarakat yang berkualitas—mereka hanya menginginkan kuantitas. Dengan demikian, pendidikan moral yang tertanam dalam sistem pendidikan mereka menjadi “kedok” untuk mengontrol jumlah masyarakat yang lebih besar demi menciptakan homogenitas; masyarakat madani yang compliance terhadap kebutuhan-kebutuhan pemerintah. 

Sebut saja, mata pelajaran sejarah perjuangan bangsa (PSPB). PSPB sukses menjadi mata pelajaran yang terfokus pada peranan Angkatan Darat (AD) ketika melawan PKI dari 1965, serta materi-materi sejarah militer lainnya yang berusaha menanamkan legitimasi kekuasaan Orde Baru. Seharusnya, PSPB bekerja sebagai sarana mengembangkan karakter dari peserta didik. Namun, daripada mengembangkan, PSPB ini justru lebih “mencetak” cetakan watak yang telah di-desain pemerintah. Selain itu, ilmu-ilmu yang berakar dari positivisme merebak di kalangan masyarakat. Ada teori-teori tertentu yang lebih “diprioritaskan” untuk jadi objek khusus, dan ada juga yang termarginalisasi—seperti ilmu sosial. Sekalipun ilmu sosial tetap ada di masa Orde Baru, ia adalah produk yang dibuat dengan asas bahwa para peserta didik ini “menerima” ilmu sosial, dan tidak diberikan pondasi-pondasi fundamental yang ke depannya dapat digunakan untuk “menginterogasi” logika dasar zaman itu.

Pada Pilpres 2024 ini, ketambahan nuansa militer dan pertahanan a la kepribadian Prabowo yang ia bawa dari sebelum masa reformasi, apakah kita akan melihat deja vu atau mimpi buruk lain yang sedang diproses?

Dalam praktiknya sendiri, soshum—yang bagian dari ilmu sosial—tidak pernah berkembang secara otonom di mana pun. Karena pada akhirnya, mereka bisa “diproduksi” atau “disetir” secara struktural. Seringkali, itu terjadi secara tidak sadar—tetapi tak jarang pula dengan sadar pihak-pihak tertentu memanfaatkannya. Ketika ilmu sosial dikontrol oleh pemerintah, akan terbit cabang-cabang keilmuan yang lebih mampu menjawab kepentingan teknokrat, tetapi yang dilahirkan justru para “teknisi” sosial daripada “peneliti” sosial, karena mereka telah mematikan “imajinasi sosial” mereka terhadap budaya masyarakat dan sejarah, yang seharusnya tidak terpisahkan dari politik dan penting bagi perkembangan konstruktif sebuah bangsa.

Hal ini kemudian bertalian dengan stereotipe-stereotipe yang kerap kali kita jumpai seperti jumlah kelas dari jurusan IPA/MIPA yang lebih banyak daripada IPS di jenjang bangku SMA. Misalnya, di SMA Negeri 1 Kota Bogor. Pada SMAN tersebut, siswa-siswi yang mendapatkan bangku di jurusan IPA/MIPA jauh lebih banyak dan memiliki 8 kelas, dibandingkan jurusan IPS yang hanya memiliki kuota 1 kelas. Hal ini diikuti dengan label prestisiusnya jurusan IPA/MIPA tersebut, meski pada akhirnya banyak siswa-siswi yang memilih lintas jurusan pada jenjang universitasnya. Perkara begini tidak akan terjadi jika sejak awal tidak ada ilmu yang lebih “diprioritaskan” dan label prestisius itu tidak akan disematkan begitu saja karena semata-mata mereka lebih bisa menjawab kebutuhan-kebutuhan para pejabat di balik gedung-gedung tinggi. Bersyukurlah masa reformasi memberi ruang yang lebih luwes bagi para siswa-siswi ini untuk mencoba lintas jurusan di pendidikan lanjutannya.

Ini Zamannya Kolaborasi

Pada era yang penuh dengan banyak tantangan dinamis, tentunya, diperlukan jalan keluar yang adaptif demi menjawab tantangan-tantangan tersebut. Sebagai sebuah bangsa, Indonesia tetap membutuhkan keberadaan soshum dan juga saintek sebagai dua poros ilmu pengetahuan di tanah air. Pernyataan Prabowo alih-alih kontroversial sebab begitu dekat dengan duka lama warga Indonesia yang pernah dikekang secara struktural, yang berakar dari pendidikan yang diperolehnya. Selain itu, jalan keluar yang ia berikan juga tidak solutif. Dibanding membangun fakultas-fakultas STEM baru, mengapa tidak meratakan saja pendidikan terlebih dahulu? Jika menilik Angka Putus Sekolah per 2023/2024 saja, jumlah anak yang tidak dapat mengemban bangku sekolah wajib telah mencapai angka 76.834 orang. Universitas yang levelnya sudah pendidikan lanjutan memang krusial bagi negeri ini, tetapi, bila daya saing masyarakatnya saja tidak ada untuk melanjutkan pada kursi pendidikan lanjutan tersebut, apa masih tetap efektif membangun fakultas baru?

Lalu, daripada menganaktirikan soshum (dengan tidak menyebutkannya sama sekali dalam debat yang membahas tentang pendidikan), bukankah kolaborasi justru lebih menggiurkan untuk transformasi yang diharapkan memajukan bangsa Indonesia ini? Dengan memanfaatkan ilmu-ilmu STEM dalam pembangunan fisik yang infrastruktural, ilmu-ilmu sosial juga dapat membantu mendorong komunikasi dan kolaborasi yang lebih efektif antara berbagai pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, masyarakat sipil, dan sektor swasta. Cukup dengan memahami konteks ini saja, pembuat kebijakan dan peneliti dapat mengembangkan kebijakan dan program yang lebih efektif yang memenuhi kebutuhan dan aspirasi masyarakat Indonesia.

Zahra Shaffa adalah mahasiswi Ilmu Hubungan Internasional Universitas Padjajaran. Zahra dapat ditemui melalui Instagram dengan nama pengguna @zeeijare.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *