Impor Kereta Bekas Dicekal, Pesawat Tempur Bekas Disikat

0

Foto pesawat tempur Mirage 2000-5. Foto: Jack Guez/AFP

Pada tanggal 14 Juni 2023, Kementerian Pertahanan mengumumkan bahwa Indonesia akan membeli dua belas pesawat tempur Mirage 2000-5 bekas dari Qatar. Kementerian Pertahanan menyebut bahwa Indonesia membutuhkan peningkatan kapabilitas udara dalam mengatasi kekurangan pesawat siap tempur.

Pembelian apapun yang memiliki embel-embel “bekas”, terlebih lagi jika mengimpor bekas negara lain, kerap menjadi isu sensitif di Indonesia. Baru-baru ini juga, pemerintah juga memutuskan untuk membatalkan rencana impor gerbong Kereta Rel Listrik (KRL) untuk Commuter Line di Jabodetabek dan sekitarnya.

Lantas, mengapa impor pesawat tempur bekas tidak menimbulkan kontroversi dan dikritisi dalam derajat yang sama? Padahal, ini berkaitan dengan sesuatu yang juga penting bagi publik, yakni pertahanan negara.

Impor Mirage 2000-5: Solusi Sementara Yang Mahal

Pembelian pesawat tempur Mirage 2000-5 merupakan solusi sementara dari kekosongan armada tempur yang dialami TNI AU. Berdasarkan UU No. 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan, impor alutsista setidaknya harus memenuhi empat unsur. 

Pertama pembelian alutsista dilakukan apabila barang tersebut tidak dapat diproduksi dalam negeri. Kedua, pembelian dapat dilakukan apabila produsen luar negeri setuju untuk melibatkan industri strategis dalam negeri dalam prosesnya. Ketiga, pembelian dapat dilakukan apabila terdapat Transfer of Technology (ToT). Keempat, pembelian dapat dilaksanakan jika 85% dari nilai pembelian dapat diganti melalui kebijakan offset.

Mengacu kepada target Minimum Essential Force (MEF) yang semestinya dicapai pada tahun 2024, TNI AU adalah angkatan yang paling tertinggal dalam memenuhi target. Menurut Khairul Fahmi, TNI AU baru menyelesaikan 65% dari MEF. Hal ini diperparah dengan berbagai permasalahan yang dialami oleh pesawat tempur Indonesia. Uzurnya usia pesawat tempur menyulitkan pemeliharaan dan meningkatkan resiko terhadap pilot hingga membuat mereka tidak dapat digunakan.

Berdasarkan MEF, Indonesia seharusnya memiliki sepuluh skuadron pesawat tempur. Akan tetapi, sampai saat ini Indonesia hanya memiliki lima skuadron tempur. Pembelian pesawat tempur Rafale baru akan tiba pada tahun 2026. Hal ini wajar dikarenakan realisasi dari pembelian alutsista biasanya memerlukan waktu yang lama.

Di tengah kekosongan Rafale dan permasalahan yang dihadapi oleh TNI AU, pembelian dari Mirage 2000-5 menjadi suatu stop gap yang diambil pemerintah. Pembelian alutsista sebagai stop gap untuk mempertahankan kapabilitas pertahanan merupakan hal yang lumrah. Sebut saja Australia pernah membeli Boeing Super Hornet untuk mengatasi kekosongan Joint Strike Fighter atau F-35 hingga dapat diterima.

Terdapat dua keuntungan utama dari pembelian ini. Pertama dikarenakan Mirage 2000-5 berasal dari Dassault, perusahaan yang sama dengan Rafale, para pilot dan teknisi Indonesia akan mendapatkan pengalaman berurusan dengan pesawat tempur dari Prancis. Kedua, adalah waktu pengiriman yang cepat. Pembelian Mirage 2000-5 dari Qatar hanya membutuhkan waktu 24 bulan. Pengiriman yang cepat ini sangat dibutuhkan mengingat kondisi pesawat tempur Indonesia. Dalam hal ini, Mirage 2000-5 dari Qatar menjadi solusi sementara pemerintah terhadap permasalahan yang dihadapi TNI AU.

Namun, selain keuntungan yang didapatkan dari pembelian Mirage 2000-5, terdapat juga kerugian yang dialami. Hal ini berkaitan dengan usia pesawat. Mirage 2000-5 milik Qatar pertama kali dikirimkan pada tahun 1997. Dengan kata lain, usia pesawat tempur pertama Qatar ketika dikirimkan ke Indonesia sudah berumur 18 tahun. Semakin tua pesawat, biaya pemeliharaan dan risiko terhadap pilot akan semakin tinggi. Apalagi menurut TB Hasanuddin, Indonesia hanya akan mendapat dukungan pemeliharaan selama tiga tahun saja yang akan meningkatkan beban anggaran pertahanan. 

TB Hasanuddin juga menyebutkan bahwa pesawat Mirage 2000-5 hanya akan dapat beroperasi selama 10 tahun kedepan. Pembelian ini justru berlawanan dengan Pernyataan Prabowo terkait upaya mengatasi usia tua pesawat yang dimiliki oleh Indonesia. Selain itu pembelian Mirage 2000-5 akan menambah kompleksitas sistem pesawat tempur yang dimiliki oleh TNI AU.

Mirage 2000-5 dan Permasalahan Diversifikasi TNI AU

Pembelian Mirage 2000-5 menunjukan kembali pola pembelian alutsista oleh TNI AU. Semenjak embargo militer AS yang menyebabkan pesawat tempur TNI AU tidak dapat beroperasi, Indonesia telah melakukan diversifikasi alutsista. Kebijakan tersebut diambil dikarenakan paranoia terhadap ancaman embargo militer terhadap TNI.

Oleh karena itu, Indonesia saat ini memiliki pesawat tempur dengan berbagai sistem yang berbeda. Sebut saja, Indonesia akan mengoperasikan pesawat tempur dari lima negara termasuk dengan keberadaan dari Mirage 2000-5 ini!  Idealnya, Indonesia hanya memiliki pesawat tempur dari sedikit sumber yang berbeda dan memiliki tipe yang sama. Hal ini dikarenakan akan memudahkan pemeliharaan, interoperabilitas, dan rantai pasokan.

Selain itu, dikarenakan Indonesia hanya membeli dengan kuantitas yang sedikit, skala ekonomi yang didapatkan pihak produsen berada jauh di bawah. Skala ekonomi diartikan dengan penurunan biaya produksi dengan meningkatkan volume produksi. Dikarenakan Indonesia memiliki berbagai sistem yang berbeda dengan kuantitas yang kecil, justru meningkatkan beban terhadap anggaran pertahanan Indonesia.

Dapat dikatakan, keberadaan berbagai sistem yang dioperasikan TNI AU justru menghambat modernisasi yang dilakukan oleh TNI sendiri. Pembelian alutsista dalam rangka modernisasi membutuhkan biaya besar, apalagi untuk pesawat tempur. Ketika membicarakan pembelian pesawat tempur, apa yang dilihat bukan hanya harga awal, tetapi juga dengan pelatihan pilot dan teknisi, paket senjata, dukungan terhadap pemeliharaan, serta fasilitas dan peralatan terkait. Hal lainnya yang patut dicermati adalah biaya terbang pesawat tersebut.

Pesawat dan Kereta Bekas, Mengapa Berbeda?

Meskipun terdapat kritisisme dari beberapa anggota DPR, tetapi secara lebih luas pembelian pesawat tempur Mirage 2000-5 ini tidak begitu dikritisi, lain halnya dengan impor KRL. Hal ini memiliki beberapa latar belakang yang dapat dipahami.

Dalam kondisi saat ini, industri strategis dalam negeri Indonesia tentu belum mampu memproduksi pesawat tempur jet sendiri. Kemampuan industri strategis Indonesia masih terbatas pada pesawat baling-baling, kebanyakan untuk komersil. Selain itu, Indonesia juga dapat memeroleh keuntungan ToT dari pembelian ini. 

Sementara itu, Indonesia sudah memiliki BUMN yang dapat memproduksi gerbong kereta, yakni PT. Industri Kereta Api (INKA). Meski dengan kualitas, waktu, dan harga yang dipersengketakan, tetapi setidaknya PT. INKA bisa memproduksi gerbong kereta. Hal ini berarti terdapat argumen untuk menggantikan impor KRL bekas dengan produk domestik yang perlu diperhatikan. 

Akan tetapi, terdapat kesamaan aspek lainnya, yang darinya kita dapat menarik beberapa inferensi, yakni aspek harga dan impor sebagai stop gap.

Untuk membeli 12 pesawat tempur Mirage 2000-5, harga USD 792 juta atau Rp11,2 triliun yang digelontorkan oleh Kemhan terbilang mahal. Hal ini mengingat kurang dari dua tahun yang lalu India juga membeli 24 pesawat tempur Mirage 2000-5 bekas dari Prancis seharga EUR 1 miliar per pesawat, meski tidak semuanya dalam kondisi prima, dengan tambahan perlengkapan sehingga mencapai EUR 27 juta. EUR 27 juta, berdasarkan kurs saat ini berarti sekitar USD 29,5 juta. Sementara itu, dengan harga dari Kemhan, hal ini berarti Indonesia membayar USD 66 juta per pesawat. Tentu detail dari perjanjian keduanya memiliki sifat yang berbeda, tetapi setidaknya kita tahu bahwa pesawatnya setipe, sehingga bisa menjadi pegangan untuk mengkritisi. Apalagi, menimbang harga setinggi itu hanya untuk keperluan stop gap.

Di sisi lain, impor satu rangkaian gerbong atau trainset KRL bekas dari Jepang disebut hanya memakan biaya Rp150 miliar. Dibandingkan dengan trainset yang sepenuhnya baru dari PT. INKA yang memakan biaya hampir Rp4 triliun, tentu harga tersebut sangat murah. Keperluan ini juga bukan merupakan solusi permanen, melainkan hanya berupa stop gap untuk menambal kekurangan selagi menunggu rangkaian kereta dari PT. INKA yang baru akan jadi di 2025. Meski dengan pertimbangan tersebut, impor KRL bekas pada akhirnya dibatalkan.Pembelian Mirage 2000-5 eks-Qatar, kemudian, tentu menjadi subjek yang tidak kalah penting untuk dikritisi dibanding impor KRL eks-Jepang. Keduanya sejatinya berkaitan dengan hajat orang banyak, meski dalam dimensi yang berbeda: transportasi publik dan keamanan bersama. Kedepannya, diharapkan diskursus dan kritisisisme terhadap pemberlian alutsista bisa se-mainstream diskursus terkait transportasi publik di Indonesia.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *