IPEF dan Kontestasi AS-Tiongkok: Menilik Upaya ASEAN dalam Mempertahankan Sentralitas

0

Ilustrasi IPEF. Foto: East Asia Forum

Transformasi positif di kawasan Indo-Pasifik memantik arena kontestasi baru bagi raksasa ekonomi dunia—Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok. Pada 2022 silam, Joe Biden (AS) menginisiasi cita-cita ambisius untuk “…membangun ketahanan, keberlanjutan, inklusivitas, dan pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia Pasifik…” (USTR, 2023) dengan menggalang sekutu-sekutu Asia melalui Indo-Pacific Economic Framework for Prosperity (IPEF), sebuah pengaturan regional yang dipimpin oleh AS untuk membangun integrasi ekonomi di Indo-Pasifik (Xin & Jun, 2022). Walau IPEF diklaim oleh AS hadir atas basis ekonomi, Penulis menilai bahwa langkah tersebut juga merupakan strategi sekuritisasi geopolitik AS untuk mengimbangi pengaruh Tiongkok yang semakin masif di kawasan ini.

Eskalasi tensi rivalitas AS-Tiongkok ini pada gilirannya menempatkan ASEAN pada posisi dilematis: pada satu sisi, Tiongkok dan AS merupakan mitra strategis rantai pasokan global, sehingga memutuskan relasi (decoupling) dengan keduanya bukanlah opsi. Pada sisi lain, netralitas ASEAN sangat perlu untuk dipertahankan di tengah dinamika kontestasi geopolitik di kawasan Indo-Pasifik, sehingga memihak ke satu sisi pun jelas bukan solusi yang optimal. Tulisan ini dimaksudkan untuk mencapai dua hal, yakni: 1) mengurai konteks inisiasi IPEF oleh AS di tengah rivalitasnya dengan Tiongkok; dan 2) merekomendasikan bagaimana seharusnya ASEAN bersikap di tengah kontestasi ini.

Menurut penulis, inisiasi IPEF merupakan bentuk strategi AS untuk menjaga keseimbangan kekuatan (balance of power) di kawasan Indo-Pasifik. Dengan memberikan alternatif ekonomi dan investasi kepada negara-negara di kawasan, AS dapat memengaruhi keputusan politik dan ekonomi negara-negara Asia Pasifik, sehingga mengurangi dependensi mereka pada Tiongkok—dengan mega proyek Belt and Road Initiatives—sebagai opsi ekonomi dominan (Dapice, 2022). Secara historis, AS telah bekerja sama dengan negara-negara di kawasan Indo-Pasifik, termasuk anggota ASEAN, untuk memperkokoh hubungan ekonomi dan keamanan mereka, seperti melalui AUKUS, QUAD, Trans-Pacific Partnership (TPP), dan ASEAN-U.S. Trade and Investment Framework Agreement (TIFA).

Dengan membangun kemitraan yang kuat, AS dapat mengakselerasi lebih banyak dukungan dalam usahanya untuk menggeser Tiongkok sebagai hegemon di Asia-Pasifik. Sejauh ini, IPEF telah beranggotakan 14 negara, dengan 7 diantaranya merupakan anggota ASEAN. Dalam konteks ASEAN, hal ini menimbulkan problematika serius soal eksklusivitas. Tidak melibatkan tiga anggota ASEAN—Kamboja, Laos, dan Myanmar dalam kerangka kerja ini, akan mempersulit konvergensi standar dan aturan yang telah berusaha dicapai oleh ASEAN dengan inisiatif ASEAN Plus (Negara & Wihardja, 2023), sekaligus berpotensi memecah ASEAN menjadi blok bipolar baru yang saling berkontestasi. 

Penulis meyakini bahwa strategi terbaik yang dapat ASEAN tempuh dalam merespons kontestasi AS-Tiongkok adalah dengan memastikan netralitasnya. Hal ini didukung oleh dua argumentasi. Pertama, AS dan Tiongkok sama-sama mitra strategis ASEAN. Dalam rentang 2000-2022, perdagangan ASEAN dengan AS melonjak dari 135,1 miliar US$ menjadi 452,2 miliar US$. Pada sisi lain, perdagangan antara ASEAN dan Tiongkok mencapai 975,3 miliar US$ pada tahun 2022, meningkat 24 kali lipat dari tahun 2000 (Abadi & Al-Fadhat, 2023), sehingga memihak ke salah satu atau decouple dari keduanya tentu tidak benefisial bagi arsitektur keamanan Asia Tenggara. Untuk mengantisipasi hal tersebut, ASEAN dapat melakukan hedging—usaha untuk menyelaraskan (aligning) dengan ancaman atau kontestasi kekuatan besar (Zhang, 2023). Alih-alih berpihak pada satu kekuatan besar, ASEAN bisa berusaha memperkuat hubungan dengan Tiongkok dan AS untuk meminimalisasi risiko dependensi pada satu negara, sekaligus mempromosikan perdamaian, membina kerja sama, dan meningkatkan keterlibatan dengan komunitas internasional. Upaya hedging ini linear dengan AOIP (ASEAN Outlook on Indo-Pacific), sebuah inisiatif ASEAN untuk menempatkan ASEAN sebagai aktor sentral dalam Indo-Pasifik dan memaksimalkan peluang di kawasan (ASEAN, 2020).

Kedua, netralitas ASEAN merefleksikan proses Regional Security Complex (RSC). Merujuk pada Buzan & Waver (2003), RSC merupakan situasi kompleks ketika masalah keamanan sekelompok negara saling terkait erat (pada titik ini, terjadi interdependensi keamanan), sehingga tidak dapat diekstraksi atau ditangani secara independen satu sama lain. Interdependensi AS dan ASEAN membuat keduanya menjadi bagian integral dalam problematika di Asia Pasifik. Dalam konteks RSC, ASEAN perlu mempertahankan sentralitasnya dengan memposisikan diri di antara AS dan Tiongkok sebagai mediator dan aktor buffer. Buffer merujuk pada negara atau wilayah yang berfungsi untuk mengurangi atau mencegah eskalasi konflik langsung antara dua kekuatan yang bertentangan (Luo, 2021). Posisi ASEAN yang netral mendukung mekanisme ini menjadi opsi yang optimal karena sejumlah alasan berikut, yakni: (1) memberikan informasi yang tidak memihak; (2) memediasi untuk deeskalasi konflik, dan (3) menguraikan jalur kolaborasi yang relevan. Penulis meyakini bahwa strategi ini berpeluang besar untuk membawa perdamaian di kawasan, sekaligus merevitalisasi reputasi ASEAN sebagai institusi penyangga dalam konstelasi rivalitas AS-Tiongkok.

Dengan demikian, konstelasi politik di kawasan Indo-Pasifik merefleksikan kekuatan geopolitik yang anarkis. Penulis meyakini IPEF bukan hadir (sebatas) alasan integrasi ekonomi regional di Asia-Pasifik, tetapi juga manifestasi kecemasan AS akan hegemoni Tiongkok. Pada masa yang akan datang, eskalasi rivalitas Tiongkok-AS di kawasan tersebut pun akan menguji netralitas dan sentralitas ASEAN sebagai badan regional.

Referensi

Abadi, F. A., & Al-Fadhat, F.. The Influence of Indo-Pacific Economic Framework on Peace Stability in The ASEAN Region. Jurnal Global & Strategis, 17(1), 33–50. https://doi.org/10.20473/jgs.17.1.2023.33-50.  (2023)

ASEAN. ASEAN Outlook on The Indo-Pacific. https://asean.org/asean2020/wp-content/uploads/2021/01/ASEAN-Outlook-on-the-Indo-Pacific_FINAL_22062019.pdf. (2020)

Buzan, B., & Ole Waver. Regions and Powers The Structure of International Security. Cambridge University Press. (2003)

Dapice, D. Indo-Pacific Economic Framework holds value, but it’s unclear if it will counter China’s influence says Senior Economist David Dapice. Harvard.edu. https://ash.harvard.edu/indo-pacific-economic-framework-holds-value-it%E2%80%99s-unclear-if-it-will-counter-china%E2%80%99s-influence. (2018)

Luo, S. ASEAN Running Out of Time to Recast Role as Buffer in US-China Great Power Competition. Brookings. https://www.brookings.edu/articles/asean-running-out-of-time-to-recast-role-as-buffer-in-us-china-great-power-competition/. (2021)

Negara, S. D., & Wihardja, M. M. IPEF’s Relevance for ASEAN. FULCRUM. https://fulcrum.sg/aseanfocus/ipefs-relevance-for-asean/#:~:text=ASEAN. (2023)

USTR. Indo-Pacific Economic Framework for Prosperity (IPEF). United States Trade Representative. https://ustr.gov/trade-agreements/agreements-under-negotiation/indo-pacific-economic-framework-prosperity-ipef. (2023)

Xin, L., & Jun, X. Biden to Peddle New Economic Framework in Asia as “Geopolitical Tool” to Counter China. Global Times. https://www.globaltimes.cn/page/202205/1266105.shtml. (2022)

Zhang, J. Rebuilding Strategic Autonomy: ASEAN’s Response to US–China Strategic Competition. China International Strategy Review. https://doi.org/10.1007/s42533-023-00128-3. (2023)


Muhammad Raafi adalah mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional di Universitas Gadjah Mada. Dapat ditemui di Instagram dengan nama pengguna @muhhraafi

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *