Wawancara Putin, Pemilu AS, dan Iliberalisme Global

0

Tucker Carlson mewawancarai Presiden Putin (Gavriil Grigorov/Sputnik, Kremlin Pool Photo via AP)

Setelah dua tahun invasinya ke Ukraina, untuk pertama kalinya Putin diwawancarai oleh jurnalis AS. Sepanjang dua jam wawancaranya tersebut, untuk saya, tidak ada informasi yang sama sekali baru terkait invasi Rusia ke Ukraina. Semuanya masih sama. Ukraina sebagai suatu bagian dari Rusia secara historis, neo-Nazisme yang muncul di Ukraina, tidak kooperatifnya negara-negara Barat terhadap penyelesaian konflik, dan miskalkulasi AS terkait dukungannya terhadap Ukraina. 

Saya kira, pernyataan-pernyataan semacam ini telah disampaikan oleh Putin di berbagai kesempatan. Juga sudah sering dikutip berulang kali oleh berbagai media. Untuk itu, agak musykil untuk membayangkan seorang jurnalis sekaliber Tucker, yang sudah malang melintang di dunia jurnalisme AS, sama sekali awam terhadap hal ini. Fakta bahwa dia juga sama sekali tidak melakukan cross check terhadap pernyataan Putin selama wawancara juga mungkin membuat orang banyak mengernyitkan dahi. Wawancara ini untuk apa sebenarnya? Apakah hendak memberi ruang bebas pendapat dan menggali informasi yang sesungguhnya terhadap motif dan niat Rusia menginvasi Ukraina? Ataukah ada alasan lain dibaliknya?

Tucker: Visi Sayap Kanan dan Persepsinya terhadap Kepemimpinan AS

Pada tempat pertama, sebagai suatu catatan utama, argumentasi saya terhadap wawancara Tucker-Putin adalah persoalan politis. Alih-alih menggali informasi, wawancara ini adalah suatu ruang proyeksi visi ideologis kedua orang ini. Walaupun keduanya tidak memiliki ideologi yang serupa, kepentingan mereka nampak bersinggungan di sini. Di tempat pertama, ada Tucker dan visi sayap kanan berikut nasionalisnya. Kedua, ada Putin dan visi iliberalisme dan kepentingannya untuk mengubah pola kebijakan AS ke Ukraina. Persinggungan kedua visi ini bersentuhan pada aras iliberal. 

Definisi saya terhadap visi liberal di sini cukup generik, terlebih untuk konteks AS. Visi ini mengutamakan keterlibatan kuat nan kontributif terhadap situasi internasional sekaligus kepercayaan bahwa keterlibatan ini akan menguatkan kemakmuran dan kemajuan kondisi domestik. Dalam potongan video di Economic Times, Tucker cukup jelas merepresentasikan visi yang kontras dengan ini. Ketika ditanyakan alasan mengapa ia melakukan wawancara dengan Putin, ia menjelaskan bahwa keseluruhan kebijakan dan kepemimpinan AS sekarang itu buruk dan membawa bencana bagi kondisi domestik AS (lih. Economic Times, 2024). Ia bahkan tidak segan mengkritik Biden dan menyatakan bahwa ia menjalankan tanggung jawabnya sebagai warga negara dalam mengawasi jalannya pemerintahan. Untuk itu, tidak mengherankan bahwa wawancaranya dengan Putin terkait penyelesaian konflik dan keterlibatan NATO, Tucker secara cerdik dan tendensius untuk mengarahkan bahwa problem ini bisa saja berakar pada ketidakmampuan pemerintah AS saat ini untuk menyelesaikan persoalan. Putin cukup senang untuk menjawab pertanyaan ini tentu saja.

Visi Tucker tentu saja cukup sederhana. Ia ingin AS fokus pada persoalan domestik. Meminimalisasi keterlibatan internasionalnya. Visi semacam ini, menariknya, sedang marak di AS saat ini. Munculnya kembali Trump dalam pemilu AS belakangan dan kemenangan telaknya di beberapa wilayah AS setidaknya mencerminkan keadaan semacam ini. Bangkitnya kembali gerakan sayap kanan nan nasionalis dalam peta politik AS. Persoalan apakah Tucker sedang menjadi agen kampanye Trump atau tidak, untuk saya adalah persoalan lain. Persoalan yang lebih penting adalah visi semacam ini mendapat resonansi yang positif dan signifikan oleh banyak masyarakat AS. Persis di konteks ini, untuk saya, wawancara Tucker-Putin mesti didudukkan.

Putin: Pahlawan Iliberal Global dan Memudarnya Tatanan Dunia Liberal

Nilai penting wawancara ini berkaitan dengan proyeksi visi iliberal Putin. Berulang kali dalam wawancara tersebut ia menempatkan Rusia sebagai korban dari keculasan negara-negara Barat, baik itu dari NATO, Uni Eropa, maupun miskalkulasi AS. Diskursus semacam ini punya fungsi ganda pada dua lokus, domestik maupun internasional. Penerimaan terhadap diskursus semacam ini, menariknya, justru diiringi sorak sorai secara domestik maupun internasional.

Pada lokus domestik, penting untuk mencatat kondisi struktural di mana Putin menjadi penguasa di Rusia. Ia muncul sebagai solusi atas krisis struktural Rusia paska Uni Soviet. Dalam sejarah Rusia, akar persoalan ini secara dominan terjelaskan sebagai penyebab dari penerapan liberalisasi di Uni Soviet masa Yeltsin (lih. Oktaviano dan Agussalim, 2023). Krisis ini menjadi latar kenaikan Putin dan memberinya suatu latar ideologis terhadap legitimasi kekuasannya ke depan. Sejarah mencatat Putin memang bukan orang yang setia terhadap ideologi tertentu, tetapi secara dominan menggunakan diskursus iliberal dan anti-Barat untuk melegitimasi kekuasaannya. Berbagai varian doktrin seperti demokrasi berdaulat atau bahkan diskursus berulang bahwa Rusia secara genetik (Russia’s soul) adalah patriotik dan punya tradisi negara kuat (super centralized state) adalah contoh konkret.

Hal-hal ini banyak mendapat penerimaan karena dua kondisi, di samping infrastruktur kekuasaan koersif yang dia rancang tentu saja. Pertama, selain ranah ideologis, Putin juga berhasil membawa kemakmuran untuk masyarakat Rusia dengan memanfaatkan sektor metalurgi Rusia berkat naiknya harga minyak di awal 2000-an. Kedua, mayoritas masyarakat Rusia di saat ia naik merupakan masyarakat yang mengalami langsung buruknya penerapan ide liberalisme di Rusia. Kedua kondisi ini memperkuat penerimaan terhadap diskursus liberal di Rusia. Untuk itu, saya kira tidak mengherankan jika ide-ide liberal semacam LGBTQ sulit mendapat tempat di Rusia. Pada konteks invasi Rusia ke Ukraina, diskursus ini juga yang direproduksi terus menerus dan diterima luas oleh masyarakat Rusia.

Sementara itu, pada lokus internasional, kita mesti sedikit berputar pada situasi internasional paska Perang Dingin. Muncul sebagai hegemon tunggal, manuver-manuver AS yang ingin memperkuat posisinya, alih-alih memperkuat liberal based order, justru berdampak sebaliknya. Kebijakan War on Terror dan visi pembangunan berikut stabilitas politik untuk kepentingan ekonomi justru berkontribusi terhadap naiknya sentimen iliberal di banyak negara. Di negara-negara dunia ketiga misalnya, Indonesia salah satunya, negara diberi kebebasan, dan bahkan mendapat dorongan struktural tertentu, untuk mengkriminalisasi kelompok tertentu atas nama perang atas teror (Hadiz, 2004). 

Bersamaan dengan itu, manuver-manuver unilateral AS di Timur Tengah dan sikap permisifnya terhadap kemunculan negara kuat di berbagai negara dunia ketiga demi stabilitas politik dan karenanya ekspansinya kapitalnya justru berkontribusi besar terhadap munculnya sentimen populis sayap kanan di berbagai negara. Mahatir Muhammad, Megawati, dan Thaksin memanfaatkan sentimen populis nasionalis (anti-asing) untuk menaikkan elektabilitas mereka. Pada praktiknya, berbagai tokoh yang telah disebutkan di muka tidak betul-betul anti asing. Namun, pada ranah masyarakat, ide-ide nasionalis justru semakin menguat. Tidak sedikit ini menjelma pada sentimen benci terhadap Barat, terutama AS. Dukungan selektif negara-negara Barat terhadap kasus Palestina dan Ukraina semakin memperkuat ini.

Hal ini secara signifikan memosisikan Putin sebagai sosok ikonik penentang hegemoni Barat (Laruelle, 2013). Putin digadang-digadang bisa membawa perubahan bagi dunia yang lebih baik; meski pada faktanya dia sama sekali tidak punya visi yang betul-betul alternatif terhadap tatanan global. Hal ini misalnya bisa dilihat di komentar-komentar youtube wawancara Tucker-Putin. Tidak sedikit yang memuji Putin dan keberaniannya. Banyak juga yang membandingkan keterusterangan Putin dan kemunafikan AS atau negara Barat lainnya. Di Indonesia misalnya, meski telah terbukti melakukan propaganda media serius di media lokal Indonesia (Remotivi, 2023), penerimaan secara masif terhadap Putin berbagai manuvernya justru menunjukkan masifnya ide-ide nasionalistik nan machoistik di Indonesia (Dharmaputra, 2023).

Melalui wawancara ini, kita bisa melihat, sekali lagi, Putin mendapat panggung untuk memproyeksikan visi politik berikut melegitimasi manuvernya ke Ukraina. Bahkan, boleh jadi, visinya ini beresonansi dengan pemilih AS dan akan kembali memenangkan Trump. Secara historis, Trump tidak ingin begitu terlibat dengan isu Rusia-Ukraina ini dan mencitrakan diri sebagai orang yang punya kedekatan dengan Putin. Ujungnya, tentu saja, perubahan kebijakan bantuan AS ke Ukraina. Fakta bahwa keterlibatan AS di isu Israel-Palestina belakangan menurunkan citranya berikut liberal based world order yang kerap dilekatkan padanya justru semakin memberi karpet merah untuk Putin.

Pada akhirnya, wawancara Tucker-Putin ini tidak banyak memberi hal baru terkait hubungan Rusia-Ukraina. Alih-alih demikian, untuk saya, wawancara tersebut justru menjadi semacam indikasi terhadap keadaan politik domestik global belakangan, yaitu naiknya berbagai gelombang iliberal dan nasionalistik. Tren pemilu secara global menunjukkan itu, lihat misalnya Pakistan, Ekuador, Argentina, dan beberapa negara di Afrika. Meski melalui proses yang nampak demokratis, ide-ide nasionalistik dan iliberal justru banyak mendapat resonansi yang kuat. Keadaan politik Indonesia dengan kemunduran demokrasi dan literasi digital yang rendah membuat negara ini menjadi sasaran empuk untuk penyebaran visi illiberal selanjutnya.

Referensi

Dharmaputra, Radityo. “ Non-Western Response to Russia’s War in Ukraine: Learning from Indonesia,” dalam Journal of Regional Security, pp.51-60. 2023

Economic Times. Tucker Carlson Reveals Why He Interviewed Russian Presiden Vladimir Putin. Diakses 13 Februari 2024.

Hadiz, Vedi. “The Rise of New Third Worldism? The Indonesia Trajectory and the Consolidation of Illiberal Democracy,” dalam Thirld World Quarterly, Vol. 25. No.1, pp. 55-71. . 2004.

Laruelle, Marlene. “Conservatism as the Kremlin’s New Toolkit: an Ideology at the Lowest Cost,” dalam Russian Analytical Digest, No. 138, pp.2-5. 2013Oktaviano dan Agussalim, “Behind Russia’s Invasion in Ukraine: The Clash of Different Mode of Capitalism,” dalam Global; Jurnal Politik Internasional: Vol.25, No.2, pp.54-94. 2023

Nandito Oktaviano adalah lulusan sarjana Ilmu Hubungan Internasional dari Universitas Hasanuddin. Nandito dapat dikontak melalui ditoguntur10@gmail.com

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *