Islam Hadhari dalam Politik Luar Negeri Malaysia

0

Perdana Menteri Malaysia Abdullah Ahmad Badawi (kiri) dan Presiden Amerika Serikat George W. Bush (kanan) dalam pertemuan di tahun 2005 lalu. Foto: the White House

Pandangan sekularis yang menyatakan bahwa agama mesti diprivatisasi dan dipisahkan dari kehidupan publik tidak hanya eksis di dalam ranah domestik, tetapi juga berdampak ke politik luar negeri. Menurut Achmad Djatmiko dalam Kebangkitan Agama dan Prasangka Sekuler dalam Kajian Hubungan Internasional, karena dominasi pandangan sekuler, peran agama masih belum terlalu dibahas dalam kajian Hubungan Internasional sebagai sebuah ragam keilmuan. Meskipun demikian, bahasan mengenai peran dan esensi agama sebagai sebuah faktor yang berpengaruh malah makin mencuat. Proses modernisasi yang diramalkan akan menyebabkan berkurangnya peran agama seiring dengan masyarakat yang mengadopsi rasionalitas, tidak benar-benar terjadi. 

Hadirnya berbagai organisasi dan rezim internasional yang berlandaskan pemahaman keagamaan, seperti Organisasi Kerjasama Islam (OKI) hingga Religion Forum 20 (R20) menunjukkan fenomena kontemporer saat agama mulai diakomodasi. Meskipun  demikian, pengerdilan agama sebelumnya justru menampilkan tantangan berupa munculnya berbagai kelompok ekstrimis-religius, semisal ISIS di Timur Tengah. Perihal ini membebankan para aktor yang terlibat untuk mencari jawaban: bagaimana agama dapat mengambil peran dalam membangun jalan perdamaian? Utamanya oleh negara sebagai aktor yang memainkan peranan penting dalam politik internasional. Salah satu contohnya adalah Malaysia sebagai negara mayoritas muslim.  

Pengaruh Islam Hadhari di Malaysia

Sebagai agama resmi persekutuan, Islam memegang peran penting dalam aspek sosial-kemasyarakatan Malaysia. Beragam pandangan pun hadir, akan tetapi aktor pemerintah memiliki interpretasi sendiri yang kemudian berupaya diselaraskan dengan kepentingan negara. Pada masa mantan perdana menteri Abdullah Ahmad Badawi, interpretasi ini diberi nama Islam Hadhari.

Secara etimologis, kata “hadhari” berakar pada kata bahasa Arab yang diartikan sebagai peradaban atau tamadun. Adapun istilah Islam Hadhari sendiri bermaksud pada Islam yang menekankan aspek peradaban (civilizational Islam). Istilah “Islam Hadhari” tidak sepenuhnya lahir di Malaysia. Hal ini diutarakan Muhamad Ali dalam Malaysia’s Islam Hadhari and the Role of the Nation-State in International Relations, bahwa istilah tersebut sempat digunakan di kesempatan lain, seperti oleh Muhammad ‘Abid al-Jabiri untuk mendeskripsikan suatu pendekatan Muslim terhadap demokrasi dan bagaimana peradaban Islam dan Barat hidup berdampingan.

Alih-alih dideklarasikan sebagai suatu pendekatan formal, para penggagas Islam Hadhari mengklaim bahwa ide ini difokuskan pada isu substantif yang tetap mengacu pada tujuan pensyariatan (maqasid al-syariah), yakni perlindungan agama, jiwa, akal, kepemilikan, serta keluarga. Dibandingkan dengan gagasan lain yang serupa, seperti Islam Nusantara di Indonesia, Islam Hadhari berfokus pada modernitas dan pembangunan manusia. 

Pada esensinya, Islam Hadhari meliputi sejumlah pemikiran utama: (1) iman dan ketaatan kepada Allah; (2) kebebasan dan kemerdekaan individu/rakyat; (3) penguasaan iptek secara optimal; (4) kualitas hidup yang baik; (5) kapabilitas pertahanan yang kuat; (6) pemerintahan yang adil dan amanah; (7) pembangunan ekonomi yang berimbang dan komprehensif; (8) perlindungan hak asasi kelompok minoritas dan perempuan; (9) integritas moral dan budaya; serta (10) penjagaan sumber daya alam dan lingkungan.

Sebagai buah pemikiran Badawi, gagasan Islam Hadhari hadir sebagai hasil  progresivisme Islam di Malaysia. Dalam konteks domestik, United Malays National Organization (UMNO) sebagai partai berkuasa pada masa itu berkepentingan untuk melanggengkan kekuasaan Melayu-Islam, namun justru ditantang oleh pemikiran Islam politis di Malaysia yang terutama berasal dari Parti Islam se-Malaysia (PAS). Meskipun seolah tidak memiliki audiens yang berarti di dalam negeri, ide ini disambut banyak pihak dari warga global. 

Berlandaskan sepuluh pemikiran tersebut, Badawi tidak hanya hendak membentuk narasi (resmi) Islam ala pemerintah UMNO dalam konteks kepentingan nasional, namun juga internasional. Melalui gagasan ini, Badawi beserta rekan-rekannya bermaksud untuk “memberdayakan Muslim untuk menghadapi tantangan global masa ini”. Selain itu, Global War on Terror pasca serangan 11 September yang dicanangkan oleh pemerintahan AS saat itu berdampak pada berbagai tudingan ajaran teror terhadap kaum Muslim sedunia. Mentalitas us vs them dan upaya “mendisiplinkan” wacana keislaman yang diutarakan mantan presiden Negeri Paman Sam tersebut, George Walker Bush melalui pernyataannya yang tenar, “either you are with us, or against us”, memantik berbagai respons dari dunia Muslim, tak terkecuali Malaysia. Islam Hadhari pun digadang sebagai gagasan yang mampu merespons tuduhan AS dan berupaya mempromosikan narasi Islam yang damai. 

Lebih lagi, peran Islam Hadhari terlihat saat dikenalkan melalui pertemuan tingkat tinggi OKI, tepat ketika Badawi mengharapkan memunculkan pintu dialog peradaban Islam-Barat. Mengutip Terence Chong dalam The Emergence Politics of Islam Hadhari, hadirnya model Islam Hadhari dinilai sebagai formulasi sintesis dari proses pemikiran panjang pengalaman UMNO untuk mengakomodasi dan menyeimbangkan narasi Islam yang kerap dibawa oleh PAS, serta berupaya membentuk imaji yang positif dari luar Malaysia.

Hadhari dan Politik Luar Negeri Era Badawi

Apa yang digagas oleh Islam Hadhari sendiri senada dengan pandangan Islam wasathiyah (moderat). Oleh karenanya, Islam Hadhari berkorelasi dengan pandangan dari dunia Islam yang lain dalam konteks pemikiran. Sebagai penggagas, Badawi memiliki kedudukan penting dalam hal ini. Misal saja, ia pernah mengajak negara (dengan peradaban) Barat bersama dengan para anggota OKI untuk mengeksplorasi common ground dari kedua dunia tersebut, khususnya dalam isu keadilan dan penghormatan manusia. 

Secara politik, Islam Hadhari termasuk pemikiran yang tetap memelihara nilai-nilai Islam namun juga bergerak harmonis dengan sistem demokrasi. Badawi sempat mencontohkan bagaimana Islam Hadhari mendorong nilai musyawarah atau upaya pembangunan konsensus guna menuntaskan problem. Bila dilihat dari konteks Clash of Civilizations-nya Samuel Huntington, Islam Hadhari diharapkan dapat mengurangi potensi terjadinya “konflik peradaban”. Walau terdapat kemungkinan perseteruan, Islam Hadhari mendorong upaya dialog yang saling menghormati dan memahami. Misal lain terkait dengan hubungan Malaysia-AS, Islam Hadhari sempat disanjung sebagai contoh dalam mengampanyekan sikap toleransi. Hal ini bisa ditelusuri semenjak AS dan Malaysia bersama-sama melawan terorisme dan mengembangkan kemitraan strategis. 

Di lain hal, sebagai gagasan yang dicetuskan langsung oleh perdana menteri, Islam Hadhari boleh dikata menjadi nafas dari kebijakan Badawi. Secara ekonomi, upaya pengentasan kemiskinan disampaikan Badawi dan dikorelasikan dengan konsep adil (‘adl) dalam Islam. Atas prinsip ini pula Badawi berfokus pada pembangunan manusia (semisal sains dan literasi) dan peduli pada negara-negara Muslim lain–umat Muslim secara keseluruhan–yang mayoritas masih berkembang. 

Melalui kontribusinya di OKI dan banyak negara lain, Badawi memposisikan diri sebagai penggerak di kancah global. Bagi pasar internasional, ia mempromosikan industri produk halal serta kerja sama dalam pengembangan sains dan teknologi. Dalam konteks pendidikan, kerja sama antara perguruan tinggi Islam dan Barat berusaha dijajaki. Adapun dalam isu keamanan, Islam Hadhari menjadi antitesis dari ekstrimisme dan aksi terorisme yang kemudian diejawantahkan melalui pertemuan OKI mengenai terorisme, hingga pendirian Southeast Asia Regional Center for Counter-Terrorism (SEARCCT).

Gagasan Hadhari Kini dan Nanti

Kontribusi utama Islam Hadhari bagi politik luar negeri Malaysia agaknya memang berkutat di seputar nilai bersama alih-alih perubahan struktural dan formal yang berarti. Badawi, sebagai pemimpin pemerintahan, berhasil memanfaatkan konsep ini untuk kepentingan nasional maupun mancanegara. Islam Hadhari diarahkan sebagai referensi etika dalam mengutarakan isu-isu kontemporer, termasuk ekonomi, keamanan, hingga resolusi konflik. Di masa saat kaum Muslim dianggap terbelakang dan keras, gagasan ini menjadi refleksi yang menyegarkan pemikiran masyarakat dunia karena upayanya dalam menyokong Islam yang progresif, demokratis, dan cinta perdamaian. 

Pada kelanjutannya, konsep ini memang tidak dilanjutkan secara eksplisit oleh perdana menteri sesudah Badawi. Sebagai agenda pengembangan wacana yang masih terus digali, konsep ini dianggap tetap menjiwai berbagai kebijakan pemerintah setelah Badawi. Baik Anwar Ibrahim dan Mahathir Mohamad, dua kader penting UMNO, meneruskan semangat kristalisasi nilai keislaman dari gagasan Islam Hadhari. Mengingat perkembangan permasalahan yang terjadi saat ini, pengembangan wacana masih harus digali kembali guna menumbuhkan aplikabilitasnya sehingga layak menjadi alternatif jawaban yang dapat menginspirasi negara lain. 

Pada pemerintahan Malaysia kini, Dato Seri Anwar Ibrahim selaku perdana menteri mencetuskan gagasan baru: Malaysia Madani. Ide ini menggarisbawahi enam prinsip dalam pembangunan Malaysia, yakni kemapanan, kesejahteraan, daya cipta, saling menghormati, keyakinan antara satu sama lain, serta sikap ihsan. Semua asas tersebut didorong oleh sejumlah motor penggerak berupa digitalisasi pelayanan masyarakat, pemberdayaan talenta negara, dan pemberdayaan manajemen proyek strategis. 

Kendati terlihat serupa, konsep Malaysia Madani-nya Anwar Ibrahim memang berbeda secara filosofis dengan Islam Hadhari-nya Badawi. Seumpama Islam Hadhari ditujukan secara spesifik pada konteks Islam dalam isu pembangunan manusia dan respons atas tuduhan kekerasan, maka Malaysia Madani cenderung pada wawasan kebangsaan dan falsafah sosial yang tetap meliputi karakteristik gagasan madani dalam pemikiran tradisional Islam. Baik Hadhari maupun Madani memiliki persinggungan yang jelas secara literal. Kata “hadhari” dan “madani” sama-sama merujuk kepada peradaban. Biarpun terdapat perbedaan titik tolak, keduanya masih satu nafas dalam gagasan peradaban, baik dalam konteks Malaysia maupun dunia.

Jalaluddin Rizqi Mulia merupakan mahasiswa di Universitas Islam Indonesia. Dapat ditemukan di Instagram dengan nama pengguna @jalaluddinrizqi

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *