Kekosongan Argumen Self-Defense Israel

0

Tentara Israel mengendarai Tank. Foto: Ilia Yefimovich / Picture Alliance / Getty

Istilah “self-defense” menjadi kata yang banyak digunakan belakangan ini, terutama berkaitan dengan ketegangan seputar perang Israel-Hamas. Dalam merespon serangan awal Hamas ke Israel, pemimpin-pemimpin dunia mengafirmasi bahwa Israel memiliki “the right to defend itself,” atau dalam kata lain self-defense. Bahkan ketika arus perang dengan cepat berbalik dan agresi Israel ke Gaza memakan korban puluhan ribu orang, argumen self-defense tersebut masih digunakan, termasuk dalam gugatan Afrika Selatan terhadap Israel di International Court of Justice (ICJ).

Argumen serupa juga digunakan dalam kasus serangan Houthi di Laut Merah. Houthi, kelompok bersenjata asal Yaman, menyerang kapal-kapal komersil di Laut Merah yang memiliki afiliasi dengan Israel. Menurut pihak Houthi, serangan tersebut dilakukan guna menekan pihak Israel yang terus melancarkan serangan di Gaza. Dampak langsung dari serangan tersebut adalah meningkatnya tarif jasa pengiriman barang melalui Terusan Suez, terutama rute Eropa-Asia. Sebagai respon, AS dan Inggris melancarkan serangan udara terhadap Houthi. Kampanye AS-Inggris ini disjustifikasi juga sebagai self-defense.

Apa Itu Self-Defense?

Pengertian self-defense atau anticipatory self-defense merupakan upaya yang dilakukan oleh aktor internasional, dalam hal ini pemerintah suatu negara, untuk mengantisipasi terjadinya serangan awal maupun serangan lanjutan oleh aktor internasional lainnya.

Dalam Pasal 51 Piagam PBB termaktub, “nothing in the present Charter shall impair the inherent right of individual or collective self-defence if an armed attack occurs against a Member of the United Nations, until the Security Council has taken measures necessary to maintain international peace and security. Measures taken by Members in the exercise of this right of self-defence shall be immediately reported to the Security Council and shall not in any way affect the authority and responsibility of the Security Council under the present Charter to take at any time such action as it deems necessary in order to maintain or restore international peace and security.”

Berdasar pada pasal 51 Piagam PBB tersebut, tindakan self-defense secara individu maupun kolektif dapat dilakukan oleh suatu negara selama suatu negara telah berkonsultasi kepada Dewan Keamanan PBB yang diisi oleh Rusia, Inggris, Tiongkok, Amerika, dan Perancis serta sepuluh negara anggota tidak permanen lainnya. Hal lain yang dapat turut menjadi penentu aksi self-defense adalah apabila ICJ telah mengeluarkan suatu ketetapan internasional. 

Selain itu, self-defense hanya boleh dilakukan oleh negara, sekalipun aktor non negara turut terlibat, langkah self-defense (di luar bantuan logistik) termasuk langkah yang berada dalam tanggung jawab suatu negara. Konsep self-defense menjadi norma internasional karena ekosistem internasional pada kenyataannya bersifat anarkis, dalam kata lain tidak ada entitas yang lebih berpengaruh dibanding entitas lainnya.

Berkaca dari sejarah, penggunaan self-defense oleh aktor internasional pertama kali dilakukan oleh British Empire pada tahun 1837. Kapal Caroline (milik Amerika) yang berisi pemberontak asal Kanada diledakkan oleh British Empire di Sungai Niagara, Chicago. Dalam proses penyelesaian kasus tersebut, pihak Amerika menolak klaim British Empire bertindak atas dasar self-defense sebab tidak ada unsur keharusan dan lokasi kejadian bukan di wilayah British Empire. Amerika juga pernah menerapkan konsep self-defense, tepatnya pada tahun 1986. Dalam kejadiannya, Amerika menyokong kelompok pemberontak guna menyerang Pemerintah Nikaragua yang turut membantu turunnya Rezim Sadinista di El Salvador.

Menurut Kegley dan Ramond dalam buku Self-defense in International Relations, terdapat dua bentuk self-defense, yaitu langkah preventive dan langkah preemptive. Langkah preventive dapat dipahami sebagai upaya serangan bersenjata (armed attack) yang dilakukan oleh suatu negara untuk mencegah terjadinya peningkatan kekuatan oleh negara berdaulat lainnya. Sementara itu, langkah preemptive dapat dipahami sebagai upaya serangan bersenjata yang bertujuan membalas tindakan negara yang telah menyerang lebih dulu.

Problema Self-Defense ala Israel, AS, dan Inggris

Pada kasus Houth, retorika AS dan Inggris dapat dibilang cukup problematis. Pertama, motif Houthi menghambat jalur perdagangan di Laut Merah merupakan tekanan untuk Israel yang tengah digugat di pengadilan internasional atas tuduhan Genosida. Tindakan Israel di Palestina tentu tidak bisa terlepas dari keterlibatan Amerika Serikat. Kedua, konsep self-defense dibangun di atas asumsi dasar yang timpang sebab setiap negara tidak memiliki kualitas pertahanan yang sama. Berkaca dari kondisi Palestina beberapa tahun belakangan, sulit mengharapkan kemampuan pertahanan Palestina melakukan self-defense ketika berhadapan dengan Israel. Ketiga, tindakan Amerika Serikat dan sekutu yang diklaim sebagai self-defense justru bakal menambah durasi peningkatan tarif jasa pengiriman akibat aksi Houthi. Padahal, motif Houthi melakukan aksi di Laut Merah sudah cukup jelas bagi Amerika dan Sekutunya.

Pada waktu yang berdekatan, penolakan Israel atas dugaan genosida di Palestina dan Tepi Barat dengan dalih self-defense juga dianggap problematis oleh media seperti Al-Jazeera. Jika merujuk ke Konvensi Anti-Genosida 1948, terdapat lima poin tindakan yang dianggap sebagai tindakan genosida. Adapun kesemua poin yang dimaksud, yaitu pembunuhan terhadap kelompok tertentu, serangan yang berdampak serius pada fisik atau tubuh suatu kelompok, serangan yang menghancurkan bangunan (fisik) sebagian atau keseluruhan, pencegahan kelahiran bayi terhadap suatu kelompok, serta pemindahan anak-anak dari satu kelompok ke kelompok lainnya secara paksa. Kesemua tindakan tadi telah dilakukan oleh Pemerintah Israel, bahkan sebelum Netahanyu menjabat sebagai Perdana Menteri. Oleh karena itu, Israel tidak dapat mengklaim tindakan yang mereka lakukan atas dasar self-defense.

Sebagai penutup, konsep self-defense seringkali dijadikan alat justifikasi oleh aktor internasional atas agresi ataupun tindakan militeristik lainnya. Meskipun begitu, konsep self-defense adalah konsekuensi dari sifat anarkis sistem internasional. Adapun poin yang menjadi tendesi penulis yakni kemampuan aktor internasional untuk menciptakan bias terhadap fakta-fakta sosial melalui berbagai konsep, salah satunya konsep self-defense. Selanjutnya penulis ingin mengutip Susan Abulhama dalam bukunya yang berjudul Againts Loveless World. Dia menulis, our dance is about chaos and anarchy…the antithesis of control.

Abdullah Dzakwan adalah mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional di Universitas Hasanuddin. Abdullah dapat ditemui di Instagram dengan nama pengguna @abdzakwan_

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *