Kembalinya Turki ke Libya dan Kompetisi Akses Laut Mediterania

0

Ilustrasi Turki. Sumber: pixabay.com

“Uncertainty about the intentions of other states is unavoidable, which means that states can never be sure that other states do not have offensive intentions to go along with their offensive capabilities” – John J. Mearsheimer, The Tragedy of Great Power Politics

Turki kembali lagi ke Libya. Dahulu kala, Libya merupakan bagian dari Kekhalifahan Utsmaniyyah, pendahulu Republik Turki modern. Sejak jatuhnya Muammar Gaddafi pada tahun 2011, Libya mengalami gejolak yang tiada henti. Perjanjian Berlin yang tercapai pada tahun 2015 mulai rapuh pada saat terjadi serangan besar kepada ibukotanya, Tripoli, oleh seorang Jenderal ambisius yang bernama Khalifa Haftar.

Haftar tidak sendiri, beliau didukung oleh beberapa kekuatan di kawasan. Rusia memberikan beberapa Sukhoi dan membiayai jasa pasukan bayaran dari Perusahaan Wagner (Gomati, 2020). Uni Emirat Arab menyediakan drone yang mereka beli dari Tiongkok (Kington, 2020). Mesir memberikan dukungan diplomatis dan rencana cadangan bilamana Haftar gagal menguasai Tripoli (Lewis & Awadalla, 2020). 

Otoritas Libya yang diakui oleh PBB, the Government of National Accord (GNA), kewalahan. Namun, semua itu berubah ketika Turki memutuskan untuk intervensi dengan mendukung GNA. Melalui drone-drone veteran Suriah serta milisi-milisi Suriah yang dilatih oleh Pemerintah Turki, Turki melancarkan perang proxy melalui GNA. Masuknya kekuatan militer Turki ke Libya menyeimbangi kontestasi perang (Walsh, 2020). Saat ini GNA, yang didukung oleh milisi-milisi Suriah didikan Turki dan drone Turki, hampir mencapai kota Sirte. 

Perubahan kondisi terjadi karena bantuan dari Turki. Namun, ada satu pertanyaan yang yang menjadi anomali dalam konteks ini. Apa yang Turki dapatkan dari masuknya Turki ke Libya? Jawabannya adalah rasa aman. Pada tulisan ini, penulis berargumen bahwa alasan utama Turki untuk masuk ke Libya adalah untuk menyeimbangkan konstelasi politik regional kawasan yang sebelumnya membuat Turki insecure karena adanya dilema keamanan (Security Dilemma) yang dirasakan Turki.

Dilema Keamanan

Dilema Keamanan adalah sebuah situasi yang muncul di dalam realitas internasional yang anarki yang disebabkan oleh aksi-aksi yang dilakukan oleh negara lain untuk meningkatkan keamanannya, misalkan melalui peningkatan kekuatan militer atau pembentukan aliansi. Aksi-aksi tersebut dapat menciptakan sebuah insecurity di dalam negara lainnya sehingga negara tersebut juga melakukan hal-hal serupa (Jervis, 1978). Dilema keamanan muncul dari asumsi dasar realisme yang melihat bahwa; (1) tidak ada otoritas tertinggi yang mengatur negara-negara secara penuh, (2) kenyataan bahwa negara memiliki beberapa kekuatan militer yang ofensif, dan (3) negara-negara tidak akan pernah tahu intensi dari negara lainnya. Suatu negara tidak akan mengetahui secara pasti intensi negara lain, sehingga negara akan selalu merasa tidak aman. Mearsheimer di dalam bukunya, The Tragedy of Great Power Politics, kemudian menjelaskan bahwa agar negara dapat bertahan (survived), negara akan cenderung untuk meningkatkan kekuatannya (maximizing powers) dan berusaha untuk menjadi hegemon, baik dalam tatanan regional maupun global (Mearsheimer, 2001).

Penulis berargumen bahwa Turki berusaha untuk meningkatkan kekuatannya di kawasan guna menurunkan dilema keamanan yang dirasakan oleh Turki. Mengingat beberapa negara tetangga seperti Yunani, Mesir, Siprus, dan Israel tidak memiliki hubungan yang baik dengan Turki, Turki butuh mencari kawan di kawasan. Masuknya Turki ke Libya merupakan jawaban atas kebutuhan tersebut. 

Dilema Keamanan Turki di Laut Mediterania dan Masuknya Turki ke Libya

Kompetisi geopolitik di kawasan sekitar Turki (khususnya di daerah Timur-Tengah dan Afrika Utara) merupakan suatu hal yang sudah lumrah terjadi sejak awal Perang Dingin. Bukan hanya sejak awal perang dingin, di dunia, kompetisi geopolitik sudah ada sejak terbentuknya negara-kota di Mesopotamia. Turki, yang berada di kawasan yang cukup turbulen, patut untuk merasakan dilema. 

Di Libya, otoritas resmi yang diakui oleh PBB atas Libya, Government of National Accord (GNA), yang terbentuk setelah tercapainya Perjanjian Berlin pada tahun 2015, hampir dikalahkan oleh Pasukan dari Tentara Nasional Libya yang dipimpin oleh Jenderal Khalifa Haftar yang didukung oleh Uni Emirat Arab, Rusia, dan Mesir. Menangnya Haftar akan berdampak buruk bagi keberlangsungan akses laut Turki di Laut Mediterania, mengingat kedekatan Yunani, Mesir, dan Israel yang agresif terhadap Turki. Bilamana Libya jatuh ke orang yang dekat dengan salah satu dari ancaman Turki (Mesir), Turki akan terkepung di Laut Mediterania secara total. Masuknya Turki merupakan upaya penyetaraan kekuatan (balancing) dengan cara mendukung GNA agar Libya tidak jatuh ke kelompok yang didukung oleh koalisi Mesir-Yunani-Israel-Siprus. Dilema keamanan yang muncul dari posisi Turki saat ini merupakan bahan bakar dari tindakan agresif Turki untuk masuk ke Libya.

Terbentuknya perjanjian maritim di antara Mesir dan Yunani pada tanggal 7 Agustus 2020 memiliki implikasi yang buruk untuk Turki. Laut teritorial Turki jadi tertutup karena adanya perjanjian maritim ini (Anadolu Agency, 2020). Masuknya Turki ke Libya merupakan upaya pencegahan yang dilakukan oleh Turki agar Turki mendapatkan akses ke Laut Mediterania melalui perjanjiannya dengan otoritas Libya, GNA, pada akhir tahun 2019. Kontestasi geopolitik di Laut Mediterania yang membuat Turki tertutup berasal dari terbentuknya Energy Triangle antara Israel-Yunani-Siprus dari tahun 2012, yang secara tidak langsung memperparah posisi Turki di Mediterania (Stavris, 2012) (Tziarras, 2016). Penutupan akses yang dilakukan oleh ketiga negara tersebut, ditambah dengan masuknya Mesir, merupakan tindakan yang sangat merugikan Turki sehingga tidak mengherankan apabila Turki berusaha untuk melawan dengan Agresif dan merasakan dilema keamanan. 

Bilamana sejak awal Turki dilibatkan di dalam pembahasan akses Laut Mediterania, mungkin Turki tidak akan melakukan apa yang dilakukan Turki pada saat ini. Apa yang dilakukan Turki merupakan hal yang rasional dilakukan oleh sebuah negara guna menjaga keberlangsungan hidupnya. Di antara kepungan negara-negara hostiles, satu kawan baru sangat diperlukan Turki.

Turki, Yunani, dan UNCLOS

Keberhasilan Turki di Libya membawa posisi Turki di Laut Mediterania menjadi lebih aman, namun ada satu masalah yang akan selalu muncul bagi Turki. Keputusan Turki untuk tidak menandatangani United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) akan selalu menyudutkan Turki di dalam konteks kompetisi geopolitik di Laut Mediterania. Posisi Yunani yang menandatangani UNCLOS menempatkan Yunani lebih unggul dalam pembahasan legal-formal dalam kompetisi geopolitik di Laut Mediterania mengingat banyak kepulauan terluar Yunani yang terletak di sekitar zona kompetisi. Argumen ini secara lebih dalam dijelaskan oleh Julian Falkenberg di dalam tulisannya yang berjudul “Can Turkey Foster Regional Stability Under UNCLOS?” (Falkenberg, 2015). 

Pergerakan Militer Turki di Mediterania

Terdapat cara yang tidak begitu populer, selain dengan menandatangani UNCLOS, yaitu dengan menggunakan pendekatan militer. Trennya mengatakan bahwa ini hal yang dilakukan Turki saat ini. Peningkatan postur Angkatan Laut dan Angkatan Udara Turki di kawasan merupakan salah satu upaya yang dilakukan Turki, terutama setelah dianutnya doktrin Blue Homeland (TRT World, 2020).

Wakil Presiden Turki, Fuat Oktay, mengatakan bahwa perjanjian antara Mesir, Yunani, dan Israel yang membuat akses laut Turki di Mediterania tertutup merupakan sebuah casus belli, istilah bahasa latin yang mengisyaratkan akan sebuah aksi atau kejadian yang dapat menjadi justifikasi terjadinya perang (Euronews, 2020). Pernyataan Wapres Oktay memperlihatkan bahwa tindakan yang dilakukan oleh para tetangga Turki membuat Turki menjadi tidak aman. Pernyataan tersebut adalah gertakan yang harus diperhatikan karena ini dapat diartikan bahwa pemimpin Turki memiliki political will  untuk berperang.

Kesimpulan

Kita dapat mengambil kesimpulan bahwa terdapat hubungan di antara kehadiran Turki di Libya dan kompetisi akses Laut Mediterania, yaitu kehadiran Turki di Libya merupakan tindakan balancing Turki guna “mengamankan” posisi Turki di Laut Mediterania dengan cara mencari sekutu yang dapat memberikan akses laut untuk Turki, yang secara tidak langsung meningkatkan posisi Turki di Laut Mediterania Timur. Dalam pendekatan realisme, hal yang dilakukan Turki merupakan sebuah hal yang rasional, terutama dalam konteks keamanan negara dan kepentingan nasional Turki. Penulis melihat bahwa tren ini akan terus meningkat terutama pada saat keputusan Turki untuk masuk ke Libya dianggap tepat, yang dapat dilihat dari dipukul mundurnya pasukan Haftar dari Tripoli. Melihat status quo Laut Mediterania yang merugikan Turki, Turki akan berusaha secara agresif hingga kepentingan nasionalnya, yaitu mendapatkan akses Laut Mediterania, tercapai.

Referensi

Buku dan Jurnal

Falkenberg, Julian Kubilay. (2015), “Can Turkey Foster Regional Stability Under UNCLOS?” dalam Turkish Policy Quaterly, Vol. 14, No.2.

Jervis, Robert. (1978). “Cooperation Under Security Dilemma,” dalam World Politics, Vol. 30, No. 2. 

Mearshimer, John J. (2001). The Tragedy of Great Power Politics. New York: W&W Norton Company.

Stavris, George. (2012). “The New Energy Triangle of Cypurs-Greece-Israel: Casting a Net for Turkey?” dalam Turkish Policy Quaterly, Vol.11, No.2.

Tziarras, Zenonas. (2016).  “Israel-Cyprus-Greece: a ‘Comfortable’ Quasi-Alliance,” dalam  Mediterranean Politics, 21:3.

Sumber Online

Aidan Lewis & Nadine Awadalla. (June, 2020), “Egypt Offers New Libya Plan as Haftar Offensive Collapses,” dalam Reuters, https://www.reuters.com/article/us-libya-security/egypt-offers-new-libya-plan-as-haftar-offensive-collapses-idUSKBN23D0KK.

Ariel Cohen. (January,2020), “Turkey-Libya Maritime Deal Upsets Mediterranean Energy Plan,” dalam Forbes, https://www.forbes.com/sites/arielcohen/2020/01/08/turkey-libya-maritime-deal-upsets-mediterranean-energy-plan/#4015c5396bee.

Declan Walsh. (May, 2020), “In Stunning Reversal, Turkey Emerges as Libya Kingmaker,” dalam The New York Times, https://www.nytimes.com/2020/05/21/world/middleeast/libya-turkey-russia-hifter.html.

Durul, Tevfik. (Agustus, 2020), “Greece Ratifies Maritime Deal Signed with Egypt,” dalam Anadolu Agency, https://www.aa.com.tr/en/europe/greece-ratifies-maritime-deal-signed-with-egypt/1955533.

El Gomati, Anas. (January 2020), “ Russia’s Role in the Libyan Civi War Gives It Leverage over Europe,” dalam Foreign Policy, https://foreignpolicy.com/2020/01/18/russia-libyan-civil-war-europe/.

Euronews. (Agustus, 2020), “Tensions Rise in Eastern Mediterranian after Turkey Launches New Military Drills,” https://www.euronews.com/2020/08/29/tensions-rise-in-eastern-mediterranean-after-turkey-launches-new-military-drills

Kington, Tom. (May, 2019), “UAE Allegedly Using Chinese Drones for Deadly Airstrikes Over Libya,” dalam DefenseNews, https://www.defensenews.com/unmanned/2019/05/02/uae-allegedly-using-chinese-drones-for-deadly-airstrikes-in-libya/.

Paul Antonopoulus. (June, 2020), “Greek-Italian Maritime Deal Disrupts Turkey’s Endeavour for East Mediterranean Dominance,” dalam Greek City Times, (https://greekcitytimes.com/2020/06/11/greek-italian-maritime-deal-disrupts-turkeys-endeavour-for-east-mediterranean-dominance/.

TRT World (Juni, 2020), “Turkish Naval Strength in Eastern Mediterranean Shifts Balance of Power,” dalam TRT World, https://www.trtworld.com/turkey/turkish-naval-strength-in-eastern-mediterranean-shifts-balance-of-power-37730

Muhammad Humamvidi Hunafa adalah mahasiswa program sarjana Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Indonesia

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *