Keterlibatan di Kawasan Pasifik Selatan: Peningkatan Diplomasi dan Kepentingan Indonesia

0

Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi. Foto: Puspa Perwitasari/Antara

Pasifik Selatan merupakan kawasan menjadi ladang kontestasi beberapa kekuatan besar, baik dari dalam maupun luar kawasan. Di luar kawasan, Wallis (2017) menyebutkan bahwa terdapat delapan negara yang menjadi kekuatan eksternal, baik yang lama maupun baru di Pasifik Selatan, yakni Amerika Serikat, Prancis, Tiongkok, Jepang, Rusia, India, Taiwan, dan Indonesia. Secara khusus, tulisan ini akan menilik andil Indonesia di kawasan Oseania yang terbukti telah meningkat beberapa waktu ke belakang.

Keterlibatan Indonesia di kawasan Pasifik Selatan telah menjadi salah satu prioritas bagi pemerintah Indonesia sejak era kepemimpinan Presiden Suharto, terutama pada tahun 1980-an. Hal ini dibuktikan dari Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) tahun 1973, 1978, dan 1983 tentang Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang menekankan pentingnya menjaga stabilitas wilayah Asia Tenggara dan Pasifik Selatan (Usman, 1994). Selain itu, Leifer (1983) menambahkan bahwa lingkaran konsentris dalam implementasi politik luar negeri Indonesia turut menyertakan wilayah Pasifik Selatan sebagai salah satu wilayah kunci yang dipertimbangkan.

Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia Waktu ke Waktu

Menteri Luar Negeri di era Orde Baru periode 1978–1988, Mochtar Kusumaatmadja, menyebutkan bahwa Indonesia sudah seharusnya lebih menaruh perhatian dalam hal perpolitikan regional Pasifik Selatan. Usman (1994) turut menambahkan bahwa sepeninggalnya Mochtar Kusumaatmadja dari jabatan Menteri Luar Negeri, Ali Alatas selaku penerusnya semakin menguatkan posisi Indonesia di Pasifik Selatan. Langkah yang dilakukan oleh Alatas ialah dengan tetap menjadikan Pasifik Selatan sebagai salah satu prioritas utama dalam agenda politik luar negeri Indonesia. Kehadiran Indonesia di Pasifik Selatan merupakan peralihan fokus diplomasi setelah sekian lama membangun kedekatan dengan Asia Tenggara dan blok barat (Usman, 1994). Ini merupakan langkah yang penting demi membangun kepercayaan dan hubungan antara kedua belah pihak yang lebih erat dan saling menguntungkan satu sama lain.

Hubungan Indonesia dan Pasifik Selatan didasarkan pada kesamaan di antara keduanya yang merupakan negara kepulauan dan pengaruh peran laut yang sangat esensial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kedua pihak tersebut. Kedaulatan dan integritas wilayah Indonesia dan Pasifik Selatan bergantung erat dengan kedaulatan laut, maka pengesahan United Nations Convention on Law of the Sea 1982 atau UNCLOS 1982 merupakan suatu kabar baik bagi keduanya (Usman, 1994). Akan tetapi, hubungan Indonesia dan Pasifik Selatan menjelang runtuhnya Orde Baru tidak begitu berkembang ke arah yang lebih substantif. Ini dibuktikan dengan hubungan diplomatik Indonesia dengan berbagai negara di Pasifik Selatan yang masih relatif bersifat simbolik. Usman (1994) turut menambahkan bahwa berbagai misi diplomatik Indonesia di negara-negara Pasifik Selatan, seperti Fiji, pada saat itu masih dipusatkan hanya kepada Selandia Baru yang menandakan stagnasi hubungan Indonesia-Oseania secara utuh.

Setelah sekian tahun hubungan Indonesia dan Pasifik Selatan dikesampingkan, era kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjadi awal dari kembalinya prioritas politik luar negeri pemerintah Indonesia di Pasifik Selatan. Wallis (2017) menyebutkan bahwa posisi Indonesia di Pasifik Selatan dikukuhkan kembali melalui berbagai kebijakan pemerintah melalui Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi. Salah satunya dengan memposisikan Indonesia sebagai salah satu negara di sub-wilayah Melanesia, oleh karena Indonesia merupakan rumah dari 11 juta penduduk Melanesia yang tersebar ke dalam lima provinsi di Indonesia bagian tengah dan timur, yakni Nusa Tenggara Timur, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat. 

Atas dasar tersebut, Indonesia menjadi salah satu associate member dalam salah satu organisasi sub-regional Pasifik Selatan, yakni Melanesian Spearhead Group pada tahun 2015 berkat dukungan Fiji dan Papua Nugini. Saat ini, Indonesia—dengan dukungan penuh Fiji dan Papua Nugini—tengah mendorong pembaharuan status untuk menjadi anggota penuh Melanesian Spearhead Group, namun keinginan tersebut ditolak oleh Vanuatu dan Kepulauan Solomon atas dasar solidaritas dengan Organisasi Papua Merdeka (Radio New Zealand, 2016). Diketahui bahwa Republik Vanuatu merupakan salah satu pihak yang tak jarang mengangkat isu pelanggaran HAM dan mendorong pembebasan untuk menentukan nasib sendiri bagi rakyat di Papua dalam forum-forum internasional (CNBC Indonesia, 2021).

Mengeratkan Relasi Untuk Capai Kepentingan

Sebagai bentuk komitmen Presiden Jokowi terhadap kawasan Pasifik Selatan, berbagai bentuk bantuan ekonomi telah diberikan kepada negara-negara Pasifik Selatan. Salah satunya ialah bantuan sebesar lima juta dollar Amerika Serikat kepada Fiji untuk pemulihan setelah diterjang bencana alam siklon (Radio New Zealand, 2016). Pemberian bantuan ekonomi kepada negara-negara Pasifik Selatan merupakan salah satu dari berbagai contoh implementasi Look East Policy Indonesia.

Wardhani dan Dugis (2020) menyebutkan bahwa implementasi dari Look East Policy Indonesia merupakan salah satu langkah untuk mengamankan keutuhan wilayah Indonesia, utamanya terkait isu separatisme di Papua. Selain itu, tindakan Indonesia yang gencar memberikan bantuan kepada negara-negara Pasifik Selatan merupakan salah satu bukti dari komitmen Indonesia terhadap kerja sama antar negara Global South.

Berdasarkan ulasan di atas, penulis memiliki pandangan bahwa meningkatnya keterlibatan Indonesia di Pasifik Selatan merupakan langkah dalam memantapkan posisi Indonesia sebagai salah satu aktor yang memiliki relasi dekat dengan kawasan Pasifik Selatan. Arah kebijakan luar negeri Presiden Jokowi yang lazimnya tidak begitu mengutamakan pamor di tatanan internasional kali ini berbeda jika melihat ke dalam konteks Pasifik Selatan. Meningkatnya fokus politik luar negeri Indonesia terhadap Pasifik Selatan dapat dikaitkan dengan keinginan Presiden Jokowi agar Indonesia lebih terikat di kawasan Indo-Pasifik (Rosyidin, 2017). Kedekatan Indonesia dengan kawasan ini juga dapat dilihat ketika Perdana Menteri Fiji, yakni Frank Bainimarama, selaku Ketua Pacific Islands Forum diundang ke dalam Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Bali pada November 2022 mendatang. Hubungan Indonesia dengan negara-negara Pasifik Selatan dapat dimaknai sebagai suatu hubungan yang resiprokal, terutama dalam konteks hubungan ekonomi, sektor UMKM, dan identitas sebagai sesama negara Pasifik.

Kesimpulan

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa kehadiran Indonesia di Pasifik Selatan sejatinya telah berlangsung cukup lama. Keinginan pemerintah Orde Baru untuk menguatkan posisi Indonesia di kawasan tersebut merupakan salah satu implementasi dari kebijakan lingkaran konsentris pada saat itu. Setelah hubungan tersebut mandek selama beberapa dekade, kehadiran Presiden Joko Widodo menjadi angin segar bagi hubungan antara Indonesia dan kawasan Oseania, terbukti dengan adanya kenaikan status Indonesia yang awalnya merupakan observer, dan kemudian menjadi associate member di Melanesian Spearhead Group.

Kebijakan ‘Look East’ Indonesia yang berfokus pada pemberian bantuan ekonomi kepada negara-negara Pasifik Selatan merupakan langkah Presiden Jokowi untuk meredakan suara negara-negara Melanesia seperti Vanuatu dan Kepulauan Solomon terhadap isu separatisme Papua. Kehadiran Papua Nugini dan Fiji sebagai kekuatan ‘hegemon’ di Melanesia yang pada akhirnya mendukung posisi Indonesia dalam isu separatisme Papua dapat menjadi sinyal bahwa Indonesia akan terus mengembangkan sayapnya di kawasan tersebut.

Bilal Asyfahani Fireza merupakan mahasiswa dari Universitas Airlangga. Dapat ditemukan di Instagram dan Twitter dengan nama pengguna @bilalfireza

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *