Ilustrasi Batu Bara. Foto: DepositPhotos

Rabu lalu, tepat sebelum Debat Keempat Pilpres bertema energi, lingkungan, dan pembangunan berkelanjutan pada hari Minggu (21/1), dikabarkan bahwa Dewan Energi Nasional (DEN) sedang merevisi target bauran energi terbarukan (renewable energy mix) dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN). DEN menurunkan target bauran energi terbarukan dari semula 23% menjadi 17-19% pada 2025. Barangkali berita ini kurang ramai di luar kalangan ahli energi dan peminat isu lingkungan, tetapi logika pengambilan kebijakan tersebut sungguh sangat menggelitik akal sehat.

Dengan timing demikian, untungnya isu ini kemudian ikut muncul dalam debat pilpres. Cak Imin selaku Cawapres paslon 01 secara khusus mengkritik ketidakseriusan pemerintah dalam mengusahakan energi baru dan terbarukan (EBT) dengan menurunkan target bauran energi tersebut.

Namun, penurunan target ini lebih dari sekedar ketidakseriusan pemerintah. Penurunan target ini juga menunjukkan bagaimana pemerintah merevisi target untuk menghindari “kegagalan” dan terus melestarikan batu bara dalam jangka menengah.

Merevisi Target, Menghindari Reckoning  

Alasan utama dari revisi target bauran energi tersebut adalah dominasi PLTU bertenaga batu bara dalam produksi listrik Indonesia yang menghambat perkembangan EBT. Hal ini diakui sendiri oleh Menteri ESDM Arifin Tasrif sebagai penyebab lambatnya perkembangan EBT. Akibatnya, hingga akhir 2023 bauran EBT sendiri baru tercatat mencapai 13,1% dari proyeksi 17,9% yang diperlukan untuk mencapai target 23% pada 2025.

Konsep “bauran energi” sendiri sebenarnya mencakup tidak hanya sektor kelistrikan, tetapi juga penggunaan energi lainnya seperti BBM untuk transportasi dan LPG untuk memasak, tetapi produksi listrik menjadi elemen yang paling besar. Hal ini mengapa diperlukan fokus khusus dalam sektor kelistrikan dengan kesadaran penuh bahwa dominasi batu bara menjadi penghalang utamanya.

Revisi target ini justru menjadi cara untuk menghindari tamparan kenyataan tersebut. Dengan merevisi target menjadi serendah 17%, pemerintahan lebih mungkin “berhasil” dalam mencapai target asal bisa menaikkan bauran EBT 2% setahun. Hal ini terutama menguntungkan bagi pemerintahan selanjutnya yang bisa mengklaim keberhasilan tersebut.

Namun, kebijakan ini jelas mengejek akal sehat dengan membuat pemerintah bisa mencapai target melalui revisi terhadap target itu sendiri. Selain itu, dengan tiadanya “kegagalan” dalam mencapai target, akan lebih sulit melakukan evaluasi dan menghadapi kenyataan bahwa dominasi batu bara masih menghambat perkembangan EBT. Tidak ada suatu tamparan yang menghadirkan reckoning, sebab semuanya terlihat seperti berhasil-berhasil saja, business as usual.

Dalam sesuatu yang direncanakannya, pemerintah masih tampak sulit menelan pil pahit bahwa mereka bisa saja gagal dalam eksekusinya, tidak melulu berhasil. Sebaliknya, kegagalan justru dapat memaksa pemerintah, publik, dan pemangku kebijakan lainnya untuk menghadapi realita bahwa terdapat permasalahan nyata yang harus ditangani agar transisi menuju energi terbarukan dapat berjalan lebih baik lagi. Hal ini tentunya juga berlaku dalam penetapan target-target kebijakan lainnya.

Gambaran ini ditambah runyam dengan pernyataan berkilah lainnya dari Plt. Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (Dirjen EBTKE) Kementerian ESDM, Jisman Parada Hutajulu menyebutkan pihaknya menginginkan target bauran EBT dI Indonesia seharusnya bukan dalam bentuk persentase, melainkan dalam satuan angka kapasitas terpasang, seperti berapa megawatt. Hal ini juga menjadi kesalahan berpikir, khususnya dalam konteks transisi hijau.

Tujuan besar dari transisi energi adalah untuk meminimalisir atau bahkan mengeliminasi penggunaan energi fosil dalam bauran energi Indonesia. Kita tidak boleh berpuas diri asal kapasitas EBT bertambah tiap tahunnya. Perkembangan EBT harus dipahami sebagai bagian dari bauran energi keseluruhan yang harus bertambah proporsinya. Sementara itu, penggunaan energi fosil harus terus berkurang proporsinya. Perihal transisi energi adalah zero-sum game. Hal ini hanya dapat dilihat melalui persentase.

Kicking the coal down the road

Meski demikian, patut diakui satu pernyataan yang benar dari Pak Plt. Dirjen EBTKE, yakni bahwa revisi KEN yang direncanakan akan meningkatkan persentase target bauran energi di dekade-dekade mendatang. Sebelumnya, target KEN dalam PP 79 Tahun 2014, yang kemudian diimplementasikan lebih lanjut dalam Rancangan Umum Energi Nasional (RUEN), menargetkan bauran EBT hanya sebesar 31% pada 2050. Dengan demikian, bauran energi Indonesia masih akan didominasi bahan bakar fosil pada 2050, sementara Indonesia berniat mencapai net zero pada 2060.

Dengan revisi KEN terbaru ini, beliau menyebutkan bahwa target bauran EBT akan ditingkatkan sebagai berikut dalam jangkan panjang: 19-21% pada tahun 2030, 28-41% pada tahun 2040, dan 70-72% pada tahun 2060.

Dalam perspektif jangka panjang, perubahan ini tentu menjadi sesuatu yang baik. Akan tetapi, secara khusus dapat diamati bahwa terdapat sesuatu yang tampak tidak proporsional, yakni targetnya yang relatif rendah dalam jangka pendek-menengah, tetapi sangat tinggi dalam jangka panjang.

Jika pemerintah mencapai target minimal 17% pada tahun 2025, maka pemerintah hanya perlu meningkatkan bauran EBT minimal 2% dalam waktu 5 tahun untuk mencapai target selanjutnya yang minimal hanya 19% pada tahun 2030. Ini adalah target tahunan yang sangat kecil. Akan tetapi, dalam jangka waktu 30 tahun pemerintah justru harus meningkatkan bauran EBT setidaknya 51% untuk mencapai target minimal 70% pada tahun 2060.

Penentuan target yang “tinggi di akhir” ini tentu dapat dirasionalisasi melalui, misalnya, ekspektasi perkembangan teknologi EBT di masa depan yang akan mengakselerasi adopsinya. Namun, dari perspektif kebijakan penentuan target ini memberikan struktur insentif yang salah dan tidak sesuai dengan tidak sesuai dengan urgensi perubahan iklim.

Target yang terlampau kecil hingga tahun 2030 tidak akan memberikan insentif bagi pemerintahan selanjutnya untuk meningkatkan transisi EBT dengan lebih cepat. Justru, pemerintah selanjutnya akan dapat berpangku tangan dibalik headline “mencapai target”. Pemerintahan dalam 15-20 tahun kedepan yang baru akan dibuat pusing oleh target yang tinggi. Struktur insentif ini juga memberikan karpet merah dalam jangka menengah bagi batu bara untuk masih mendominasi sektor kelistrikan di Indonesia. Kalau begini, sama saja namanya kicking the coal down the road, alias menunda transisi energi.

Padahal, perubahan iklim yang terus terjadi semakin cepat memberikan urgensi untuk melakukan transisi energi sesegera mungkin. Struktur insentif yang diberikan seharusnya mendorong transisi yang lebih cepat dalam jangka waktu yang lebih singkat.

Dalam hal ini, barangkali kita seharusnya tidak terlalu “realistis” sebagai mana yang dianjurkan Menteri ESDM kita. Target memang sebaiknya dapat diraih, tetapi hal tersebut bukan berarti membuatnya sedemikian rendah. Target transisi energi tidak semestinya dibuat terutama berdasarkan kemampuan minimal birokrasi, tetapi berdasarkan urgensi perubahan iklim dan asumsi optimis melalui kolaborasi maksimal. Dalam konteks ini, bahkan kegagalan mencapai target pun dapat ditoleransi, sekaligus memberikan sarana bagi evaluasi.

Bagaimanapun juga, lebih baik gagal mencapai target di atas kertas, ketimbang terhempas perubahan iklim yang kian ganas.

Ikhlas Tawazun merupakan lulusan dari Hubungan Internasional Universitas Indonesia dan Managing Director Kontekstual. Dapat ditemui di Instagram dan X dengan nama pengguna @tawazunikhlas 

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *