Kisruh Geopolitik India-Tiongkok: Siapa Pihak Ketiga yang akan Diuntungkan?

0

Ilustrasi perbatasan India-Tiongkok di Himalaya. Foto: pixabay.com.

Memburuknya hubungan antara India dan Tiongkok sejak Mei 2020 terus mengalami eskalasi. Baku tembak yang terjadi di sepanjang Garis Kontrol Aktual (Line of Actual Control) tercatat telah menyebabkan lebih dari 40 prajurit kedua negara tewas (Safi & Petersen, 2020). Tiga titik utama yang menjadi pusat baku tembak kedua pihak yaitu Danau Pangong Tso, Sikkim, dan Ladakh bagian timur. Frankel (2011) mencatat bahwa berbagai tindakan provokasi di perbatasan India-Tiongkok sejatinya merupakan perpanjangan dari sejumlah kebuntuan dalam hubungan kedua negara, terutama berkaitan dengan sengketa perbatasan yang tidak kunjung disepakati. Sejak perang meletus pada 1962 di kawasan perbatasan Aksai Chin, kedua negara berkali-kali terlibat dalam sejumlah tindakan provokasi—baku tembak, saling lempar batu, atau sekadar adu mulut. Penyebabnya bervariasi, mulai dari pembangunan jalan secara sepihak hingga penerobosan pasukan.

Meski hanya terjadi konflik fisik di perbatasan, instabilitas hubungan antara kedua negara dapat dianalisis dengan salah satu konsep dalam studi Hubungan Internasional, yakni perimbangan kekuatan (balance of power) yang terjadi akibat persaingan geopolitik di kawasan Asia. Secara umum, tampak bahwa baik Tiongkok maupun India memiliki peluang untuk menjadi kekuatan utama regional, sebab didukung oleh jumlah penduduk yang masif, kekuatan militer raksasa, serta kepemilikan senjata nuklir (Lyon, 2010). Ditambah lagi, secara geografis keduanya memiliki wilayah yang luas dengan bentang alam yang bervariasi.  Apabila rivalitas di antara kedua negara menjadi fitur tersendiri dalam dinamika politik global. Dalam rangka meningkatkan kapabilitas kekuatan masing-masing, kedua pihak melakukan sejumlah tindakan nyata, seperti peningkatan industri pertahanan, 

Kisruh geopolitik selalu melibatkan adu kekuatan dan perebutan pengaruh di antara aktor-aktor yang terlibat dan tidak jarang pula, terdapat pihak ketiga yang memperoleh keuntungan tersendiri, termasuk dalam konflik antara India dan Tiongkok (Derluguian & Greer, 2000). Pihak-pihak tersebut berusaha memanfaatkan keuntungan dengan berbagai tujuan, seperti meningkatkan posisi tawar secara geopolitik, memperoleh sumber daya alam, hingga keuntungan ekonomi. Tulisan ini menganalisis pihak-pihak ketiga yang memperoleh keuntungan tersendiri dalam kisruh antara Tiongkok dan India selama lebih dari lima dasawarsa.

Negara pertama yang berpotensi memperoleh keuntungan strategis antara dua negara besar di atas adalah Pakistan. Dalam dinamika geopolitik di kawasan Asia Selatan, Pakistan merupakan lawan utama dari India, dengan sengketa kawasan Kashmir yang terus berlangsung sejak 1947. Panas dingin hubungan keduanya berkulminasi dalam beberapa perang besar. Sekalipun ketegangan keduanya relatif mereda pada abad ke-21, tetapi berbagai tindakan provokasi masih berlangsung, banyak di antaranya pula melibatkan kelompok-kelompok ekstremis religius, terutama di kawasan Kashmir. Sebagaimana dinyatakan Khan (2019), konflik fisik terbaru antara kedua negara terjadi pada Februari 2019 ketika kedua negara saling mengirim jet tempur untuk menyerang satu sama lain.

Di sisi lain, Pakistan merupakan salah satu sekutu geopolitik utama Tiongkok. Kedua negara telah menyepakati sejumlah perjanjian peningkatan kemampuan militer (Small, 2015), memberikan keuntungan tersendiri bagi Pakistan yang notabene lebih lemah secara hard power. Dengan posisi kedua negara yang merupakan lawan geopolitik bagi India, tindakan provokasi Tiongkok di perbatasan—sebagaimana terjadi baru-baru ini—praktis juga memberikan keuntungan strategis bagi Pakistan. Berkaitan dengan kawasan Kashmir yang masih diperebutkan antara Pakistan dengan India, Pakistan dapat sedikit bernapas lega mengingat fokus keamanan India akan beralih ke wilayah perbatasan dengan Tiongkok, alih-alih Kashmir. Tentu kondisi demikian dapat membuka peluang lebih besar bagi Pemerintah Pakistan untuk meningkatkan kehadiran pasukan militernya di Kashmir, sekaligus membuka ruang bagi aneksasi kawasan tersebut. Pendek kata, dengan memanasnya hubungan antara dan Tiongkok, ancaman keamanan utama bagi Pakistan akan tereduksi.

Selain Pakistan, potensi keuntungan dari kisruh antara India dan Tiongkok beberapa waktu lalu dapat diperoleh Rusia. Berbeda dengan Pakistan yang diuntungkan secara posisi geopolitik akibat konflik antara India dan Tiongkok, keuntungan Rusia lebih menonjol dalam sektor industri militer. Sebagai sesama sekutu dekat Rusia secara geopolitik, baik India maupun Tiongkok adalah dua mitra terbesar Rusia dalam sektor tersebut. Didukung oleh anggaran militer dan jumlah personel yang besar, kedua negara merupakan importir rutin berbagai alutsista Rusia. Pada periode 2008-2018, nilai ekspor alutsista ke India mencapai 25% dari keseluruhan ekspor alutsista Rusia, meskipun dalam lima tahun belakangan mengalami penurunan (Wezeman dkk., 2020). Di sisi lain, kendati memiliki industri pertahanan yang demikian maju, tetapi Tiongkok masih kerap mengimpor teknologi militernya dari Rusia. Pada periode yang sama, rerata impor alutsista Tiongkok dari Rusia mencapai US$5,5 miliar atau lebih kurang 10% dari total nilai ekspor alutsista Rusia secara keseluruhan (Wezeman dkk., 2020). Kondisi yang menguntungkan tersebut terjadi seiring dengan pengaruh ekonomi yang cukup signifikan dari industri pertahanan Rusia yang mencapai 3,5% dari nilai ekspor negara tersebut (OEC, 2019). Hubungan India-Tiongkok yang seringkali memanas dapat menjadi angin segar bagi industri pertahanan Rusia, seiring dengan peningkatan konsumsi aset-aset militer kedua negara mitra Rusia tersebut.

Kendati demikian, di sisi lain Rusia dapat mengalami situasi dilematis dalam menghadapi konflik antara India dengan Tiongkok. Hal ini terjadi karena sejumlah alasan, diantaranya pertama, Rusia harus seimbang dalam mengekspor alutsista di antara kedua pihak agar dapat memperoleh keuntungan sebesar-besarnya dan mengurangi risiko “ditinggalkan” oleh salah satu pihak, bukan hanya sebagai penyuplai alutsista, tetapi juga sebagai sekutu geopolitik. Alasan kedua, adalah bahwa nilai impor alutsista kedua negara cenderung mengalami penurunan, dengan semakin mandirinya kedua negara dalam meningkatkan sektor militer. Kondisi ini tentu saja akan menyebabkan keuntungan Rusia dalam ekspor alutsista mengalami penurunan.

Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa dinamika geopolitik internasional dapat menciptakan kerugian dan keuntungan. Apalagi, memanasnya hubungan antara India dan Tiongkok buntut konflik di perbatasan kedua negara berpeluang meluas dan menyeret sejumlah negara lain untuk turut terlibat. Di sisi lain, berbagai negara yang menjadi pihak ketiga dapat memanfaatkan situasi konflik kedua negara tersebut demi keuntungan pribadi mereka. Pakistan dan Rusia menjadi dua negara utama yang berpeluang untuk memperoleh keuntungan dari konflik India-Tiongkok. Pakistan memperoleh keuntungan dengan berkurangnya ancaman keamanan serta posisi geopolitik dalam penguasaan wilayah Kashmir, sementara Rusia mendapat keuntungan dalam sektor industri pertahanannya.

REFERENSI

Biswas, M. I. K., Soutik. (2019, 24 Desember). Between a rock and a hard place in Kashmir. BBC News. https://www.bbc.com/news/world-asia-50826419

Derluguian, G. M., & Greer, S. L. (2000). Questioning Geopolitics: Political Projects in a Changing World-system. Greenwood Publishing Group.

Frankel, F. R. (2011). The Breakout of China-India Strategic Rivalry in Asia and The Indian Ocean. 64(2), 18.

Lyon, R. (2010). The India–China relationship: A tempered rivalry? Australian Strategic Policy Institute; JSTOR. https://www.jstor.org/stable/resrep03956

Safi, M., & Ellis-Petersen, H. (2020, 16 Juni). India says 20 soldiers killed on disputed Himalayan border with China. The Guardian. https://www.theguardian.com/world/2020/jun/16/india-says-soldiers-killed-on-disputed-himalayan-border-with-china

Small, A. (2015). The China-Pakistan Axis: Asia’s New Geopolitics. Oxford University Press.

Wezeman, P. D., Fleurant, A., Kuimova, A., & Da Silva, D. L. (2020). Trends in International Arms Transfers, 2019 (hlm. 1–12). SIPRI. https://www.sipri.org/publications/2020/sipri-fact-sheets/trends-international-arms-transfers-2019

Alfin Febrian Basundoro merupakan Mahasiswa S1 Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gajah Mada

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *