KRL Yogya-Solo: Membangun Impian Transportasi Berkelanjutan

0

Foto: Dokumentasi Ditjen Perkeretaapian

Pembangunan yang kini gencar dilakukan oleh pemerintah tidak ubahnya seperti dua sisi koin. Di satu sisi, pembangunan akan dapat mendorong pertumbuhan, baik dari aspek sosial-ekonomi maupun kesejahteraan masyarakat. Namun di sisi lain, dengan meningkatnya kegiatan masyarakat yang diinduksi oleh pembangunan, kebutuhan akan adanya moda transportasi yang layak guna mendukung pergerakan warga pun semakin meningkat. Tidak terkecuali di wilayah aglomerasi Yogya-Solo; sebutan populer bagi kawasan yang terbentang antara Kota Yogyakarta hingga Kota Surakarta. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk mengakomodasi pertumbuhan kebutuhan transportasi tersebut, termasuk dengan menghadirkan Kereta Rel listrik (KRL) Yogya-Solo yang diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada 1 Maret 2021 silam.

Elektrifikasi Jalur KA dan Pembangunan Berkelanjutan

Kehadiran KRL Yogya-Solo ini memiliki arti penting bagi pertumbuhan yang terjadi di kawasan tersebut. Pasalnya, baik Kota Yogyakarta maupun Kota Surakarta, keduanya tengah mengalami pertumbuhan penduduk yang signifikan. Berdasarkan data yang dihimpun dari laman BPS, Kota Yogyakarta mengalami pertumbuhan penduduk sebesar 11,5% untuk periode tahun 2010-2019, sementara Kota Surakarta mengalami pertumbuhan penduduk sebesar 15,2% pada periode yang sama. Di sisi lain, sebagai salah satu destinasi wisata yang potensial, kawasan aglomerasi Yogya-Solo juga tengah menghadapi kunjungan wisatawan yang meningkat. Pada tahun 2019, Kota Surakarta menerima kedatangan wisatawan sejumlah 5.353.834 wisatawan, naik 12,3% dari tahun 2018. Sementara Kota Yogyakarta menerima kunjungan 4.378.609 wisatawan pada tahun 2019, naik 6,7% dari tahun sebelumnya. Kondisi tersebut mendorong kepada suatu permasalahan, yaitu meningkatnya kebutuhan transportasi yang layak untuk mendukung pergerakan warga.

Guna mengatasi hal tersebut, pemerintah sejatinya sudah berupaya menghadirkan beragam pilihan moda transportasi yang digunakan oleh warga maupun wisatawan yang hadir, baik di kawasan Yogyakarta maupun Kota Surakarta. Namun, moda transportasi yang saat ini tersedia masih banyak mengandalkan moda transportasi jalan raya. Di Kota Yogyakarta misalnya, 28% kendaraan yang melintas di jalan raya merupakan kendaraan bermotor (sepeda motor, mobil, bus) untuk keperluan angkutan penumpang, dengan jumlah penumpang sebesar 11.346.274,42 penumpang per tahun. Sementara, pengguna jasa kereta api kawasan aglomerasi (KA Prameks) pada tahun yang sama hanya berkisar 2.707.304 penumpang per tahun. Timpangnya jumlah pengguna jasa layanan KA Prameks jika dibandingkan dengan kendaraan bermotor tersebut, menunjukkan preferensi warga Kota Yogyakarta yang masih cenderung lebih memilih kendaraan bermotor untuk bepergian.

Penggunaan kendaraan bermotor dengan bahan bakar minyak tersebut tentu membawa dampak buruk bagi lingkungan. Pada tahun 2008 misalnya, konsumsi bahan bakar minyak (BBM) di Kota Surakarta menembus angka 8,4 juta liter untuk kendaraan bermotor. Besarnya konsumsi BBM ini berimbas kepada menurunnya kualitas udara di kota tersebut menjadi jauh di bawah baku mutu. Jika dibiarkan, hal ini tidak hanya akan mengancam ketahanan pasokan BBM di Indonesia, khususnya di Kota Surakarta maupun Kota Yogyakarta, namun juga dapat mengancam kesehatan warga dan mempercepat pemanasan global dengan gas buangan kendaraan yang mencemari udara. Oleh karena itu, kehadiran transportasi massal berbasis tenaga listrik di kawasan aglomerasi Yogya-Solo menjadi kebutuhan yang tidak terelakkan.

Klaim mengenai urgensi KRL Yogya-Solo tersebut bukannya tanpa alasan. Berdasarkan studi yang dilakukan pada tahun 2011, tingkat efisiensi penggunaan BBM setelah dilakukan elektrifikasi jalur KA Yogya-Solo diperkirakan mencapai 51,73%. Efisiensi tersebut mencakup pengalihan penggunaan BBM dari angkutan penumpang jalan raya menjadi penggunaan untuk keperluan pembangkit listrik yang digunakan oleh layanan KRL. Di samping itu, elektrifikasi jalur kereta api juga diharapkan dapat mendorong perubahan tren pergerakan yang selama ini didominasi oleh moda transportasi jalan raya menjadi turun hingga 50% dan beralih kepada KRL. Dengan demikian, kehadiran KRL Yogya-Solo diharapkan dapat mendukung upaya konservasi lingkungan dengan menekan konsumsi BBM dan mengurangi polusi udara, di samping mengakomodasi kebutuhan pergerakan warga.

Membangun Kepercayaan Diri Industri Dalam Negeri

Setelah diresmikan, KRL Yogya-Solo akan melayani 20 perjalanan pulang-pergi (PP) dalam sehari dan melewati 11 stasiun pemberhentian. Dengan daya tampung hingga 1.600 penumpang sekali jalan, KRL Yogya-Solo diproyeksikan akan dapat mengangkut 6 juta penumpang pada tahun 2021, dan 29 juta penumpang pada tahun berikutnya hingga tahun 2035. Guna mendukung daya tampung yang ditargetkan tersebut, Pemerintah melalui Ditjen Perkeretaapian Kementerian Perhubungan telah melakukan tiga paket proyek pembangunan, mencakup elektrifikasi jalur kereta api, pembangunan dan penyiapan sebelas stasiun pemberhentian, dan penyiapan sarana pendukung operasi. Di samping itu, sejak Tahun 2019, Ditjen Perkeretaapian, Kementerian Perhubungan telah merevitalisasi 10 trainset KRL seri KfW untuk menunjang operasional KRL Yogya – Solo.

Meskipun saat ini baru 4 trainset yang aktif melayani lintas Yogya-Solo, namun upaya Pemerintah untuk kembali menghidupkan rangkaian KRL buatan dalam negeri ini dapat dilihat sebagai bentuk dukungan terhadap industri dalam negeri. Sebab, hingga saat ini, penggunaan KRL di Indonesia masih didominasi oleh sarana-sarana yang berasal dari Jepang. Untuk sarana yang digunakan oleh PT Kereta Commuter Indonesia misalnya, sebanyak 784 unit kereta berpenggerak listrik (electric multiple unit, EMU) didatangkan dari Jepang pada tahun 2008-2016, dan bertambah menjadi sekitar 900 unit pada tahun 2019. Sehingga, penggunaan kembali rangkaian KfW hasil produksi konsorsium PT INKA dan Bombardier ini merupakan suatu langkah penting dalam upaya mendukung industri dalam negeri. Komitmen ini juga diperlihatkan oleh Ditjen Perkeretaapian, Kementerian Perhubungan dalam menggunakan rangkaian buatan PT INKA untuk layanan LRT Sumatera Selatan dan LRT Jabodebek yang akan datang.

Rangkaian KfW ini sebetulnya juga pernah digunakan untuk layanan kereta commuterline di Jabodetabek. Namun, tidak lama setelah digunakan, rangkaian ini harus ditarik kembali oleh PT INKA selaku produsen untuk dilakukan perbaikan. Sebelum akhirnya digunakan untuk layanan KRL Yogya-Solo, rangkaian KfW ini direvitalisasi dengan dilakukan penambahan fitur penurunan daya untuk efisiensi konsumsi listrik kereta, penggantian AC, penggantian pantograf, perubahan livery, skema warna eksterior dan interior, normalisasi performance system KRL seperti sistem pengereman, propulsi dan traction motor, perpintuan, coupler elektrik, instalasi listrik, dan sistem komunikasi. 

Menariknya, setelah dilakukan revitalisasi, rangkaian KfW (dan rangkaian JR 205 yang diperbantukan untuk layanan KRL Yogya-Solo) didominasi oleh corak khas kearifan lokal Yogya-Solo pada eksterior dan interior kereta. Motif yang ditampilkan adalah motif batik Parang Barong, dengan dominan warna merah untuk menunjukkan ciri khas wilayah Kota Yogyakarta dan Kota Surakarta sebagai sentra kerajinan batik. Selain untuk menguatkan identitas dan branding dari kedua kota tersebut, penggunaan motif batik ini juga menjadi daya tarik sekaligus dapat mempromosikan kerajinan batik.

Selain melalui penggunaan corak batik pada eksterior dan interior kereta, bentuk promosi industri batik dari kedua kota tersebut juga dilakukan dengan menambah stasiun-stasiun pemberhentian yang dekat dengan sentra-sentra kerajinan dan objek wisata. Stasiun-stasiun pemberhentian yang berjumlah sebelas tersebut mencakup Stasiun Yogyakarta, Stasiun Lempuyangan, Stasiun Maguwo, Stasiun Brambanan, Stasiun Srowot, Stasiun Klaten, Stasiun Ceper, Stasiun Delanggu, Stasiun Gawok, Stasiun Purwosari, dan Stasiun Solo Balapan. Dengan begitu, layanan KRL Yogya-Solo ini juga diharapkan dapat mendorong pertumbuhan industri-industri kreatif di sekitar jalur yang dilewati. Di samping itu, penambahan jumlah stasiun juga dimaksudkan untuk mengakomodasi keluhan pengguna layanan KA Prameks terkait jarak antarstasiun yang sebelumnya dirasa terlalu jauh.

Selangkah Menuju Transportasi Berkelanjutan

Mimpi untuk membangun transportasi berkelanjutan lambat laun akan tercapai dengan dibangunnya beragam moda transportasi ramah lingkungan seperti KRL Yogya-Solo. Selain dapat mengurangi emisi gas rumah kaca, pembangunan KRL Yogya-Solo ini juga diharapkan dapat mengubah perilaku pergerakan warga yang semula mengandalkan moda angkutan jalan raya, menjadi menggunakan KRL ini. Terlebih, dengan tarif rata sebesar Rp 8.000, KRL Yogya-Solo ini hadir sebagai alternatif yang sangat terjangkau bagi warga Kota Yogyakarta dan Kota Surakarta untuk bepergian. Di samping itu, pembangunan KRL Yogya-Solo juga sarat akan semangat pemberdayaan industri dalam negeri. Semoga dengan insentif yang dihadirkan oleh KRL Yogya-Solo, industri dalam negeri dapat tumbuh dan menjadi pilar fundamental bagi pertumbuhan ekonomi negeri.

Hanif Junisaf adalah lulusan sarjana Hubungan Internasional Universitas Indonesia dan merupakan pengamat bidang perkeretaapian. Dapat ditemukan di Instagram dengan nama pengguna @juneisup

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *