Belajar dari Sektor Pangan, Mungkinkah Swasembada Energi?
Artikel ini juga telah dipublikasi di kanal Medium Adidaya Initiative.
Henry Kissinger, mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat yang kontroversial itu, pernah mengatakan, “Kuasai pangan, maka engkau dapat menguasai rakyat. Kuasai minyak maka engkau dapat menguasai bangsa.”
Saya berusaha menarik suatu kesimpulan sederhana dari ucapan Kissinger itu, yaitu bahwa pangan dan energi adalah dua sektor yang saling berhubungan dan merupakan penyokong kekuatan suatu bangsa.
Saya kemudian beranggapan bahwa kalimat Kissinger yang diucapkannya tahun 1970-an itu sudah tidak relevan lagi karena yang dibicarakannya adalah ‘minyak bumi’, yakni sumber energi fosil yang sekarang sudah dianggap tidak terlalu strategis. Kini, dunia—termasuk Indonesia—berada pada arah menuju energi baru terbarukan (EBT).
Apakah pangan dan energi terbarukan masih bisa saling bersinergi sebagaimana yang Kissinger katakan?
Saya pun berusaha mencari apa yang Indonesia bisa banggakan dari dua sektor strategis ini dan mendapat bahwa pada tahun 1984 Indonesia berhasil mencapai masa keemasannya setelah meraih swasembada beras. Bahkan saat itu, Organisasi Pangan Dunia atau FAO memberikan penghargaan istimewa kepada pemerintah atas prestasi luar biasa ini.
Kelimpahan pangan di Indonesia membuat saya berpendapat bahwa memang suatu keharusan apabila Indonesia mampu melakukan swasembada beras. Pertanyaannya, jika sumber energi pun sama melimpahnya dengan beras, akankah swasembada energi mungkin kita raih?
Sebelum membahas lebih jauh, kita perlu mengetahui arti dari kata ‘swasembada’ itu sendiri. Menurut KBBI, ‘swasembada’ diartikan sebagai usaha mencukupi kebutuhan sendiri (beras dan sebagainya). Dengan kata lain, swasembada energi adalah kemandirian energi tanpa mendatangkan sumber daya dari negara lain.
Saya merasa optimis bahwa dengan kelimpahan potensi EBT yang Indonesia miliki, Indonesia mampu mewujudkan swasembada ini. Namun, suatu berita dari kanal Liputan6.com justru menampilkan judul dengan nada pesimisme, “Indonesia Sulit Wujudkan Swasembada Energi”.
Dalam berita tersebut, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menyebutkan bahwa mewujudkan swasembada energi di Indonesia sangat tidak mudah dan banyak hambatan yang harus dilalui. Hambatan terbesar menurutnya adalah dari sisi politik. Bagi saya, membicarakan dari sisi politik akan sangat kompleks dan tidak ada habisnya.
Saya lebih tertarik untuk melihat dari sudut pandang yang lebih sederhana. Apa yang sekiranya patut kita pelajari dari keberhasilan swasembada beras tahun 1984 untuk diwujudkan di sektor EBT?
Saya berpendapat bahwa salah satu faktor keberhasilan swasembada beras tahun 1984 adalah bagaimana pada saat itu terdapat tren untuk ‘membumikan’ isu pangan ke tengah masyarakat, sampai lapisan terbawah. Dulu, dari pejabat tertinggi sampai petani di daerah terpencil pun mengedepankan isu pertanian dan pangan sebagai prioritas mereka. Bahkan Presiden pun mampu mengadakan temu wicara berjam-jam dengan petani untuk membahas hal-hal teknis seperti bibit pertanian yang cocok, kendala saat pancaroba, dan lain-lain. Akhirnya, sebagian besar masyarakat pun mengerti masalah pertanian dan mereka berkecimpung dengan masalah ini sehari-hari.
Bagaimana dengan EBT sekarang?
Kuncinya kurang lebih sama, yaitu jangan jadikan EBT sebagai pembahasan eksklusif yang didiskusikan hanya di sektor akademis dan pemerintahan saja. Mari turunkan isu ini sampai ke lapisan masyarakat paling bawah. Dengan kata lain, kita perlu bersama-sama membumikan isu EBT ini. Dengan demikian, masyarakat akan tahu apa itu EBT, apa manfaat dan dampaknya bagi kehidupan mereka, dan bagaimana untuk mewujudkannya.
Ada kabar baik tentang hal ini. Survei yang dilakukan Koaksi Indonesia menunjukkan bahwa EBT bukan lagi isu yang eksklusif, yang mana anak muda usia 17-30 tahun sudah awas dan perhatian pada isu EBT. Para responden ini bahkan sudah mengenal berbagai jenis EBT, seperti matahari (23,8%), bioenergi (22,4%), angin (19,7%), air (18,6%), dan panas bumi (15,2%).
Hasil survei di atas merupakan modal yang sangat baik untuk membumikan isu EBT. Lalu, apa yang dapat diperbuat anak muda untuk mengampanyekan EBT ke lapisan masyarakat?
Di sinilah peran generasi milenial untuk lebih kreatif dan inovatif dalam memanfaatkan media sosial mereka untuk terus mengampanyekan EBT dengan cara yang menarik dan mudah dimengerti.
Mahasiswa dan institusi pendidikan juga dapat mengambil peran yang lebih konkret dengan menggerakkan riset, penelitian, forum diskusi, dan pengabdian masyarakat yang mengusung isu EBT. Dengan demikian, para cendekiawan juga akan tergerak untuk mengangkat EBT sebagai prioritas mereka. Bila perlu, kolaborasi riset di bidang kesehatan, energi, dan pangan yang merupakan tiga bidang utama ujung tombak kemajuan bangsa juga dapat dilakukan.
Lalu bagaimana dengan masyarakat di pedesaan dan bahkan di daerah tertinggal?
Di sinilah kita dapat kembali belajar dari swasembada beras tahun 1984 silam. Pada era itu, setiap desa memiliki seorang ‘penyuluh’, seorang utusan pemerintah yang ditugaskan untuk membina pertanian desa tersebut. Penyuluh ini membimbing dan mendidik para petani, berbagi ilmu, dan ikut membantu dalam kegiatan pertanian mereka. Tentunya, penyuluh ini merupakan orang terpelajar yang mengerti ilmu pangan, baik teori dan teknis. Mereka sengaja mengabdikan diri untuk memajukan pertanian di desa tempat mereka ditugaskan.
Hal tersebut mungkin bisa diadopsi untuk mensosialisasikan EBT ke pedesaan. Seorang ‘penyuluh EBT’ bisa membina masyarakat pedesaan untuk mengaplikasikan EBT dari hal-hal yang sederhana sampai sektor yang lebih besar, bahkan komersialisasinya. Satu desa akan memiliki satu penyuluh, sehingga penyuluhan EBT bisa lebih intensif dan efisien, dan keberlanjutan penerapan EBT ini setidaknya bisa diawasi oleh penyuluh. Tentu saja pemerintah yang paling berperan dalam menggerakkan penyuluh ini.
Apabila hal ini berhasil, seluruh lapisan masyarakat akan mengenal dan memahami EBT. Tantangan selanjutnya untuk mewujudkan swasembada energi akan berhadapan dengan isu politik yang telah diungkapkan Komaidi Notonegoro sebelumnya.
Jika ditanya, mungkinkah Indonesia mewujudkan swasembada energi?
Jawabannya mungkin. Akan tetapi, benar adanya bahwa hal itu sangat tidak mudah dan butuh perencanaan dan langkah-langkah yang sangat panjang. Namun, belajar dari sektor pangan, saya berpendapat bahwa langkah pertama dan paling sederhana yang bisa kita lakukan untuk mewujudkan cita-cita besar ini adalah dengan membumikan isu EBT ke seluruh masyarakat Indonesia.
Saya tertarik untuk memodifikasi ucapan Kissinger di awal, yaitu “Kuasai pangan, maka rakyat akan kuat. Kuasai energi, maka bangsa akan kuat.”
Terakhir, untuk generasi muda, yuk turut berkontribusi untuk membumikan isu EBT ini menggunakan cara versi kita!
Referensi
Redaksi WE Online. (2019, November 29). Biodiesel untuk Swasembada Energi, Why Not?. Warta Ekonomi. https://www.wartaekonomi.co.id/read259101/biodiesel untuk-swasembada-energi-why-not
BBC Siaran Indonesia. (2009, Maret 10-14). Indonesia dan swasembada pangan. BBC News Indonesia. https://www.bbc.com/indonesia/laporan_khusus/2009/11/091126_rice_six
Kamus Besar Bahasa Indonesia. [Online]. Tersedia di https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/swasembada
Wicaksono, P.E. (2019, Januari 15). Indonesia Sulit Wujudkan Swasembada Energi. Liputan 6. https://www.liputan6.com/bisnis/read/3871491/indonesia-sulit-wujudkan swasembada-energi
Media Indonesia. (2016, Oktober 26). Membumikan Energi Baru dan Terbarukan. Media Indonesia. https://mediaindonesia.com/nusantara/73986/membumikan-energi baru-dan-terbarukan
Koaksi Indonesia. (2019, September 18). Energi Terbarukan Bukan Lagi Isu Eksklusif. Coaction Indonesia. https://coaction.id/en/energi-terbarukan-bukan-lagi isu-eksklusif/
Reyhan Ammar adalah penanggungjawab hubungan masyarakat dari Divisi Pengabdian Masyarakat Adidaya Initiative. Dapat ditemui di Instagram dengan nama pengguna @reyhanammar98