Kudeta Kedua di Burkina Faso dan Dilema Prancis di Kawasan Sahel

0

Ilustrasi Kudeta Militer di Burkina Faso. Foto: Reuters

Setelah secara berturut terjadi di Mali dan Chad, kini kudeta militer melanda negara lain di kawasan Sahel, Burkina Faso pada Senin (24/01). Dilansir dari Aljazeera, kudeta yang mengambil alih kekuasaan Presiden Roch Kabore tersebut dikomandoi oleh Letnan Kolonel Paul-Henri Sandaogo Damiba dan mengatasnamakan sebuah entitas militer baru, Patriotic Movement for Safeguard and Restoration atau MPSR yang dikatakan mencakup seluruh faksi militer Burkina Faso. Kudeta ini merupakan yang kedua terjadi di Burkina Faso dalam 18 bulan terakhir. 

Jatuhnya pemerintahan Burkina Faso ke tangan militer disambut baik oleh masyarakat setempat karena junta dianggap dapat memenuhi tuntutan rakyat akan sistem keamanan yang lebih baik dalam membendung kelompok jihadis bersenjata. 

Sementara itu, Paris melalui Presiden Emmanuel Macron terus menegaskan bahwa prioritas mereka di wilayah Sahel adalah untuk melawan terorisme yang diluncurkan oleh kelompok-kelompok jihadis Islam. Meskipun demikian, optimisme akan kesuksesan operasi yang telah diluncurkan Prancis tersebut nampak absen dalam pernyataannya pada Selasa (25/01). 

“Tanggung Jawab” Pasca Kolonial Prancis dalam G5 Sahel Joint Force

Sejak tahun 2017, Macron telah melancarkan operasi militer gabungan Prancis bersama G5–Mali, Niger, Burkina Faso, Mauritania, dan Chad–sebagai bagian dari kebijakannya yang ditujukan untuk membentuk pasukan lokal yang bertanggung jawab atas keamanan wilayahnya dalam jangka panjang. Di bawah payung G5 Joint Force, operasi militer tersebut telah membuat Prancis mengerahkan lima ribu tentaranya dan menghabiskan setidaknya 1 miliar euro setiap tahunnya.

Lima ribu tentara tersebut dibagi dalam tujuh batalion pada Operasi Barkhane di Mali, Niger, Chad, Burkina Faso, dan Mauritania. Misi yang diemban adalah untuk melawan terorisme, menumpas kejahatan terorganisasi di perbatasan, dan menghapuskan human trafficking di Sahel

Di Burkina Faso sendiri, tentara Prancis telah membantu militer domestik untuk memadamkan berbagai aksi terorisme kelompok-kelompok  jihadis bersenjata yang bersekutu dengan al-Qaeda dan Islamic State in the Greater Sahara (ISGS), cabang dari ISIL. Menyusul serangan terbesar sekutu ISIL di perbatasan timur dengan Niger pada Juni 2021, Kabore memperkuat kerja sama militernya dengan Prancis dalam upaya melawan terorisme.

Sayangnya, operasi Prancis bersama negara-negara G5 dalam rangka menjaga stabilitas kawasan dan memerangi kelompok jihadis islam ini diperkirakan dapat secara signifikan terlemahkan oleh kudeta yang terjadi. Sebab, kudeta melahirkan sebuah dilemma baru bagi Paris untuk tetap mempertahankan operasi penumpasan terorisme sebagai prioritas ditengah keengganan militer untuk bekerja sama.

“Kudeta (di Burkina Faso) ini menempatkan Prancis dalam posisi yang sulit karena mereka telah dipukul mundur di Mali. Jika Prancis memutuskan untuk angkat tangan di Burkina Faso, semua upaya akan sia-sia,” ucap Michael Shurkin, seorang mantan agen CIA. 

Di sisi lain, sentimen anti-Prancis di tengah masyarakat terus meningkat dengan munculnya berbagai kritik tentang operasi militer Prancis yang dipandang sebagai bentuk intervensi. Karenanya, tak heran jika jatuhnya Kabore yang condong ke Prancis dalam kudeta lalu dilihat sebagai bentuk pembebasan rakyat Burkina Faso dari mantan penjajahnya. Dalam sebuah aksi massa yang merayakan kudeta di Ouagadougou, beberapa massa bahkan menuangkan kebencian mereka terhadap Prancis dengan membakar bendera negara tersebut. 

Peran Prancis yang dalam satu dekade ke belakang ini semakin menurun di kawasan Sahel, kini dihadapkan dengan dilema baru berupa kudeta Burkina Faso. Selain itu, setelah hampir 5 tahun G5 berjalan, kelompok-kelompok jihadis dan teroris ternyata belum juga dapat ditumpas seluruhnya. Dengan sentimen negatif yang berkembang di kawasan Sahel terhadap Prancis dan dukungan domestik Prancis yang semakin berkurang, beberapa ahli menunjukkan kemungkinan peran Prancis di Sahel untuk berakhir secara tragis seperti Amerika Serikat di Afghanistan.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *