Mahasiswa di Mata Kampus: Civitas atau Komoditas?

0

Kuliah Makin Sulit/Kredit Foto The Conversation

Tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan serta memperhalus perasaan”

– Tan Malaka

Isu mengenai pendidikan tiap tahunnya selalu menjadi pembicaraan penting. Apakah dengan pendidikan kesejahteraan bisa tercapai? Mungkin pernyataan itu terlalu naif dan klise. Bagaimana tidak, kapitalisme memiliki hubungan erat dengan pendidikan hari ini. Kapitalisme merayap masuk ke Perguruan Tinggi yaitu dengan membentuk tenaga kerja potensial demi mengkonstruksi wacana dan struktur sosial.

Pendidikan sejatinya merupakan sebuah proses pembebasan yang mengarah pada emansipasi diri dari keterbatasan kebodohan dan penindasan. Pendidikan sangat menentang apa yang disebut “budak”. Hal ini dikarenakan proses tersebut memerlukan pemikiran mandiri dari subjek agar ia dapat bebas dan mengenal dirinya serta lingkungannya. Sebagaimana menurut Profesor Yaslav Amir Pirian, kondisi manusia dapat dijelaskan oleh perbedaan internal berdasarkan kualitas diri dan derajat kemanusiaan, dengan tingkatan manusia yang paling rendah adalah non-manusia/budak. Ketika manusia dianggap sebagai budak, ia ditempatkan setara dengan benda, objek, tidak memiliki hak, suara, bahkan nyawa.

Mengulas Bagaimana Kampus Memandang Mahasiswa

Sebagai institusi pendidikan, Kampus hendaknya memandang mahasiswa sebagai subjek yang otonom dan mandiri, bukan objek yang dapat dimanipulasi semaunya. Kita adalah civitas, bukan komoditas, jadi kita tidak boleh menyalahgunakan pendidikan sebagai sarana komersialisasi. Diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2013 tentang Bentuk dan Mekanisme Pendanaan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH) semakin memperjelas tujuan perguruan tinggi saat ini. Hak otonom yang diberikan menjadikan kampus berhak mengatur atau mengelola perguruan tinggi secara independen, dari aspek akademis hingga keuangan. 

Lebih jauh lagi, UU PT No.12 Tahun 2012 mengubah status Perguruan Tinggi menjadi sebuah pasar yang menciptakan produk-produk demi kebutuhan korporasi. Ya, produknya kita mahasiswa. Relasi Perguruan Tinggi dan Korporasi semakin jelas ketika mengadakan JobFair di setiap tahunnya dan banner-banner untuk mendorong menciptakan SDM/Kelas pekerja. Ditambah lagi dengan peraturan UU Dikti ini, Perguruan Tinggi hampir tiap tahunnya menaikkan biaya kuliah. Dengan ini, semakin sempit pula nasib kaum miskin kota dan anak-anak buruh untuk mengakses PTN Berbadan Hukum.

Meskipun konstitusi dengan tegas menyatakan bahwa pendidikan adalah “hak” yang berarti kewajiban bagi negara untuk memenuhinya, dibebankannya uang pangkal ke masyarakat hanyalah salah satu ekspresi lain ketika pendidikan tinggi berada dalam jerat fundamentalisme pasar di mana pendidikan (dan prasyarat untuk sejahtera) adalah persoalan pribadi, bukan tanggung jawab sosial yang menjadi urusan negara. Logika tersebut adalah pondasi dari segala bentuk komersialisasi pendidikan hari ini. Dari pemungutan UKT hingga penarikan uang pangkal, asumsi yang mendasarinya adalah sentralitas individu untuk memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa intervensi kolektif (negara) untuk memberikan akses yang adil atas pendidikan.

Kampus Sebagai Komunitas

Setelah membaca banyak literatur, saya tertarik untuk mengutip Orasi Ilmiah dari Prof. Soedjana Sapiie. Dalam orasinya, beliau menyebutkan bahwa lembaga pendidikan tinggi adalah suatu komunitas yang mendedikasikan dirinya pada:

a. Memburu (pursuit) dan mendiseminasikan pengetahuan;

b. Mempelajari, memperjelas, dan menjaga (guardian) nilai-nilai kehidupan; dan

c. Memajukan masyarakat yang dilayaninya.

Sehubungan dengan tiga poin utama tersebut, beliau menekankan sifat pendidikan tinggi sebagai suatu komunitas, bukan bisnis. Secara khusus, pendidikan tinggi adalah suatu komunitas yang mendedikasikan dirinya pada bidang-bidang kegiatan yang sangat kental dengan nuansa budaya untuk memajukan masyarakatnya. Dedikasi demikian ini hanya mungkin dilakukan dengan baik, bila komunitas itu menghayati nilai-nilai tertentu sebagai landasan berpikir dan bertindaknya. Integritas adalah salah satu nilai utama, bila tidak hendak dikatakan yang terutama. Integritas ke dalam komunitasnya maupun kepada masyarakat di luarnya.

Dengan demikian, masyarakat luas dapat bertanya pada dunia universitas, tentang integritasnya di bidang pendidikan, di bidang riset, atau juga di bidang pengabdian kepada masyrakat. Ini juga termasuk tentang pertanyaan tentang integritas universitas dalam menyusun program-programnya, mengelola administrasinya, dan menghimpun dananya. Semua pertanyaan di atas relevan dalam menilai integritas suatu universitas.

Meski begitu, universitas sebagai satuan administrasi jelas harus dikelola dengan baik. Universitas harus dapat memenuhi komitmen finansialnya untuk jangka pendek maupun jangka panjang.  Namun, sekali lagi, universitas bukan bisnis. Tujuannya bukanlah menghasilkan keuntungan dan memaksimalkan shareholder value. Fungsi manajemen finansial yang baik dari universitas hanyalah untuk mempertahankan dan meningkatkan tujuan pendidikan, keilmuan, dan pelayanan masyarakatnya.

Bila ditinjau dari model komunitas-proses-produk-nya Daoed Joesoef, kebijakan ini juga rancu menimbulkan ketidakpastian nilai yang dipegang oleh perguruan tinggi. Maksud dari Daoed Joesoef adalah dalam membuat produk apapun, perguruan tinggi pertama harus menganggap dirinya adalah suatu komunitas ilmiah. Hal ini diperlukan agar nilai, budaya, dan norma yang dipegang menggunakan logika kekeluargaan (gemeinschaft) berlandaskan ilmu pengetahuan, bukan logika keuntungan bahkan logika pasar (gesselschaft), selanjutnya diikuti proses yang benar.

Menyoal Kenaikan UKT

Dalam pembuatan kebijakan kenaikan UKT ini, saya khawatir bahwa keresahan beliau nyata terjadi. Tidak seperti yang lazim berlaku di kampus dulu, kini, justru yang didahulukan adalah ”produk” dengan mengabaikan ”proses” dan ”komunitas”. Produk hukum berupa SK Rektor muncul terlebih dahulu tanpa proses dan dialog dengan mahasiswa dan proses pembuatannya pun terkesan satu arah sehingga core value kampus sebagai komunitas ilmiah tercederai. Kampus juga kemudian terjebak dalam short-termism dengan menaikkan UKT untuk memenuhi kebutuhan pendanaan kuartalan atau tahunan, tetapi melupakan fungsi keilmuan dan pelayanan yang tidak terukur manfaatnya.

Oleh karena kampus ini adalah tempat bertanya yang harus ada jawabnya, maka sudah sewajarnya ketika mahasiswa bertanya bagaimana transparansi keuangan universitas, rektorat menjawabnya. Jika tidak, sangatlah lumrah untuk menganggap bahwa agaknya kampus tidak lagi melihat mahasiswa sebagai civitas, tetapi komoditas. 

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *