Melihat Implikasi Kunjungan Jokowi ke Ukraina-Rusia: Perspektif “Non-Barat” dalam Resolusi Konflik

0

Ilustrasi kunjungan Presiden Joko Widodo ke Kyiv, Ukraina. Foto: Reuters

Pada 29 dan 30 Juni 2022, Presiden Joko Widodo mengambil langkah yang mungkin tidak pernah terpikirkan kebanyakan orang, yaitu mengadakan kunjungan ke Kyiv, Ukraina dan Moskow, Rusia untuk bertemu dengan Presiden Volodymyr Zelenskyy dan Presiden Vladimir Putin. Kunjungan yang dibalut dengan slogan “misi damai” oleh banyak media digembor-gemborkan sebagai upaya meredakan peperangan di Ukraina yang sudah berlangsung lebih dari empat bulan dengan dampak kemanusiaan yang luar biasa. Selain itu, Presiden Jokowi juga diharapkan membawa permasalahan yang timbul implikasi perang di Ukraina, seperti krisis pangan dan energi. Pertemuan telah dilaksanakan, dengan baik Presiden Zelenskyy maupun Putin menyambut baik kehadiran Presiden Jokowi. Zelenskyy mengharapkan peran Indonesia untuk mendukung perdamaian dan menghetnikan agresiRusia serta mendorong pencabutan blokade produk pangan Ukraina, sedangkan Putin cenderung mendiamkan isu Ukraina meskipun tetap menyebutkan komitmen untuk menjaga pasokan suplai pangan dari Ukraina. Presiden Jokowi juga membawa diplomasi ekonomi dalam misi ini, dan berhasil menyepakati beberapa bidang kerjasama, seperti perjanjian bebas visa Indonesia-Ukraina dan kelanjutan perundingan perdagangan besar Indonesia-Uni Ekonomi Eurasia yamg dipimpin Rusia.

Penulis menggaris bawahi terlebih dahulu bahwa kunjungan Jokowi sangat kecil kemungkinan berpengaruh terhadap penghentian perang, berbeda dengan apa yang sempat diharapkan sebagian besar media di Indonesia. Apa yang lebih menjadi perhatian Indonesia adalah upaya membangun kembali dialog antara pihak-pihak yang berkonflik dan dampaknya terhadap stabilitas sistem internasional yang sedang perlahan bangkit dari pandemi COVID-19. Memang, resolusi konflik adalah hal yang sangat panjang dan harus melibatkan negosiasi yang mendalam antara semua pihak ynag terlibat. Meskipun begitu, dalam tulisan ini, penulis berargumen bahwa kunjungan Jokowi ke kedua negara tetap penting karena ada beberapa manfaat diplomatis dari kunjungan ini. Pertama, adanya tekad Indonesia untuk tetap berhubungan baik dengan Rusia dan Ukraina di tengah kerumitan geopolitik. Kedua, sikap Indonesia juga memperlihatkan sisi outward-looking politik luar negeri Presiden Jokowi, yang mulai menguat di periode kedua presiden Jokowi setelah periode sebelumnya cenderung inward-looking. Ketiga, sikap Jokowi juga memperlihatkan alternatif terhadap metode Barat mengenai manajemen konflik yang memfokuskan pada upaya isolasi Rusia.

Kunjungan Jokowi menunjukkan bahwa Indonesia tetap berkomitmen untuk bekerjasama dengan Rusia dan Ukraina di tengah tantangan geopolitik yang dialami kedua negara. Hal ini tidak berarti Indonesia “mengiyakan” atau membiarkan tindakan Rusia. Indonesia tetap menekankan penghormatan terhadap integritas territorial setiap negara dan meminta perang segera dihentikan. Sebagai bentuk simpati Indonesia, Presiden Jokowi menyumbangkan bantuan kemanusiaan kepada rakyat Ukraina yang diserahkan ke sebuah fasilitas kesehatan di Kyiv. Namun, Indonesia juga mengambil langkah berbeda dengan dunia Barat, seperti Presiden Polandia, Andrzej Duda, yang menyebut bahwa “bisnis dengan Rusia tidak bisa berjalan seperti biasa”. Indonesia tetap ingin mengembangkan kerjasama dengan Rusia dan Ukraina dan tidak menjatuhkan snaksi terhadap Rusia. Dalam pertemuannya dengan Presiden Putin, Jokowi membahas potensi kerjasama ekonomi untuk meningkatkan angka perdagangan dan bantuan infrastruktur untuk rencana pemindahan ibukota RI (meskipun implementasinya masih perlu diikuti). Sebelumnya, Indonesia juga pernah menerima Presiden Amerika Serikat, George Bush Jr. tahun 2006 meskipun saat itu pemerintahannya sedang dikecam karena Perang Irak. Indonesia tetap ingin bekerjasama dengan negara manapun, terutama negara besar, meskipun sedang timbul banyak kecaman atas negara tersebut, selama tetap bisa mencapai kepentingan nasional Indonesia.

Kedua, pemerintahan Jokowi semakin menunjukkan sisi outward-looking melalui kunjungannya ke Ukraina dan Rusia. Sebagian besar pengamat hubungan internasional menekankan pada sisi inward-looking polugri Presiden Jokowi pada periode pertamanya (2014-2019) yang didassarkan pada beberapa faktor seperti kurangnya pengalaman Jokowi dalam isu luar negeri, fokus Jokowi yang berorientasi pada kepentingan domestik dan “turun ke bawah”, serta kurangnya familiaritas masyarakat Indonesia dengan isu polugri (Pakpahan, 2018). Namun, di periode kedua Presiden Jokowi, terlihat adanya upaya meningkatkan peran Indonesia sebagai aktor global. Langkah ini mengikuti beberapa inisiatif sebelumnya seperti Konsepsi Indo-Pasifik ASEAN, keanggotaan Indonesia di Dewan Keamanan PBB (2019-2020), serta keketuaan Indonesia di G20 pada 2022. Dalam aspek ini, ada implikasi internal dan eksternal dari kunjungan Jokowi. Implikasi internal terlihat pada adanya kepentingan politik domestik yang ingin dicapai untuk audiensi domestknya dan adanya upaya Jokowi menanamkan “legacy” dari kepeimpinannya, sementara kepentingan eksternal terlihat pada penanaman Indonesia sebagai middle-power yang berpengaruh dan berkontribusi untuk perdamaian global. Presiden Jokowi juga membahas isu yang menjadi perhatian negara berkembang yaitu blokade pelabuhan Ukraina yang dikhawatirkan memicu krisis pangan. Hal ini bisa menambah prestise diplomatik Indonesia, yang dianggap penting oleh Morgenthau (1985). Terlebih, Jokowi adalah pemimpin Asia pertama yang mengunjungi Ukraina sejak invasi Rusia (meskipun bukan yang pertama yang mengunjungi Rusia pasca-invasi, Karena sebelumnya pemimpin Pakistan, Tajikistan, dan Kazakhstan sudah terlebih dahulu mengunjungi Rusia).

Terakhir, kunjungan Jokowi menunjukkan adanya alternatif terhadap resolusi konflik ala Barat dalam menyelesaikan konflik di Ukraina. Negara-negara Barat berfokus pada containment dan isolasi Rusia melalui sanksi besar-besaran, tidak hanya di bidang ekonomi, namun juga di beberapa bidang yang dianggap seharusnya tidak dipolitisasi seperti turisme, olahraga, seni budaya, dan pertukaran mahasiswa. Langkah-langkah ini ternyata tidak cukup menghentikan langkah Rusia, dan justru dapat meningkatkan antagonisme Rusia terhadap Barat dan meyakinkan Rusia bahwa Barat adalah musuh sejati. Hal ini memiliki implikasi yang berbahaya, seperti halnya sanksi dan pengucilan terhadap Jerman pasca Perang Dunia I membuka jalan bagi naiknya Hitler dan Jerman yang lebih mengerikan lagi di Perang Dunia II. Oleh karena itu, meskipun sulit, tetap menggandeng Rusia akan diperlukan. Indonesia punya sejarah yang tetap menggandeng “pihak-pihak kontroversial” seperti tokoh Khmer Merah, Khieu Samphan, pada pertemuan Jakarta Informal Meeting dan hal ini berdampak pada perdamaian di Kamboja. Oleh karena itu, tidak ada salahnya langkah yang didasarkan pada pengalaman ASEAN ini bisa menjadi alternatif. Seperti yang dikatakan Kishore Mahbubani, diplomat senior Singapura, akan mustahil bagi Eropa untuk hidup tanpa bayang-bayang Rusia yang sudah “ditakdirkan” menjadi tetangga mereka, sehingga pragmatisme perlu dilakukan.

Secara umum, kunjungan Presiden Jokowi memang tidak memposisikan dirinya sebagai “juru damai” seperti yang diharapkan beberapa elemen publik. Kekerasan tetap berlanjut di Ukraina. Namun, kunjungan ini adalah hal baik yang lebih banyak membawa manfaat ketimbang seandainya kunjungan ini tidak terjadi. Bagaimana kedepannya hubungan Rusia-Ukraina akan berjalan, terutama dalam konteks kehadiran kedua pemimpin mereka di KTT G20 Bali, akan menarik untuk diikuti. Untuk sekarang, kita dapat melihat kunjungan Jokowi sebagai cerminan beberapa prinsip dasar yang dianut politik luar negeri Indonesia, yaitu tentang “kemerdekaan sebagai hak segala bangsa”, “ikut melaksanakan ketertiban dunia” dan “mendayung di antara dua karang”. Penulis menutup tulisan ini dengan mengenang kisah perjuangan diplomatik untuk pengakuan kedaulatan Indonesia di PBB, ketika diplomat-diplomat Ukraina (Dmytro Manuilsky) dan Rusia (Andrei Gromyko) menyuarakan tentang pentingnya perhatian terhadap isu Indonesia bagi keamanan internasional. Memang, langkah Manuilsky dan Gromyko tidak secara langsung mendorong pada pengakuan kedaulatan Indonesia, namun tindakan mereka akhirnya berdampak pada diperhatikannya situasi Indonesia oleh PBB dan Konferensi Meja Bundar 1949. Begitu pula Presiden Jokowi saat ini, yang belum memberi dampak langsung bagi situasi di Ukraina, namun kedepannya kita lihat saja.

Dyakuyu Manuilsky, spasiba Gromyko, terima kasih, Pak Jokowi.

Jonathan Jordan adalah alumni Hubungan Internasional Universitas Indonesia yang memiliki minat pada kajian politik dan kebijakan luar negeri Rusia. Dapat ditemui di Instragram dengan nama pengguna @yurichernousov

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *