Mengakhiri Pax Americana, Mencegah Pax Sinica

0

Ilustrasi. Foto: USA Today

Dalam sebuah perenungan historis, paling tidak tiga ratus tahun ke belakang, lahir kesimpulan bahwa dunia kita tengah didominasi oleh “Barat”. Bentuk dominasi yang berwujud hegemoni ini membentuk kurang lebih tiga abad peradaban dunia kita. Mulai dari kegemilangan Renaisans, Revolusi Industri yang berimplikasi signifikan, dan kolonialisme yang kuat mengakar, telah membawa Barat pada suatu puncak piramida politik dunia. Bahkan cenderung tak tergoyahkan. 

Sebagai bentuk eufemisme dari hegemoni dan pengendalian dunia, digunakanlah istilah Perdamaian Panjang (Pax). Abad 18 dunia berada dalam Pax Neerlandica, ketika Belanda muncul sebagai salah satu superpower dunia. Memasuki abad ke-19, kedigdayaan dan keadidayaan Inggris tak tertandingi, sehingga muncul istilah Pax Britannica, yang mencerminkan hegemoni Inggris di dunia. Memasuki abad 20, terlebih pasca Perang Dunia 2, Amerika Serikat muncul sebagai kekuatan global menggantikan Inggris yang mengalami deklinisme. Sehingga, abad 20 menjadi abad milik Amerika dengan Pax Americana-nya. 

Amerika Serikat muncul sebagai kekuatan global tanpa tanding yang luar biasa perkasa. Terlebih pasca runtuhnya Uni Soviet, AS seakan menjadi satu-satunya adidaya dunia. Charles Krauthammer menggambarkan kekuatan dan hegemoni AS ini, yang disebutnya sebagai momen dunia unipolar, sebagai kekuasaan yang mencengangkan dalam sejarah sejak runtuhnya Imperium Roma. 

Akan tetapi, kemudian muncul pertanyaan, sejauh mana kekuatan hegemoni AS ini akan bertahan? Apakah dunia kita saat ini, di abad 21, masih berada dalam bayang-bayang Pax Americana? Bagaimana dengan Cina, sebagai penantang hegemoni AS paling tangguh, akankah berhasil menggoyahkan imperium global AS? Siapkah dunia memasuki era Pax Sinica, dimana Cina menjadi hegemoni dunia? Saya akan menuliskan opini pribadi saya. 

Akhir Pax Americana: Usainya Hegemoni AS 

Sejarah selalu membawa para pelakunya dalam suatu kondisi yang paling merugikan ataupun sebaliknya, sangat menguntungkan. Munculnya Amerika Serikat sebagai hegemoni dunia sejak akhir 1945, merupakan bukti bahwa laju sejarah telah membawa negara yang sebelumnya isolasionis tersebut, pada suatu kekuasaan puncak imperium global. AS diuntungkan oleh mega-krisis multidimensi yang melanda dunia di abad 20, mulai dari Perang Dunia, krisis ekonomi, hingga keterpurukan negara hegemon sebelumnya seperti Inggris, Prancis, dan Jerman. Realita ini membawa AS pada suatu kondisi, yang menurut Noam Chomsky, mampu menangguk untuk yang amat besar. Sejarah telah memberikan karpet merah kepada Negeri Paman Sam tersebut, untuk menduduki singgasana adidaya dunia.

Dunia ketika AS menjadi hegemoni, yang kemudian disebut juga dengan era Pax Americana, hampir pasti menjadi kuas yang melukis kanvas politik dunia abad ke 20 bahkan hingga awal abad 21. Konfigurasi politik dunia yang dimana AS menjadi penguasa imperium global, akan senantiasa dipertahankan, tentunya oleh AS sendiri. Cita-cita AS yang ingin mempertahankan status quo sebagai adidaya dunia ini, bisa kita lihat dengan jelas dalam apa yang disebut sebagai Project for the New American Century. Proyek yang sarat akan ambisi politik ini, dicetuskan oleh tokoh-tokoh kawakan AS, seperti Dick Cheney, Donald Rumsfeld, dan Paul Wolfowitz. Proyek neokonservatif ini juga seakan menyampaikan pesan gamblang bahwa, “hanya Amerika Serikat yang harus dan bisa menjadi hegemoni dunia”.

Dunia dalam hegemoni AS ini sudah selayaknya kita pertanyakan dengan skeptisisme yang penuh kritis, sebagai bentuk peninjauan ulang. Jangan sampai kita terbuai dalam kenyamanan status quo serta realita yang sudah dianggap biasa. Sebagaimana Bertrand Russell mengatakan, dalam perkara apapun ada baiknya sesekali membubuhkan sebuah tanda tanya pada hal-hal yang selama ini cenderung dianggap biasa. Dalam konteks ini, dunia dalam genggaman Barat, terutama AS, sudah seringkali dianggap biasa dan tidak menjadi soal yang patut dipertanyakan dan ditinjau ulang. Hal ini disebabkan karena kita sudah begitu terdoktrinisasi dengan sikap western-centrism dalam berbagai aspek kehidupan, terlebih dengan sejarah kolonialisme yang mengakar.

Universalisasi Amerikanisme dan westernisasi sudah waktunya berakhir. Pax Americana akan dan harus menemui era penghabisan. Paling tidak ada beberapa pertimbangan rasional yang membuat kita harus segera melepaskan diri dari pengaruh dan cengkraman barat, kendati akan menemui tantangan yang tidak mudah. Pertimbangan tersebut diantaranya:

Pertama, menghentikan universalisme nilai-nilai Barat. Dalam tatanan dunia yang dimana Barat menjadi arsiteknya, nilai-nilai yang berlaku di dunia pun seakan mengalami baratisasi. Seakan-akan kiblat keluhuran nilai-nilai sosial manusia adalah Barat, dan hanya Barat. Dengan didasarkan pada superioritas ekonomi dan politik, terjadilah usaha untuk menguniversalkan nilai-nilai Barat, yang sejatinya tidak selalu relevan di seluruh dunia, namun dipaksa relevan. Dengan sendirinya, AS dan kawan-kawan, merasa menjadi pemegang kunci kebenaran dan keberadaban global. Salah satu contoh nyata adalah kampanye LGBT yang dipaksakan di seluruh dunia, dan yang menutup diri terhadapnya dianggap eksklusif, terbelakang, tertinggal, dan kontra-modernitas, tanpa memahami pluralitas budaya global. Bukti pola pikir picik yang ada di Barat. 

Kedua, menghentikan sikap semena-mena Amerika Serikat. Barat, terutama AS dalam perjalanan politiknya mempunyai sikap suka-suka gue. Disokong oleh status adidaya dan jubah kebesaran imperium global, Amerika terutama, seakan-akan bebas melakukan apapun di dunia ini. Menginvasi negara lain tidak jadi masalah, mengendalikan Perserikatan Bangsa-Bangsa sesuatu yang mudah, intervensi politik negara lain siapa yang berani cegah? Seberdaya itu AS. Hal ini tidak mengherankan, tatanan 1945 yang berlaku saat ini memang dirancang oleh AS. PBB, sistem keuangan internasional Bank Dunia, Dana Moneter Internasional, WTO, dan lain-lainnya, berada dalam kendali sang kaisar dunia. 

Ketiga, demokratisasi dunia. Ide besar tentang demokrasi adalah produk pemikiran hebat di Barat. Amerika Serikat selalu mengelu-elukan dirinya sebagai negara penjaga pilar-pilar demokrasi. Namun paradoksnya, menurut saya, AS sebagai arsitek tatanan dunia pasca 1945, membangun dunia yang sama sekali tidak demokratis. Amerika membagun suatu monarkisme global, imperium dunia, dimana AS duduk di piramida tertinggi strata sosial global sebagai kaisar. Sang kaisar dunia adalah pemilik kebenaran absolut dan siapapun yang tidak sependapat atau bertentangan dengannya akan hancur bagai debu. Lebih jauh bisa ditanyakan kepada para penentang kaisar seperti, Fidel Castro, Khadafi, Saddam Hussein, Vladimir Putin, Khomeini, juga Soekarno. 

Akhirnya saya sampai pada kesimpulan bahwa hegemoni AS harus diakhiri, dan tatanan dunia yang lebih egaliter harus ditegakkan. Pax Americana harus menemui usai. Namun, di abad 21 ini, deklinisme AS dan Pax Americana yang akan berakhir, berpeluang besar digantikan oleh negara yang tidak kalah ambisiusnya. Negara tersebut tiada lain adalah Cina, sang naga Asia. Cina, mau tidak mau ingin menggantikan hegemoni AS di dunia, dan membangun Pax Sinica sebagai pengganti Pax Americana.

Pax Sinica Bukan Alternatif

Ketidaknyamanan atas hegemoni AS dan Barat umumnya, bukan berarti membuat kita berharap akan munculnya hegemon baru, dari Asia sekalipun. Tidak. Karena inti dari tulisan ini, saya ingin menekankan pada tatanan dunia tanpa hegemoni. Sebagaimana banyak diperdebatkan, bahwasannya abad 21 merupakan abad penghabisan bagi hegemoni Barat, termasuk AS. Cina digadang-gadang akan menjadi superpower baru di abad 21, sang naga dari Asia akan mengobrak-abrik tatanan lama yang susah payah dibangun oleh AS. Hal ini bisa dilihat dari perang dagang antara AS-Cina, kecurigaan yang tak kunjung usai antara keduanya, perebutan hegemoni di Indo-Pasifik, perebutan hegemoni di Timur Tengah, serta persaingan dalam ranah inovasi teknologi digital. 

Kebangkian Cina dan aspek historis yang melatarinya, serta implikasi yang ditimbulkannya, tertuang dengan sangat baik dalam tulisan Martin Jacques dalam bukunya When China Rules The World. Martin menerangkan secara runtut bagaimana kebangkitan Cina, mulai dari kekuatan-kekuatan Barat yang menundukan Cina pada “century of humiliation” (1850-1950), suatu masa yang memalukan dalam sejarah Cina, hingga kebangkitannya sejak Revolusi 1949 dan dilanjut Reformasi 1978 hingga saat ini. 

Cina yang pertumbuhan ekonominya luar biasa pesat, bahkan disebut-sebut tak ada presedennya dalam sejarah, telah menjadi ancaman untuk Amerika Serikat. Dalam ambisi geopolitiknya, Cina memiliki kebijakan yang disebut Belt and Road Initiative (BRI), yaitu sebuah strategi pembangunan global. BRI ini juga menjadi salah satu bukti ambisi hegemoni Cina untuk menguasai dunia. Ternyata kursi kekaisaran global adalah posisi strategis yang diperebutkan para superpower dunia, termasuk Cina. 

Belum lama ini, seorang diplomat top dan mantan menteri luar negeri Cina, Wang Yi, berpidato tentang revitalisasi Asia Timur. Wang Yi berpendapat bahwa perlu adanya suatu pengeratan hubungan dan kerja sama regional, antara Cina, Jepang, dan Korea Selatan. Wang Yi juga mengkritik sikap western-centrism yang dimiliki Jepang dan Korea Selatan, yang menurutnya tidak akan membuat negara Asia Timur tersebut menjadi bagian dari Barat. 

Pernyataan diplomat top tersebut memang benar, bahwa siapapun tentu tidak bisa menggantungkan diri pada Amerika Serikat dan Barat pada umumnya. Namun perjalanan historis Jepang dan Korsel memang tidak bisa dilepaskan dari intervensi dan peranan Barat. Sejak Restorasi Meiji 1868 hingga pesatnya pertumbuhan ekonomi Jepang, serta pemulihannya pasca Perang Dunia 2, tidak bisa lepas dari pengaruh AS. Begitupun Korea, sejak terbelahnya Korea menjadi dua, Korea Selatan tak ubahnya seperti anak yang dibesarkan sendiri oleh AS hingga mampu mengalami lepas landas ekonomi dan menjadikannya salah satu macan Asia.

Pernyataan Wang Yi tentang revitalisasi Asia Timur tersebut dapat dipahami, mengingat Jepang dan Korsel masih sangat erat berhubungan dengan AS. Bahkan dapat dikatakan bahwa kedua negara tersebut menjadi tangan kanan dan kunci strategis AS di Asia. Namun secara politik, pernyataan diplomat Cina tersebut merupakan upaya untuk semakin mengokohkan hegemoni Cina di Asia dan membangun sebuah era Pax Sinica, perdamaian panjang di bawah Cina. Ambisi politik yang tak jauh berbeda dengan Amerika Serikat. Samuel Huntington menyatakan bahwa perekonomian Asia Timur pada dasarnya sudah dikuasai oleh Cina, kecuali Jepang dan Korea Selatan. Itulah mengapa Jepang dan Korsel harus ‘didapatkan’ sebagaimana dalam pernyataan Wang Yi, kendati dikemas dalam sebutan kerja sama. 

Saya pribadi skeptis terhadap usulan Wang Yi tentang revitalisasi Asia Timur, karena hemat saya, itu tidak lebih dari sebuah manifestasi untuk membangun hegemoni Cina. Namun, dari pernyataan tersebut juga saya mendapatkan beberapa poin penting. Pertama, jangan pernah menggantungkan kepentingan negara pada negara lain ataupun kekuatan hegemon dunia. Kedua, kemandirian nasional dan regional menjadi penting untuk mencapai demokratisasi dunia. Kerja sama regional yang kuat dan kokoh akan menghasilkan kemandirian dan independensi regional yang kuat, sehingga relasi global akan terkonstruksi secara lebih adil dan setara. 

Dapat diperoleh kesimpulan bahwa cita-cita yang sudah selayaknya dimiliki oleh kita semua adalah dunia tanpa hegemoni, dunia yang adil dan egaliter. Kita sebisa mungkin mengakhiri Pax Americana, ketika Amerika berkuasa dan menjadi hegemon dunia. Sekaligus mencegah Pax Sinica, ketika Cina akan menghegemoni dunia. Abad 21 bukan milik AS, juga bukan milik Cina, abad 21 adalah milik manusia yang mengangankan keadilan dan stabilitas dunia.

Adrian Aulia Rahman merupakan mahasiswa Universitas Padjadjaran. Dapat ditemukan di Instagram dengan nama pengguna @adrianauliar

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *