Solidaritas Global Umat Atas Pembakaran Al-Qur’an

0

Peristiwa pembakaran Al-Qur'an di Swedia. Foto: Kompas TV

Pembakaran Al-Qur’an adalah fenomena yang rasanya cukup kerap terjadi dan menyulut atensi komunitas internasional. Dilaksanakan utamanya oleh kelompok sayap kanan di Eropa dan hampir sama halnya saat film atau karikatur yang dianggap melecehkan figur Nabi Muhammad maupun/tulisan yang mengkritik praktik beragama, aksi pembakaran Al-Qur’an di Swedia oleh orang Kristen yang disebut memiliki kewarganegaraan Irak tersebut menuai kecaman dari seluruh penjuru dunia dengan dalih populernya: kebebasan untuk berekspresi. Alih-alih terdapat perbaikan yang signifikan dari insiden sebelumnya, terutama soal penegakan hukum, sepertinya peristiwa pembakaran Al-Qur’an justru mempertebal poin bahwa aksi ini memang tidak hanya difasilitasi, namun juga dilindungi oleh negara.

Solidaritas Keumatan, Respons Negara Muslim

Salah satu sorotan yang menarik dari kejadian ini adalah bagaimana komunitas Muslim dunia memberi respons terhadap “dirusaknya” kitab suci mereka. Dalam sejarahnya, kaum Muslim sempat berada dalam ikatan oleh institusi khilafah yang menjadi representasi kesatuan suara dunia Muslim. Meski negara-negara Islam dan mayoritas Muslim tidak lagi disatukan dengan pemerintahan khilafah ala masa Turki Utsmani maupun masa sebelumnya, adalah identitas keagamaan yang menjadi unsur pemersatu umat Muslim sedunia di masa modern, dengan Al-Qur’an sebagai salah satu bentuknya. 

Salah satu konsep penting yang dapat ditilik dari konteks ini adalah ikatan keumatan. Menurut Widhiyoga (2017) dalam Understanding the Umma as an Islamic “Global” Society, umat (umma) adalah satu konsep kesadaran global (global consciousness) Muslim di seluruh dunia yang timbul akibat insentif ikatan berbasis keagamaan yang diutarakan dalam ajaran Al-Qur’an. Pemahaman yang terkandung dalam Al-Qur’an tersebut menjadi motivasi utama kaum Muslim untuk bersatu dan berupaya untuk mempertahankan kesatuan–walaupun tidak lagi berada dalam satu entitas politik yang sama.

Melihat fenomena pembakaran Al-Qur’an dari perspektif ini, di tengah maraknya Islamophobia dan pembakaran yang terjadi secara beruntun dalam beberapa bulan terakhir, munculnya penolakan dapat dinilai sebagai respons yang wajar. Hal ini mengingat ajaran Al-Qur’an yang menjadi sumber utama dari identitas Muslim, sehingga membakar berarti menjadi tanda “diserangnya” instrumen pemersatu umat tersebut.

Identitas inilah yang kemudian diakui melalui respons yang diberikan masyarakat dan pemerintah Muslim dunia. Organisasi Kerjasama Islam (OKI), misalnya, merilis pernyataan mengutuk aksi pembakaran tersebut; begitu pula Irak, Qatar, Arab Saudi dan banyak negara lain yang secara individual menganggap bahwa aksi tersebut merusak unsur penting dalam ajaran agama Islam. Meski dampak yang dihasilkan dari pernyataan mengutuk ini dapat diperdebatkan, nyatanya ia tetap memiliki otoritas dan legitimasi, meskipun dengan keefektifan yang terbatas. Perihal ini juga dapat diperhatikan dari seruan Perdana Menteri (PM) Pakistan, Shehbaz Sharif, yang menyerukan aksi demonstrasi di negaranya; ataupun pernyataan dari Iran yang menimbulkan demonstrasi dengan membakar bendera Swedia di depan kedutaannya.

Terlebih lagi, dorongan komunitas global tentu memainkan peran penting dalam konteks ini. Tidak hanya karena ia dapat mempengaruhi hubungan Swedia dengan negara-negara penting tersebut secara ekonomi, namun juga menimbulkan persepsi buruk atas negara Skandinavia yang diklaim mengedepankan demokrasi tersebut–mempertahankan idealisme kebebasan berekspresi sebagai dalih dari aksi yang menyudutkan pihak tertentu tentu menghadirkan konsekuensi. Terutama di masa Swedia hendak mengajukan keanggotaan ke North Atlantic Treaty Organization (NATO), namun justru terhambat sebab Turki yang tidak kunjung sepakat. 

Hal ini dapat terjadi sehubungan dengan sistem penerimaan NATO yang mensyaratkan persetujuan dari setiap anggota aliansi, sebab Turki–sebuah negara mayoritas Muslim, menghalangi proses pendaftaran hingga terdapat hukuman bagi aktor yang menyulut aksi pembakaran. Peristiwa ini sendiri mengingatkan penulis dengan kasus Rasmus Paludan, tokoh ekstrimis kanan Swedia yang memprotes Turki karena tak kunjung menerima keanggotaan NATO dengan membakar Al-Qur’an di depan kedutaan.

Paling baru, solidaritas keumatan ini juga terlihat di forum PBB. Dalam sebuah mosi yang diperdebatkan di United Nations Human Rights Council (UNHRC), negara-negara mayoritas muslim bersama kebanyakan negara global south lainnya mendukung resolusi terkait kebencian berbasis religius. Resolusi ini akhirnya disahkan dengan 28 suara mendukung, 12 menolak, dan 7 abstain. Isu terkait agama yang jarang muncul di PBB ternyata dapat disahkan dengan solidaritas negara mayoritas muslim dan global south, meski dengan penolakan kebanyakan negara Barat. 

Dampak aksi dan hubungan dunia Islam-Barat di masa depan

Ihwal yang paling disorot dalam hal ini adalah perlindungan yang difasilitasi institusi resmi sekaliber negara–terutama kepolisian serta pengadilan. Atas nama kebebasan berekspresi, perilaku yang menyulut ketersinggungan dapat diberi jalan, meskipun tidak sepenuhnya diterima oleh publik Swedia. Situasi ini diiringi dengan hasil survei yang menemukan bahwa mayoritas warga Swedia sebetulnya setuju untuk melarang pembakaran kitab suci di ruang publik, sebab potensi dampaknya bagi ketertiban umum. 

Secara domestik, Swedia memang seperti sedang mengalami dilema: secara peraturan perundang-undangan, hal semacam pembakaran tersebut dianggap boleh (baca: tidak dilarang). Namun, nyatanya menimbulkan kontroversi di dalam negeri yang berpotensi menciptakan ketidakstabilan di masyarakat, sebagaimana disampaikan PM Swedia, Ulf Kristersson. Pernyataan ini mungkin merefleksikan situasi kisruh di Swedia beberapa waktu silam pasca pembakaran Al-Qur’an yang serupa terjadi.

Kondisi dilematis tersebut juga dapat disorot dari keputusan pengadilan Swedia untuk menganggap aksi demonstrasi dengan membakar kitab suci sah secara hukum–sepintas cukup kontradiktif dengan pandangan Pemerintah Swedia bahwa aksi tersebut tidak dibenarkan. Putusan pengadilan tersebut, apabila tidak diarahkan, dapat  menimbulkan tendensi negatif terhadap komunitas Muslim yang merupakan minoritas di Swedia, di samping kemungkinan bahwa tragedi tersebut bisa memprovokasi aksi Islamophobia. Lebih lagi, aksi terkait terjadi saat pelaksanaan ibadah yang justru dapat menimbulkan dampak negatif lain terhadap praktik kebebasan beragama, unsur penting demokrasi yang semestinya pula dijunjung tinggi. 

Semua tragedi ini dapat bermuara pada titik persoalan yang sama: akankah pembakaran ini mempengaruhi hubungan dunia Islam dan dunia Barat? Perlu diketahui bahwa dunia Islam dan dunia Barat adalah istilah oversimplifikasi dari konteks sosial-budaya yang kompleks dan beragam, namun setidaknya tetap dapat memberi ilustrasi terhadap konteks yang dimaksud. Secara garis besar dan tanpa mempertimbangkan kelanjutannya di masa depan, fenomena ini tampaknya tidak akan terlalu menimbulkan dampak yang signifikan terhadap hubungan kenegaraan. Meskipun sejumlah negara Timur Tengah mengalami ketegangan hubungan dengan menarik perwakilan diplomatiknya dari Swedia, hubungan diplomatik resmi dengan banyak negara lain dapat tetap terjalin; mengingat negara yang menjadi lokasi pembakaran tidak merepresentasikan dunia Barat secara keseluruhan. Hubungan sosio-ekonomi yang selama ini telah dibangun akan sulit apabila diputuskan begitu saja melalui aksi semacam embargo, mengingat relasi antarnegara yang semakin saling bergantung erat.

Pada titik tertentu, fenomena ini mengingatkan kembali bahwa konteks sosial-budaya di Barat yang berbeda dengan Islam. Perbedaan sejarah maupun metode dalam membentuk norma membuahkan perbedaan realitas sosial yang dialami masyarakat di dua “peradaban” tersebut. Selain itu, pada akhirnya, garis batas antara kebebasan berekspresi dan ujaran kebencian sekilas tampak buram. Penafsiran konteks yang terjadi di lapangan memang dapat beragam, namun otoritas untuk melakukan interpretasi yang sebenarnya terletak pada pihak yang berkuasa.

Jalaluddin Rizqi Mulia merupakan mahasiswa di Universitas Islam Indonesia. Dapat ditemukan di Instagram dengan nama pengguna @jalaluddinrizqi

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *