G20 Religious Forum (R20) yang dihadiri oleh beberapa tokoh agama dan pemimpin di dunia. Foto: PRNewswire

Tepat sebelum memasuki abad ke-21, seorang sosiolog bernama Peter Berger mengajukan konsep desekularisasi yang merujuk kepada menguatnya agama pada era kontemporer, setelah memudar selama beberapa waktu sejak abad ke-17. Latar belakang kemunculannya ditandai dengan berkembangnya fenomena berskala global oleh aktor-aktor keagamaan untuk melawan kemodernan dan sekularisme atau beradaptasi terhadapnya. Mulai dari Konsili Vatikan II oleh Gereja Katolik Roma hingga kemunculan Islamisme sebagai ideologi dan gerakan politik di banyak tempat, semua mendesak adanya penilaian kembali terhadap sekularisme.

Secara umum, Berger melihat bahwa modernisme dan sekularisme tidaklah diterima secara mudah oleh semua kalangan, terutama mereka yang memiliki keterikatan dengan agama beserta ajaran-ajaran yang terkandung di dalamnya. Pertentangan tersebut dalam praktiknya hadir dalam bentuk penolakan atau adaptasi untuk mengembalikan relevansi suatu agama di kehidupan penganut-penganutnya. Yang jelas, berbagai fenomena penolakan atau adaptasi oleh umat beragama menjelang selesainya abad ke-20 memperlihatkan bahwa agama tidak bisa dimatikan, atau menolak untuk dimatikan oleh sekularisme.

Contoh pertama yang dimunculkan oleh Berger dalam karyanya yang berjudul The Desecularization of the World: Resurgent Religion and World Politics adalah Konsili Vatikan II (1962-1965) yang dimulai oleh Paus Yohannes XXIII dan ditutup oleh Paus Yohannes Paulus II. Peristiwa tersebut merupakan upaya Gereja Katolik Roma untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Hal itu diupayakan dengan cara memperhatikan perubahan dalam pola kehidupan pengikut-pengikutnya serta berbagai keresahan mereka pada masa kini; kemudian, mengevaluasi sikap-sikap dan kebijakan-kebijakannya terhadap perubahan dan keresahan yang telah disinggung.

Jika dikaitkan dengan konsep desekularisasi Berger, Konsili Vatikan II merupakan bentuk adaptasi Gereja Katolik Roma terhadap perkembangan zaman. Di mana Gereja mencoba untuk mengaitkan ajaran-ajarannya yang diajarkannya dengan fenomena-fenomena modern. Alhasil, dan terutama di bawah kepemimpinan Paus Yohannes Paulus II, Gereja menyentuh isu-isu sekuler yang dahulu mungkin tidak begitu diperhatikan oleh Gereja sebagai lembaga yang bergerak di aspek kehidupan transendental, yaitu agama.

Salah satu isu yang diangkat setelah berakhirnya Konsili adalah hak asasi manusia (HAM). Secara retoris dan praktis, Gereja menentang otoritarianisme yang terjadi di berbagai negara komunis dan dunia ketiga. Melawan otoritarianisme dan pelanggaran HAM, Paus Yohannes Paulus II mengatakan bahwa kebebasan merupakan nilai universal yang harus terus diperjuangkan dalam pidatonya di hadapan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1995. Ungkapan tersebut sebelumnya telah hadir dalam tindakan anggota-anggota Gereja Katolik yang menentang Augusto Pinochet di Chili dan Ferdinand Marcos di Filipina pada dasawarsa sebelumnya.

Tentunya, Konsili yang telah disinggung hadir dengan banyak kontroversi. Kendati demikian, hal tersebut menjadikan Gereja Katolik relevan dengan dinamika perkembangan zaman yang terjadi. Tanpa itu, lembaga tersebut mungkin saja ditolak oleh banyak orang, termasuk penganut-penganutnya karena seluruh ajaran serta tindakan kolotnya yang tidak berdampak secara signifikan terhadap kehidupan sehari-hari. Kardinal Jean-Claude Hollerich dari Luksemburg mengatakan bahwa tanpa Konsili, Gereja kini “…akan menjadi sekte kecil yang tidak dikenal oleh banyak orang.”

Singkatnya, pemaparan tersebut bercerita tentang upaya suatu lembaga keagamaan untuk mengembalikan agama ke dalam kehidupan sehari-hari banyak orang pada era kontemporer ini. Adaptasi yang dilakukan oleh Gereja Katolik Roma dilatarbelakangi oleh keperluan lembaga tersebut untuk mempertahankan relevansinya di tengah dunia yang berubah; terdapat kemendesakan internal yang muncul dari dalam lembaga itu sendiri, yang menjadi otoritas penyebar suatu ajaran agama untuk berubah.

Penyesuaian Diri Era Kini

Saat ini, terdapat dinamika baru yang merubah alasan di balik penyesuaian diri oleh lembaga-lembaga keagamaan yang ada, dan secara konsekuen ajaran-ajaran yang disampaikan oleh mereka. Apabila tren ini bertahan, agama memiliki kemungkinan yang cukup besar untuk kembali hadir sebagai pengaruh yang signifikan dalam kehidupan banyak orang pada abad ke-21; suatu fenomena yang berkebalikan dengan zeitgeist (semangat) sekularisme yang ada sejak masa Pencerahan pada abad ke-17. Lebih penting lagi, agama berkemungkinan hadir sebagai kekuatan universal yang rekonsiliatif, melepaskan sifat primordial dan sektarian yang mengakibatkan pengucilannya dari ruang publik oleh sekularisme pada masa lampau.

Dengan rujukan dan dampaknya yang signifikan terhadap kehidupan publik, baik dalam konteks domestik suatu negara atau hubungan internasional, beberapa forum keagamaan seperti G20 Religion Forum yang diselenggarakan oleh Indonesia di Bali membentangkan karpet merah bagi agama untuk masuk ke dalam ranah publik. “Undangan” bagi agama untuk kembali memainkan peran publik yang penting hadir dalam Komunike R20 Bali 2022. Center for Shared Civilizational Values didirikan dan R20 dijadikan acara resmi untuk perhelatan G20 selanjutnya di India untuk menjembatani umat-umat beragama. Tujuan akhirnya adalah untuk menghadirkan agama sebagai solusi bagi permasalahan-permasalahan yang kini dihadapi oleh dunia, bukan menjadi masalah yang menghantui peradaban manusia.

Beberapa permasalahan yang dianggap perlu diselesaikan oleh agama pada era kontemporer ini adalah kerusakan alam, kemiskinan, dan yang paling menarik adalah ekstremisme dan terorisme, dua isu yang menonjolkan potensi agama sebagai sumber permasalahan bagi manusia. Terkait dua isu terakhir, penting untuk menyinggung dokumen A Common Word Between Us and You yang diterbitkan pada tahun 2009 atas inisiatif Pangeran Ghazi bin Muhammad bin Talal dari Yordania.

A Common Word yang ditandatangani oleh 299 intelektual dan politisi muslim menegaskan kesamaan antara agama Islam dan Kristen. Sebagai konsekuensi dari kesamaan yang ada, dokumen tersebut menegaskan pentingnya bagi para muslim dan umat kristen untuk saling memahami satu sama lain agar tidak menimbulkan konflik yang merugikan keduanya. Dokumen tersebut diterbitkan untuk menanggapi Paus Benediktus XVI yang mengatakan bahwa Tuhan para muslim merupakan sosok yang kejam dan tidak rasional, berbeda dengan Tuhan yang disembah oleh umat kristen. Pernyataannya sangat kontroversial dan memicu reaksi yang tajam di berbagai negara mayoritas muslim.

Dengan adanya potensi ketidakstabilan yang akan berakhir dengan terjadinya konflik, Pangeran Ghazi dan rekan-rekannya segera merancang dan menerbitkan dokumen yang telah disinggung. Sekurang-kurangnya di tataran akademik dan politik, A Common Word berhasil memperbaiki keadaan hubungan antaragama pada saat itu. Teolog dari Yale University Miroslav Volf menjadikan ini sebagai contoh pentingnya dialog antaragama untuk mencari kesepahaman dan menghindari terjadinya konflik. Lebih dari itu, Volf juga melihat potensi rekonsiliatif yang dapat dimainkan oleh agama, hanya saja jika mereka mencari kesamaan nilai di antara ajaran agama-agama yang ada.

G20 Religion Forum di Bali yang digagas oleh KH Yahya Cholil Staquf dari Nahdlatul Ulama sepertinya memegang paradigma yang sama dengan Pangeran Ghazi dan Volf ketika mereka menyusun dan mengomentari A Common Word. Dialog dan rekonsiliasi menjadi cara dan tujuan utama dalam kehidupan beragama pada era kontemporer yang berbahaya ini. Hal itu bisa dilihat dalam salah satu poin Komunike Bali yang menegaskan Piagam Mekkah 2019 sebagai contoh upaya rekonsiliatif yang dimaksud. Dokumen terbitan Liga Muslim Dunia tersebut menegaskan bahwa perbedaan-perbedaan agama tidak membenarkan konflik dan semua pihak harus menghindarinya dengan cara mengenali satu sama lain.

Senada dengan Konsili Vatikan II, G20 Religion Forum dan karya-karya keagamaan rekonsiliatif yang mendahuluinya merupakan bentuk konkrit dari apa yang dikatakan oleh Berger sebagai desekularisasi ruang publik. Lembaga-lembaga agama yang ada, beserta ajaran-ajarannya, beradaptasi dengan situasi dan kondisi dunia yang berubah. Menjawab tantangan-tantangan masa kini, terutama ekstremisme dan terorisme, mereka hendak menghadirkan lembaga-lembaga keagamaan yang berbagai ajarannya dapat menaungi kerja sama antar umat beragama.

Akan tetapi, berbeda dengan Konsili Vatikan II, dorongan yang melatarbelakangi G20 Religion Forum dan beberapa inisiatif keagamaan terkini lebih bersahabat daripada yang terdahulu. Pada saat itu, Gereja Katolik Roma harus menyesuaikan dirinya serta penafsiran ajaran-ajarannya karena sulit untuk diterima oleh publik; kini, berbagai lembaga dan ajaran agama yang ada harus berubah karena publik membutuhkan agama dalam kehidupan sehari-harinya. Kekuatan moral agama diharapkan dapat mendorong terjadinya rekonsiliasi dan kerjasama untuk meringankan berbagai permasalahan eksistensial umat manusia, baik yang bersifat alamiah seperti pemanasan global maupun yang dibuat oleh manusia seperti perang.

Kesimpulan

Munculnya berbagai masalah yang memengaruhi kehidupan banyak orang memberikan kesempatan bagi agama untuk menjadi alat moral yang dapat menginspirasi kerja sama antar umat beragama. Beberapa hal telah dilakukan untuk menghadirkan agama sebagai faktor positif dalam kehidupan umat-umatnya pada masa kini. Untuk keberhasilannya, tokoh-tokoh agama yang ada harus tetap konsisten dalam semangat dialog dan rekonsiliasinya. Hal tersebut penting untuk mencegah agama kembali merosot ke primordialisme dan sektarianisme yang pernah meninggalkan trauma kepada banyak orang dan memunculkan sekularisme.

Bayu Muhammad Noor Arasy merupakan mahasiswa Universitas Indonesia. Dapat ditemukan di Instagram dengan nama pengguna @bayu_arasy

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *