Ke(tidak)absurdan Klausa Geografi dalam Organisasi Regional

0

European Union (kiri) dan ASEAN (kanan). Foto: The Momentum

Baru-baru ini jagat media sosial hingar-bingar dengan berita Serbia yang mendaftarkan dirinya sebagai anggota ASEAN. Pada 16 November, N1Srbija menjadi portal berita yang pertama memberitakannya. Meskipun tidak familiar di Asia Tenggara, N1Srbija menjadi sumber yang banyak dibagikan dari berita tersebut. Perdana Menteri Serbia Ana Brnabic dikutip menyebutkan adanya “dukungan dari Singapura terhadap keanggotaan Serbia di ASEAN”. Beberapa hari kemudian, berita tersebut kemudian diangkat oleh media-media mainstream lainnya di ASEAN.

Berita yang hanya terdiri dari empat paragraf tersebut, dalam kemungkinan paling baik adalah misinterpretasi, dan dalam kemungkinan paling buruk adalah hoaks. Hal tersebut menjadi jelas jika kita melakukan pengecekan silang ke laman resmi Pemerintah Serbia yang juga merilis berita di hari yang sama, yang menyebut dukungan Singapura terhadap Perjanjian Kerja Sama dan Persahabatan Serbia-ASEAN, bukan keanggotaan ASEAN itu sendiri.

Bagaimanapun juga, bersirkulasinya wacana bergabungnya sebuah negara yang berjauhan secara geografis ke ASEAN memicu respon publik yang menganggap wacana tersebut tidak masuk akal. Akan tetapi, apakah benar wacana tersebut sedemikian tidak masuk akalnya?

Klausa Yang “Meregionalkan” Organisasi Internasional

Di dalam banyak organisasi regional, terdapat suatu “klausa geografi” yang membatasi cakupan organisasi tersebut dalam suatu kawasan geografis. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa klausa geografi inilah yang menjadikan suatu organisasi internasional secara spesifik menjadi “organisasi regional”. 

Meski begitu, tidak semua yang kita kenal sekarang sebagai “organisasi regional” memiliki klausa geografi ini dalam piagam atau perjanjian pembuatannya. African Union (AU) misalnya, tidak menspesifikasi negara anggotanya wajib berasal dari Afrika, meski berulang kali menyebutkan tujuan bersama negara-negara Afrika. 

Dua organisasi regional yang secara eksplisit memiliki klausa ini adalah European Union (EU) dan Association of South East Asian Nations (ASEAN). ASEAN memiliki klausa geografi yang spesifik di Piagam ASEAN 1967, yang menyebutkan di Pasal 6 bahwa penerimaan anggota baru ASEAN salah satunya harus memenuhi kriteria “location in the recognised geographical region of Southeast Asia”. Sementara itu, acquis communautaire EU, bahkan sejak masih berbentuk EEC, sudah mewajibkan negara pendaftar untuk bergabung ke EU haruslah sebuah “European State”. Ketentuan ini pertama diatur dalam Pasal 237 Perjanjian Roma 1957 dan dipertahankan hingga sekarang dalam Pasal 49 Treaty of the European Union (TEU).

Sejak pembuatan EU dan ASEAN tersebut beserta klausa geografinya, keanggotaan keduanya telah berkembang menjadi masing-masing sebanyak 27 dan 11.

Kasus-Kasus Menarik

Terdapat banyak kasus menarik terkait penerimaan negara baru di EU dan ASEAN, tetapi di antara kasus yang coba diangkat oleh tulisan ini adalah kasus Turki, Maroko, Timor Leste, dan Papua Nugini.

Negara lain yang juga disinyalir ingin bergabung dengan ASEAN adalah Turki dan Mongolia. Berita ini disebutkan oleh Presiden Rodrigo Duterte saat Filipina memegang presidensi ASEAN pada 2017 lalu. Duterte menyebutkan bahwa Turki dan Mongolia ingin bergabung dengan ASEAN, yang meskipun bukan hoaks, menurut pakar merupakan klaim “berlebihan” Duterte dari keinginan asli Turki dan Mongolia untuk membangun hubungan yang lebih dekat (seperti dialogue partners). Oleh karena itu, belum ada negara dengan lokasi geografis yang sangat jauh serta tidak berbatasan langsung dengan negara anggota lainnya dan benar-benar mendaftar untuk bergabung ke ASEAN secara formal.

Namun, di samping kasus yang menjadi bahan gurauan sebelumnya, terdapat beberapa kasus dari negara yang benar-benar serius ingin bergabung dan bahkan berbatasan langsung dengan setidaknya satu negara anggota. Di EU, terdapat dua kasus yang bertentangan, yakni pendaftaran Maroko dan Turki pada 1987. Meskipun mendaftar pada tahun yang sama dan berbatasan dengan negara Eropa, keduanya mendapat perlakuan yang berbeda.

Pendaftaran Maroko untuk menjadi bagian dari EEC pada saat itu ditolak oleh Dewan Eropa (European Council) dengan alasan bahwa Maroko bukanlah sebuah European State. Meski Dewan Eropa tidak menspesifikasi alasan penolakannya, tetapi banyak pengamat menyebutkan dengan menggunakan Pasal 49, Dewan Eropa menegaskan permasalahan geografi sebagai alasannya. Hal ini tidak terlepas dari argumentasi Raja Maroko Hassan II, bahwa: (1) terdapat kedekatan langsung Maroko dengan EEC, yakni dengan perbatasan dan penyeberangan langsung dengan Spanyol (di Ceuta dan Melila); (2) hubungan ekonomi yang dekat, sehingga Maroko menjadi hinterland EU; dan (3) demokratisasi di Maroko yang telah berjalan dengan baik. Terkait dengan posisinya di Afrika, Raja Hassan II menunjukkan bagaimana daerah yang sekarang menjadi Aljazair sempat menjadi bagian dari EEC sebagai jajahan Prancis, sehingga seharusnya tidak ada masalah terkait hal tersebut.

Berbeda dengan kasus Maroko, pendaftaran Turki untuk menjadi anggota EEC akhirnya diterima oleh Dewan Eropa. Turki memang sebelumnya telah memiliki perjanjian Association Agreement dengan EEC sejak 1963, tetapi hal tersebut tidak menjawab ketidakpastian Turki sebagai European State. Meskipun porsi signifikan Turki secara geografis berada di Asia, tetapi secara historis Turki telah menjadi bagian dari “European (balance of power) Concert” dan memiliki peran historis yang penting di Eropa. Atas alasan inilah, Dewan, Komisi, dan Parlemen Eropa menerima pendaftaran Turki, yang juga belum sepenuhnya terealisasi dengan sekarang.

Selain Maroko dan Turki, juga terdapat curious cases lain seperti diterimanya Siprus yang terletak jauh dari Eropa daratan dan pendaftaran oleh Georgia yang secara geografis tidak berbatasan dengan negara EU lainnya dan dapat diperdebatkan ke-Eropa-annya. Jika begitu, dimana sebenarnya batas Eropa? Terutama di sisi Timurnya tempat tidak adanya pembatas geografis yang jelas.

Sementara itu di ASEAN, terdapat dua kasus pendaftaran yang serius, yakni Timor Leste dan Papua Nugini. Sementara Timor Leste baru saja diterima menjadi anggota ASEAN ke-11 pada November lalu, nasib Papua Nugini masih tidak pasti. Padahal, Papua Nugini sudah menjadi observer sejak 1976, saat ASEAN masih hanya terdiri dari kelima anggota aslinya. 

Salah satu argumen terhadap keanggotaan Papua Nugini adalah secara geografis, ketika Papua Nugini lebih sering dikategorikan sebagai bagian dari Oseania serta lebih memiliki hubungan dekat dengan negara-negara disana. Akan tetapi, hal ini mengabaikan fakta bahwa Papua Nugini berbagi pulau Papua dengan Indonesia sebagai anggota ASEAN, sehingga argumen ini menjadi tidak begitu kuat. Pada akhirnya, meski sempat mendapat dukungan beberapa negara ASEAN, termasuk Indonesia di zaman Presiden SBY, Papua Nugini masih belum menjadi anggota ASEAN.

Geografi, Tetapi Bukan Hanya Geografi

Meski diistilahkan sebagai “klausa geografi”, tetapi pengamatan dari kasus-kasus yang dibahas sebelumnya menunjukkan bahwa penggunaan klausa atau argumen tersebut tidak bergantung hanya kepada perihal geografis. Apalagi, jika klausa tersebut memang multitafsir, alias tidak hanya memiliki arti geografis.

Dalam menganalisis kriteria European State, terlihat bahwa menjadi “Eropa” sejatinya tidak hanya tentang geografi, tetapi juga soal kultural, politik, dan lainnya. Maroko bisa saja dianggap “kurang Eropa” tidak hanya karena posisi geografisnya, tetapi juga secara kultural yang dominan Berber, agama yang mayoritas Islam, bahkan linguistik yang tidak berhubungan dengan bahasa Eropa lainnya. Demikian juga dengan kasus Papua Nugini, bisa jadi terdapat alasan lain secara politik, ekonomi, ras, atau lainnya selain geografi. Sayangnya, alasan-alasan ini jarang dinyatakan secara publik, sehingga sulit untuk diketahui.

Dalam kasus EU, yang memiliki basis ideasional dan historis yang erat, banyak pengamat menyebutkan bahwa Eropa dapat dipahami sebagai realitas dan representasi. Bahkan secara realitas, batas Eropa selalu berubah sejak zaman Kekaisaran Roma. Dengan kejadian historis dan sengketa yang terus terjadi, tidak mungkin menegaskan batas dimulainya dan berakhirnya Eropa berdasarkan kriteria-kriteria objektif, terlebih lagi di ASEAN. Secara representasi hal ini juga semakin terlihat, dengan representasi Eropa yang dikaitkan ras kulit putih, agama kristen, dan aspek sosiokultural lainnya, meski konstruksi ke-Eropa-an terus berubah. Hal ini mungkin kurang prevalen di ASEAN, dengan realitas yang tidak begitu banyak beririsan dan representasi yang tidak kohesif.

Pada akhirnya, klausa yang secara de jure bersifat geografis harus digunakan secara politik oleh organisasi regional dalam menerima anggota baru. Geografi tetap merupakan hal yang penting. Kedekatan geografis biasanya juga berarti kedekatan secara ekonomi, politik, dan sosiokultural. Namun, melebihi geografi, fungsionalitas, pragmatisme, dan identitas menjadi penting bagi suatu kerja sama internasional untuk dapat bekerja, termasuk dalam organisasi internasional. Meskipun dinamakan sebagai organisasi regional, tetapi tidak ada urgensi untuk membatasi sesuatu dalam cakupan regional tertentu. Klausa geografi pun lebih bergantung kepada politik, bukan geografi, dalam penggunaannya.

Ikhlas Tawazun merupakan lulusan dari Hubungan Internasional Universitas Indonesia dan Editor-in-Chief Kontekstual. Dapat ditemui di Instagram dengan nama pengguna @tawazunikhlas

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *