Ilustrasi nasionalisme di masyarakat. Foto: Wondrium Daily

Bertempat di Balai Agung Rakyat yang megah, Xi Jinping mengangkat tangan kanannya dan meletakkan tangan kirinya di salinan konstitusi Tiongkok, dan mengikrarkan sumpah jabatan ketiganya sebagai presiden. Setelah mengamankan posisinya di tampuk Ketua Partai Komunis China (PKC) pada Oktober lalu, pengukuhannya sebagai presiden untuk periode ketiga dilegitimasi oleh 2.952 suara delegasi yang hadir, artinya Xi Jinping terpilih secara aklamasi.

Tidak tergoyahkannya Xi Jinping di tampuk tertinggi kepemimpinan Tiongkok, tentu tidak terlepas dari besar dan kuatnya pengaruh yang dimilikinya. Paling tidak dalam satu dekade terakhir, figur Xi Jinping menjelma menjadi seorang great politician, yang membawa mimpi-mimpi hegemonik Tiongkok di pundaknya. Guardian menerangkan bahwa Xi menjadi orang paling berkuasa di Tiongkok pasca Mao Zedong. Oleh karenanya tidak mengherankan apabila pengaruh kekuasaan yang dimilikinya memudahkan Xi untuk memperpanjang kekuasaannya, terlebih pasca dihapuskannya batas masa jabatan presiden pada 2018 lalu.

Dalam hal kebijakan politik luar negeri, Xi Jinping akan melanjutkan kembali kebijakan-kebijakannya yang terdahulu. Kebijakan polugri yang sarat akan persaingan sengit dengan Amerika Serikat (AS) terutama di kawasan Asia-Pasifik, yang tentu saja dimotivasi oleh suatu hasrat Tiongkok menjadi negara superpower yang superior baik di kawasan maupun di dunia. Dalam tulisan ini saya berusaha menelisik jawaban dari pertanyaan lama: Akankah konflik kepentingan AS-Tiongkok bisa berakhir, serta tatanan politik dunia menjadi tatanan politik nir-konflik? Saya mencoba menuangkan opini pribadi saya.

Benturan Kepentingan Nasional AS-Tiongkok: Konflik Yang Berkepanjangan 

Dalam tulisannya yang berjudul The Unipolar Moment yang terbit di Foreign Affairs, Charles Krauthammer menafsirkan politik dunia pasca perang dingin sebagai sebuah momen dunia unipolar. Pendapat Krauthammer ini lazim pada saat itu, mengingat AS muncul sebagai kekuatan hegemonik dunia satu-satunya pasca runtuhnya Uni Soviet. Tesis Krauthammer ini sejalan dengan tesis terkenal ilmuwan politik Francis Fukuyama tentang akhir sejarah, dimana kemenangan kapitalisme dan demokrasi liberal adalah sesuatu yang tak terbantahkan.

Akan tetapi, baik tesis Krauthammer tentang momen dunia unipolar, maupun tesis Fukuyama tentang akhir sejarah, dibatalkan oleh bangkitnya Tiongkok sebagai kekuatan baru. Kebangkitan ini membuat AS terancam secara strategis. Samuel Huntington menerangkan bahwasannya persoalan utama konflik AS-Tiongkok adalah perbedaan fundamental terkait dengan siapakah yang akan menjadi balance of power di Asia Timur, dan Asia secara umum. Artinya kepentingan strategis di Asia menjadi sebab utama konflik AS-Tiongkok.

Memasuki abad ke-21, dunia masih berputar di pusaran konflik Timur dan Barat, yang saat ini dapat dicerminkan melalui rivalitas AS dan Tiongkok. Di saat AS ingin mempertahankan status quo sebagai kekuatan hegemoni dunia, sang naga dari timur tiada lain adalah Tiongkok, meminjam istilah Michael Wicaksono, sedang menggeliat bangun dari tidurnya dan siap memporak-porandakan status quo tersebut. Benturan kepentingan inilah kemudian yang menyebabkan Asia, dalam cakupannya yang lebih luas lagi kawasan Asia-Pasifik, menjadi panggung teater perebutan hegemoni kedua negara adidaya tersebut.

Fakta kebangkitan Tiongkok membuat AS harus mengubah arah kebijakan politik luar negerinya untuk fokus di kawasan Asia Pasifik. Sebagaimana dijelaskan oleh Vanilla Planifolia dalam artikelnya yang berjudul Strategi Rebalancing Amerika Serikat di Kawasan Asia Pasifik, perubahan strategis kebijakan AS yang difokuskan kepada Asia Pasifik dilandasi oleh ide Pivot to Asia. Ide ini secara strategis berarti konsentrasi kebijakan politik luar negeri AS di kawasan Asia Pasifik, yang secara politis dapat dipahami sebagai usaha untuk menahan laju pengaruh Tiongkok di kawasan tersebut. Hal ini tentu sejalan dengan pendapat Huntington mengenai balance of power di kawasan Asia menjadi penyebab konflik kedua negara.

Melihat realita yang ada, tidak berlebihan apabila rivalitas AS dan Tiongkok menjadi suatu ikon politik internasional di abad 21. Peristiwa yang belum lama terjadi yakni ditemukannya balon mata-mata Tiongkok di langit AS, mengindikasikan hasrat dan ambisi kedua negara untuk kepentingan hegemoninya. Lantas kemudian timbul pertanyaan, sampai kapan dan dalam batasan apa kemudian upaya saling serang dalam berbagai bentuknya, serta perebutan hegemoni politik kedua negara akan usai? Untuk menjawab pertanyaan tersebut dan menjawab setiap konflik antar-bangsa yang ada di dunia saat ini, maka penghapusan konsepsi negara-bangsa dan nasionalismenya adalah jawaban yang menurut saya tepat.

Menghapuskan Konflik Antar-Bangsa: Menggugat Nasionalisme

Uraian atas terpilihnya Xi Jinping sebagai Presiden serta konflik antara dua superpower dunia saya uraikan sebagai landasan argumen utama dalam tulisan ini. Saya berpendapat, bahwa konflik yang terjadi antara AS dan Tiongkok juga konflik antar-bangsa lainnya di dunia, adalah nasionalisme. Nasionalisme adalah penyebab utama konflik antar bangsa, paling tidak sejak tercetusnya konsepsi tentang negara bangsa (nation state).

Nasionalisme muncul dari suatu rasa kemelekatan sosiologis dan psikologis antara seorang individu dengan konsepsi imajinernya tentang bangsa. Bangsa dan negara sejatinya adalah suatu konsepsi imajiner yang secara tidak langsung mengkotak-kotakkan dunia pada suatu pembagian wilayah teritorial. Dan paham tentang bangsa dan kebangsaan secara ideologis kian tenar setelah peristiwa Revolusi Prancis 1789. Bangsa dan negara melekat menjadi suatu identitas, sebagaimana nama, etnis, agama dan aspek primordial lainnya.

Konsepsi tentang negara bangsa menghasilkan nasionalisme, yang darinya muncul suatu istilah national interest (kepentingan nasional). Kepentingan nasional tentu melekat dengan entitas dari sebuah negara, sebagai sarana pemenuhan hasrat politik, ekonomi dan budayanya. Dan seringkali, dalam pemenuhan ambisi kepentingan nasional yang berangkat dari nasionalisme ini, membuat setiap negara siap melakukan apapun, termasuk berperang dan menjajah. Maka, tidak heran apabila para pemikir post-modern, sebagaimana yang ditulis Yuval Noah Harari, menganggap nasionalisme adalah wabah yang menyebabkan perang, penindasan dan imperialisme.

Sebagaimana setiap konflik antar-bangsa disebabkan karena bentrokan kepentingan, begitupun konflik AS-Tiongkok yang sedikit diulas di atas. Kedua negara itu tentu saja berpegang teguh pada kepentingan nasionalnya masing-masing. Terpilihnya Xi Jinping tentu berkaitan dengan bagaimana kepentingan politik Tiongkok ke depan. Dalam sistem politik sentralistik di Tiongkok, figur Xi Jinping adalah manifestasi dari bentuk kepentingan negara itu sendiri. Artinya seluruh kebijakan Xi adalah upaya mewujudkan kepentingan Tiongkok. Kembali lagi, hal ini dimotivasi oleh semangat dan heroisme kebangsaan yang tentu saja melekat dengan kuat .

Bukan hanya konflik AS-Tiongkok, dalam konflik yang masih terus berlangsung antara Rusia-Ukraina pun saya mengemukakan pendapat yang serupa, bahwa penyebab utamanya adalah nasionalisme. Kepentingan nasional suatu negara membuat upaya apapun untuk mencapainya menjadi dianggap sah, meski harus perang sekalipun. Peristiwa dua perang besar di abad 20, Perang Dunia 1 dan 2, dapat dijadikan preseden nyata yang menunjukkan nasionalisme menjadi sebab utama konflik paling berdarah tersebut.

Lantas apabila konsepsi tentang negara-bangsa dan nasionalisme dihapuskan, ide apa kemudian yang bisa menggantikannya? Internasionalisme bisa menjadi jawaban.

Namun, hampir pasti banyak orang yang menganggap konsepsi internasionalis tentang penyatuan dunia dianggap mustahil dan utopis. Saya mungkin akan berpikiran serupa jika konsepsi penyatuan dunia diangankan di abad 19 atau awal abad 20. Tetapi saat ini, tatanan ekonomi dan perdagangan internasional sudah begitu kuat terintegrasi, keterhubungan maya yang menghasilkan konektivitas budaya sudah tak terhindarkan, dan konsepsi internasionalisme tentang penyatuan dunia bukan lagi sesuatu yang mustahil.

Tentu saja ini bukan suatu dongeng yang bisa merubah tatanan dunia dalam satu hari satu malam. Ditambah, tentangan terhadap konsepsi internasionalisme ini tentu akan kuat sekali. Akan tetapi, paling tidak, berdasarkan realita yang ada saat ini ketika dunia semakin terintegrasikan di berbagai aspek, konsepsi tentang penyatuan dunia tidak lagi mustahil walaupun tentu tidak mudah. Perlu menjadi catatan, tatanan penyatuan dunia tidak menjanjikan dunia tanpa konflik, tapi paling tidak menghindari perang besar dengan dalih kepentingan nasional.

Dapat disimpulkan, sebagaimana tatanan imajiner negara-bangsa dapat diwujudkan, konsepsi internasionalisme dan penyatuan dunia pun bukan sesuatu yang mustahil untuk diwujudkan.

Adrian Aulia Rahman merupakan mahasiswa Universitas Padjadjaran. Dapat ditemukan di Instagram dengan nama pengguna @adrianauliar

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *