Ilustrasi gelar akademik. Foto: Freepik

Berbeda dengan titel akademik yang diperoleh dari menempuh pendidikan reguler, gelar kehormatan memiliki kedudukannya tersendiri. Bahkan, poin regulasinya yang tercantum dalam Permenristekdikti Nomor 65 Tahun 2016 bahwa calon penerima gelar doktor kehormatan haruslah orang yang berkontribusi–berjasa dan berkarya, secara “luar biasa”. Artinya, calon tersebut telah memberi sumbangsih yang besar dan bermanfaat bagi khalayak, serta  tentu saja, di luar kebiasaan (extraordinary).

Peraturan tersebut juga menerangkan persyaratan hingga mekanisme pengangkatan yang sebagian besar diatur langsung oleh pihak kampus, termasuk soal analisis kelayakan akademik calon penerima gelar. Sedangkan sebagai regulator, kementerian hanya berperan mencabut gelar apabila terbukti gagal memenuhi syarat. 

Sayangnya, langkah penganugerahan semacam ini rentan terhadap kepentingan praktis.

Sejumlah kasus mencatat bahwa perguruan tinggi yang tiba-tiba memberi gelar, tanpa adanya sosialisasi maupun sidang akademik terbuka untuk membahas kelayakan pemberian gelar tersebut. Terdapat pula kejadian saat aturan pemberian gelar, yakni persyaratan akreditasi minimum hingga latar belakang pendidikan, justru dilabrak.

Selain itu, penafsiran soal pemberian gelar kehormatan bermuatan politis semakin terlihat saat terdapat kampus yang menganugerahkannya kepada mantan narapidana korupsi. Oleh karenanya, selain penilaian terhadap rekam jejak dan sumbangsih akademik yang patut dipertanyakan, sikap kampus juga dapat dinilai abai dalam pertimbangan komprehensif terhadap kapasitas moral dan etika.

Bentuk Validasi Intelegensi Pejabat?

Selain doktor kehormatan, ada pula profesor kehormatan (honorary professor). Beda halnya dengan doktor kehormatan, profesor honoris causa–atau istilah resminya Guru Besar Tidak Tetap (GBTT) adalah jabatan, bukan gelar, dan diatur secara formal dalam Permendikbudristek Nomor 38 Tahun 2021. Oleh karena itu, seorang profesor kehormatan pun memiliki kewajiban akademik. Meskipun demikian, persyaratan yang dibebankan kurang lebih serupa dan menitikberatkan pada diksi “luar biasa”, baik secara kompetensi maupun pengetahuan. 

Adapun, beberapa tokoh politik yang mendapat gelar tersebut adalah mantan Presiden RI, yakni Susilo Bambang Yudhoyono dan Megawati Soekarno Putri, serta mantan Ketua Mahkamah Agung (MA) Muhammad Syarifuddin.

Persoalan gelar kehormatan ini juga diramaikan oleh pernyataan sejumlah dosen di sebuah perguruan tinggi yang menolak pemberian gelar profesor kehormatan bagi individu nonakademik, termasuk pejabat publik. Pandangan tersebut didasarkan pada penilaian terhadap calon penerima yang jauh dari aktivitas akademik, juga pada kekhawatiran bahwa langkah tersebut berpotensi bersifat pragmatis. 

Dalam dekade terakhir, terdapat 20 gelar kehormatan yang diberikan oleh perguruan tinggi dalam negeri bagi politisi. Meskipun tidak melanggar aturan formal, kebijakan ini dirasa rawan bias apabila tokoh tersebut menjadi pejabat aktif.

Padahal, tokoh masyarakat nonakademisi yang memang berkontribusi luar biasa mestinya dapat menjadi medium bagi perguruan tinggi dalam melanggengkan upaya membumikan ilmu pengetahuan di masyarakat, bukan justru melanggengkan praktik transaksi akademik.

Lagipula, gelar profesor bukanlah gelar akademik seperti halnya doktor, melainkan jabatan akademik. Di Indonesia, Profesor atau guru besar sendiri merupakan jabatan fungsional tertinggi di perguruan tinggi di atas asisten ahli, lektor dan lektor kepala. Karena membutuhkan waktu bahkan sampai puluhan tahun, gelar profesor dianggap sebagai motivasi tertinggi dalam jenjang karier akademisi sulit untuk dicapai.

Selain itu, isu ini diperparah dengan adanya regulasi baru PermenPAN-RB No. 1 Tahun 2023 yang–secara langsung maupun tidak, menegaskan bahwa karier di bidang pengajaran pendidikan tinggi cenderung berliku, sulit berkembang, dan kemungkinan akan menurunkan minat terhadap jenjang karier dosen di kemudian hari. 

Pemberian gelar kehormatan tersebut mestinya tidak hanya dengan pertimbangan pengakuan kontribusi yang telah dilakukan di masa lampau, namun juga melakukan rekognisi atas potensi dan keterikatan moral lainnya di masa mendatang. Pengalaman, karya, hingga reputasi si calon penerima gelar mesti relevan dengan dedikasi perguruan tinggi dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. 

Hal demikian penting mengingat tokoh yang diberi gelar kehormatan akan terasosiasi erat dengan nama perguruan tinggi pemberi. Belum lagi soal mekanisme apabila pejabat publik tersebut terbukti melakukan tindak pidana, terutama korupsi, marwah perguruan tinggi yang kemudian menjadi terancam.

Menjaga Tradisi Akademik

Patut diakui bahwa perguruan tinggi memang memiliki ranah otonominya sendiri, termasuk soal pemberian gelar kehormatan. Signifikansi kontribusi dari tokoh masyarakat menjadi ranah perguruan tinggi untuk menilai secara objektif. Meskipun, pada titik tertentu, pertimbangan tersebut juga mesti dilakukan secara matang. Telaah akademis yang dilakukan kampus terhadap calon penerima mestinya dapat diakses oleh publik.

Di samping itu, upaya akademisi yang proaktif dalam mengkritisi langkah turut berdampak dalam melestarikan kesehatan lingkungan akademik. Terlebih, mengingat tiap perguruan tinggi memiliki otonomi sendiri mengenai mekanisme pemberian gelar kehormatan, perlu terdapat diskusi lebih lanjut soal definisi dan klasifikasi “keluarbiasaan” dari jasa maupun karya si calon penerima. Apalagi kebijakan dapat saja sarat kepentingan menjelang tahun-tahun politik. 

Baik doktor maupun profesor kehormatan, selain soal utama berupa integritas dan budaya akademik, proses ini meminimalisasi langkah yang cenderung menginterpretasi bahwa gelar kehormatan hanya merupakan “barang yang diperjualbelikan”.

Jalaluddin Rizqi Mulia merupakan mahasiswa di Universitas Islam Indonesia. Dapat ditemukan di Instagram dengan nama pengguna @jalaluddinrizqi

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *