Menghadirkan Perempuan dalam Transisi Energi

0

Ilustrasi perempuan. Foto: Getty Images

Selamat Hari Perempuan!

Di tengah peliknya permasalahan politik, sosial, lingkungan, baik dalam lingkup domestik maupun global, semoga peminggiran isu kelompok rentan tidak jadi sebuah pembenaran.  

Ucapan tersebut menjadi awalan bagi penulis untuk meletakkan topik besar dalam tulisan ini, yakni perempuan di tengah kabar yang ‘sedikit’ membahagiakan; tidak lain adalah progres transisi energi di Indonesia. Terlepas dari tarik-ulur komitmen pemerintah dalam mengentaskan krisis iklim—salah satunya ditempuh dengan menggantikan energi fosil menjadi energi baru terbarukan (EBT)—sekiranya perlu diapresiasi pula untuk implementasinya sejauh ini. Pada 25 Februari lalu, Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di Poso dibangun dengan kapasitas 515 megawatt dan telah menyumbang sekitar 10,69 persen dari total bauran EBT di Sulawesi Selatan. Di hari yang sama pula, PLTA berkapasitas 90 megawatt didirikan di Tana Toraja, Sulawesi Selatan (Widyastuti, 2022).

Angin Segar untuk Perempuan dan Energi Bersih dalam G20

Berjalannya presidensi G20 nampaknya juga mendorong pemerintah untuk menunjukkan komitmen Indonesia terhadap upaya transisi energi, meskipun terkesan dadakan. Tercatat pada 27 Februari lalu, PLN menambah 36 lokasi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap berkapasitas 869 kilowattpeak (kWp) di Bali guna mendukung gelaran KTT-G20 (Suadnyana, 2022). Tidak hanya itu, upaya transisi lainnya juga meliputi kendaraan listrik, baik privat maupun publik. Juga, data mengenai PLTS atap beberapa di antaranya telah dirangkum dalam laporan Indonesia Energy Transition Outlook 2022 oleh IESR.

Berkaitan dengan itu semua, momentum G20 seharusnya bisa menjadi angin segar mengingat, dua dari lima isu yang menjadi fokus pembahasan Engagement Group C20 adalah ‘Gender dan Inklusivitas dalam Mitigasi dan Adaptasi Iklim’ serta ‘Akselerasi Transisi Energi’. Meskipun terpisah dalam dua tema berbeda, besar harapan penulis jika keduanya akan menemukan irisan dalam satu payung besar ‘isu lingkungan’.

Ketika membahas keduanya dengan paradigma lingkungan, seyogyanya para peserta diskusi bisa menganalisis permasalahan dalam kerangka ekosistem yang mana, setiap unsur saling terhubung dan memberikan dampak. Dalam hal ini, analisis kelompok rentan seperti perempuan perlu diperhitungkan karena tidak dapat dinafikan, kelompok ini sering menjadi yang lebih dirugikan akibat rusaknya ekosistem. Begitu pun dengan transisi energi, perlu ada kajian lanjut bagaimana ‘penyelamat iklim’ ini bertindak dalam ekosistem; entah itu benar-benar menyelamatkan atau masih ada sisi paradoks yang perlu dibenahi sejak awal.

Perempuan, Lingkungan, dan Energi

Terlepas dari adanya angin segar, kiranya kita perlu merefleksikan kembali bagaimana posisi perempuan dalam lingkungan dan kaitannya dengan transisi energi. Satu konteks yang belum bisa diabaikan hingga hari ini adalah kerentanan perempuan terhadap bencana iklim, terlebih untuk negara-negara berkembang atau miskin. Kerentanan perempuan tersebut tidak jauh dari konstruksi patriarkis yang mengharuskan perempuan untuk beraktivitas di rumah. Tsunami yang melanda Bangladesh pada tahun 2004 menjadi representasi kasus dengan korban terbesarnya adalah perempuan (berikut anak). Hal ini diakibatkan oleh tuntutan budaya terhadap mobilitas perempuan yang kuat sehingga saat bencana terjadi, banyak pertimbangan untuk melakukan penyelamatan diri (Arora-Jonsson, 2011). Kerentanan perempuan juga bisa diakibatkan oleh kecenderungannya untuk lebih berhati-hati atau peduli dengan lingkungan sekitar. Tanpa mengutip data jurnal, pengalaman mengamati kerepotan ibu-ibu dalam mengurus rumah tangga sudah menjadi justifikasi kecil atas kepedulian perempuan terhadap lingkungan. Kepedulian ini juga terejawantahkan dalam hal mengutamakan ‘perut’ keluarga yang secara berkelajutan, membentuk pola perilaku untuk selalu mengutamakan hal lain sebelum dirinya.

Mengutamakan perut keluarga di atas segalanya, meskipun terdengar baik dan mulia, memberikan paradoks tersendiri, utamanya bagi perempuan di daerah pedalaman yang masih mengandalkan alat masak yang tidak ramah lingkungan. Perempuan dalam hal ini bertugas untuk memasak yang bila prosesnya masih bergantung pada kayu bakar akan berdampak negatif pada kesehatan bahkan berujung pada kematian. Data WHO 2012 menunjukkan 45.000 kasus kematian pada perempuan dan anak akibat pola memasak demikian. Tidak hanya kompor tradisional, kompor gas dan kompor listrik pun relatif berbahaya karena keduanya sama-sama menghasilkan karbon monoksida (Wibawa & Putri, 2019). Rentannya perempuan terhadap paparan gas berbahaya tersebut akhirnya mendorong penggunaan energi bersih/ramah lingkungan untuk keperluan domestik, seperti Tungku Sehat Hemat Energi, kompor surya, dan kompor induksi, dan pastinya dengan akses yang mudah serta terjangkau.

Masalah Kepakaran dan Partisipasi

Dian Ariyani selaku Presidium Nasional Perempuan Petani Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) mengatakan jika partisipasi perempuan menjadi salah satu permasalahan dalam pengembangan dan pemanfaatan energi bersih (Humas EBTKE, 2021). Partisipasi ini merujuk pada proses perumusan dan pengambilan keputusan. Global Women’s Network for the Energy Transition (GW NET) juga menerangkan minimnya partisipasi perempuan umumnya diakibatkan oleh sistem perekrutan yang tidak inklusif dan juga kurangnya keterampilan perempuan di sektor energi. Pun, pelatihan terkait energi juga sering mengeksklusikan perempuan (Lins, 2019).

Menurut penulis, apa yang lebih penting dari partisipasi dari ranah formal adalah partisipasi dalam perancangan teknologi bersih yang akan dihasilkan. Dimensi gender seringkali absen dalam transisi energi yang bersifat teknokratis, bahkan patriarkis. Kebijakan energi berikut dengan proses pembuatannya sering dilakukan melalui perspektif teknokratis dan upaya memasukkan analisis sosial dan ekonomi seringkali terbatas pada harga energi dan ketenagakerjaan. Keterbatasan ini umumnya diakibatkan oleh dominasi kelompok ilmuwan, insinyur, ekonom, dan birokrat (Lieu dkk, 2020). Ini pun diperkuat dengan pelabelan laki-laki sebagai kelompok melek IPTEK sehingga urgen bagi mereka untuk terlibat dalam masalah lingkungan. Sementara itu, perempuan masih dianggap sebatas pengasuh dan penjaga alam.

Untuk mengulas hal ini, penulis menggunakan argumen Frank Fischer dalam bukunya yang berjudul Citizens, Experts, and the Environment (2000). Garis besar buku ini menjelaskan bagaimana pengetahuan yang dianggap sah hanya ketika itu dihasilkan oleh para ahli sehingga pengetahuan warga biasa dianggap sebagai hal yang irasional. Padahal, sebagai partisipan terbesar dalam kehidupan sehari-hari, warga bisa menjadi ahli sesungguhnya untuk menyelesaikan permasalahan di lingkungannya sendiri. Ketergantungan terhadap ahli ini sering terjadi dalam konteks isu lingkungan mengingat analisisnya juga membutuhkan kajian ilmu eksak yang tidak semua orang bisa kuasai. Oleh karenanya, Fischer mengenalkan konsep ‘cultural rationality’ sebagai apresiasi terhadap pengetahuan lokal yang dimiliki warga biasa.

Lagi, Dian dalam diskusi publik RUU EBT oleh KPI dan IESR (4/3) mengatakan perempuan daerah terpencil seringkali menemukan sumber energi alternatif ramah lingkungan namun pengalaman ini jarang diakomodir oleh para pemangku kepentingan. Sekali pun adanya akomodasi terhadap ide dan pengalaman sehari-hari, itu terjadi ketika diusung oleh para pengusaha; yang ketika diproses dan dikembalikan ke perempuan sebagai suatu produk konkret, ada harga yang harus dibayar. Gagasan warga lokal akhirnya dijustifikasi, bahkan ironinya dikomodifikasi, hanya ketika itu diucapkan oleh para pemilik jabatan.

Argumen Fischer kiranya menjadi pijakan dan refleksi terhadap upaya transisi energi saat ini, utamanya ketika akan memperhitungkan kelompok rentan, seperti perempuan dengan status sosio-ekonomi rendah. Selain dari pentingnya energi bersih untuk kelompok rentan, kapasitas energi, dan sejauh mana distribusinya digalakkan, hal yang tak kalah penting adalah bagaimana kelompok ini bisa merasa berdaya dengan hadirnya teknologi mutakhir tersebut. Kita tidak dapat menutup mata terhadap masalah ‘technology gap’ yang berlangsung hingga hari ini. Begitu pun kepada kelompok rentan yang telah disebutkan; tidak akan ada salahnya untuk menanyakan langsung seperti apa teknologi memasak ramah lingkungan yang sebetulnya mereka harapkan berdasarkan pengalaman maupun persepsi subjektifnya.

Jangan sampai kemajuan teknologi, khususnya teknologi ramah lingkungan, hanya fokus pada kepentingan reduksi emisi namun abai terhadap kemudahan penggunaannya bagi kelompok tertentu.

Sekali lagi, selamat hari perempuan!

Terlebih untuk kelompok rentan yang sedang merebut kembali hak atas udara bersihnya.

Referensi:

Arora-Jonsson, S. (2011). Virtue and Vulnerability: Discourse on Women, Gender, and Climate Change. Global Environmental Change, 744-751.

Fischer, F. (2000). Citizens, Experts, and the Environment. Durham: Duke University Press.

Humas EBTKE. (2021, Februari 16). Peran Perempuan Dalam Efisiensi Energi Melalui Pemanfaatan Lampu LED. Diakses dari Direktorat Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE): https://ebtke.esdm.go.id/post/2021/02/19/2800/peran.perempuan.dalam.efisiensi.energi.melalui.pemanfaatan.lampu.led

Lieu, J., Sorman, A. H., Johnson, O. W., Virla, L. D., & Resurrección, B. P. (2020). Three Sides to Every Story: Gender Perspectives in Energy Transition Pathways in Canada, Kenya, and Spain. Energy Research & Social Science, 1-13.

Lins, C. (2019, Oktober 22). GWNET. The Role of Gender in The Energy Sector. Diakses dari Global Women Net: https://www.globalwomennet.org/the-role-of-gender-in-the-energy-sector/

Suadnyana, S. (2022, Februari 27). Dukung G20, PLN Bangun 36 PLTS Atap di Bali. Diakses dari detikFinance: https://finance.detik.com/energi/d-5961669/dukung-g20-pln-bangun-36-plts-atap-di-bali

Wibawa, S. W., & Putri, G. S. (2019, April 16). Waspada, Polusi Udara Asap Dapur Jauh Lebih Bahaya Dibanding Jalanan. Diakses dari Kompas: https://sains.kompas.com/read/2019/04/16/094932623/waspada-polusi-udara-asap-dapur-jauh-lebih-bahaya-dibanding-jalanan

Widyastuti, R. A. (2022, Februari 26). Profil PLTA Poso dan Malea Milik Jusuf Kalla yang Baru Diresmikan Jokowi. Diakses dari Tempo: https://bisnis.tempo.co/read/1564927/profil-plta-poso-dan-malea-milik-jusuf-kalla-yang-baru-diresmikan-jokowi?page_num=2

Rizzah Aulifia adalah mahasiswa Ilmu Politik di Universitas Indonesia dan Head of Graphic Designer Kontekstual. Dapat ditemukan di Instagram dengan nama pengguna @rizzhaulifia

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *