Strategi Diversifikasi Alutsista Indonesia di Persimpangan Lanskap Politik Internasional

0

Ilustrasi Menteri Pertahanan Prabowo Subianto (kiri) bersama Menteri Angkatan Bersenjata Prancis Florence Parly. Foto: AFP/Adek Berry

Bulan Februari menjadi momentum ‘durian runtuh’ bagi sektor pertahanan Indonesia. Pasalnya, Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto ‘memborong’ kerja sama pengadaan alutsista dari Prancis untuk seluruh matra dalam lawatan Menteri Angkatan Bersenjata Prancis, Florence Parly, pada 10 Februari silam. Di hari yang sama, kabar baik juga datang dari Pemerintah Amerika Serikat yang mengizinkan penjualan jet tempur F-15EX kepada Indonesia. 

Meskipun Menhan Prabowo dan jajarannya belum memberikan tanggapan jelas terhadap tawaran AS tersebut, gemerlapnya tawaran untuk pemenuhan kebutuhan alutsista Indonesia sangat menyita perhatian publik domestik maupun internasional. Perdebatan pro-kontra pengadaan alutsista yang fantastis terus bergulir hingga hari ini. Alih-alih menyurutkan perdebatan, peningkatan eskalasi konflik bersenjata antara Rusia dan Ukraina justru ikut terseret ke dalam perdebatan sebagai justifikasi untuk mendukung langkah pemerintah dalam melakukan modernisasi alutsista besar-besaran. Kendati begitu, tak sedikit juga yang mengkritisi rencana pengadaan alutsista senilai ratusan triliun rupiah ini dengan dalih keprihatinan terhadap penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi.

Perdebatan publik sepertinya luput bahwa momentum ini memiliki sejumlah makna bagi strategi diversifikasi pengadaan alutsista yang biasa menjadi andalan Indonesia untuk menanggulangi prinsip politik luar negeri ‘bebas aktif’. Dinamika kondisi tatanan politik internasional di tingkat global maupun kawasan telah membawa implikasi yang signifikan bagi strategi diversifikasi pemasok alutsista Indonesia. Tulisan ini berupaya menjelaskan bagaimana kondisi tatanan politik internasional perlahan memodifikasi strategi diversifikasi pemasok alutsista melalui refleksi penandatanganan kerja sama ‘mercusuar’ pengadaan alutsista Indonesia dengan Prancis.  

Strategi Diversifikasi Alutsista Indonesia di Antara CAATSA dan Krisis Konflik Rusia-Ukraina

Pesanan pesawat tempur dalam jumlah besar kepada Prancis mengisyaratkan bahwa Indonesia secara tegas mulai menjauhi Rusia yang semula diharapkan dapat memodernisasi kekuatan pesawat tempur Indonesia. Sejumlah pernyataan menyatakan bahwa 42 unit pesawat tempur buatan Dassault Rafale akan menggantikan skuadron F-5 Tiger yang telah pensiun sejak 2015 silam. Padahal, pemerintah awalnya menjadikan pesawat tempur Su-35 buatan Rusia sebagai calon kuat pengganti skuadron F-5 Tiger di tahun 2015

Sudah menjadi rahasia umum bahwa kemudian negosiasi pengadaan pesawat tempur Su-35 mengalami kemacetan akibat adanya ancaman sanksi embargo Countering America’s Adversaries Through Sanctions Act (CAATSA) yang diterbitkan oleh Kongres AS di tahun 2017. Meskipun pihak Kementerian Pertahanan terus bungkam mengenai progres pengadaan ini, pemerintah Rusia melalui duta besarnya mengklaim bahwa proses negosiasi pengadaan 11 pesawat tempur Su-35 dengan Indonesia masih berjalan dan tidak terpengaruh CAATSA. Kendati begitu, Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal Fadjar Prasetyo akhirnya membocorkan progres negosiasi pengadaan ini di akhir tahun 2021 kemarin. Ia menyebutkan bahwa rencana pengadaan tersebut terpaksa kandas di tengah jalan. 

Batalnya pengadaan pesawat tempur Su-35 yang bersambut dengan disepakatinya pengadaan pesawat tempur Rafale memperlihatkan bahwa Indonesia akhirnya menjatuhkan sikap bandwagon terhadap ancaman CAATSA. Sebagai negara menengah yang sedang berupaya mengembangkan industri pertahanan untuk kemandirian pertahanan jangka panjang, sikap bandwagon ini tidak dapat serta merta dilihat sebagai penyimpangan terhadap prinsip ‘bebas’ polugri Indonesia. Industri pertahanan Indonesia harus menanggung risiko besar secara politis maupun ekonomis jika ingin tetap melakukan diversifikasi teknologi Barat dan Timur secara bersamaan. Ancaman embargo yang membayangi jika Indonesia bersikukuh melakukan pengadaan dari Rusia tentu dapat membahayakan reliabilitas industri pertahanan Indonesia yang telah terbangun hingga saat ini dan juga prospek pengembangan kerja sama industri pertahanan di masa depan. Alih-alih prinsip polugri ‘bebas aktif’ makin teguh, Indonesia menjadi semakin terbatas baik secara politis maupun teknis jika mengorbankan diri untuk rela diembargo demi menegakkan prinsip ‘bebas’ secara gamblang semata. Semestinya, prinsip polugri ‘bebas aktif’ menjadi landasan dan pendorong utama Indonesia untuk dapat secara bebas dan aktif menjemput peluang kerja sama yang menguntungkan bagi pengembangan industri pertahanan. ‘Bebas’ dan ‘aktif’ dalam konteks ini dapat dimaknai dengan minimalisasi kerja sama yang tidak efisien secara teknis, ekonomis, maupun politis. Perlu disadari bahwa kerja sama pertahanan Indonesia perlu mengedepankan efisiensi interoperabilitas teknologi persenjataan serta minimalisasi keterikatan politik dan ekonomi. 

Meningkatnya eskalasi konflik antara Rusia dan Ukraina saat ini juga dapat menjadi justifikasi bagi Indonesia untuk sementara waktu menghentikan kerja sama pertahanan dengan Rusia. Jika amanat UUD 1945 untuk menjaga ketertiban dunia dan prinsip polugri ‘bebas aktif’ menjadi salah satu determinan utama dalam strategi pengadaan alutsista, sudah seharusnya Indonesia memilih untuk menjauhkan diri dari negara yang sedang berkonflik. Hubungan atau kerja sama sekecil apapun, khususnya dalam ranah yang sensitif seperti pertahanan, dengan negara yang sedang berkonflik tentu memiliki intrik politik yang rawan disalahartikan oleh negara lain yang berkepentingan. Oleh karena itu, menjaga jarak dengan Rusia dan Ukraina sementara waktu ini dapat memberikan makna kepada prinsip polugri ‘bebas aktif’ di bidang pertahanan karena sikap ini menegaskan bahwa Indonesia memiliki kepentingan pertahanan yang bersifat defensif aktif untuk menjaga ketertiban dunia alih-alih terlibat pada konflik yang lebih luas. Mengutip dari tulisan Bung Hatta di tahun 1953, kebijakan polugri Indonesia tidak dapat mengadopsi sikap netral, tetapi berpijak pada solidaritas internasional. 

Sebagaimana strategi pengadaan di antara ‘dua kaki’ ini terlihat menunjukkan titik akhir, bukan berarti Indonesia kembali mengulangi kesalahan untuk bergantung pada teknologi Barat sepenuhnya. Data yang disadur dari SIPRI menunjukkan bahwa hanya terdapat dua negara yang tiap tahun memasok alutsista kepada Indonesia, yakni Prancis dan Tiongkok. Sementara, jika dilihat dari intensitas dan besaran kuantitas senjata yang dipasok, Amerika Serikat dan Korea Selatan menjadi produsen terbesar alutsista Indonesia serta tidak ada negara yang memasok persenjataan hingga mencapai 20 persen dari total persenjataan Indonesia. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa strategi diversifikasi Indonesia pada dekade 2020-an hingga kedepannya mengalami pergeseran yang mana pengaruh kekuatan Rusia sebagai poros Timur mulai memudar dan perlahan tergantikan oleh Tiongkok meskipun tidak secara signifikan. Lebih jauh lagi, dengan kondisi politik internasional di tataran global saat ini, rasanya lebih tepat untuk melihat bahwa strategi diversifikasi pengadaan alutsista Indonesia cenderung menjorok kepada negara-negara kekuatan menengah atau kekuatan besar dengan industri pertahanan yang bersifat autarki seperti Korea Selatan dan Prancis.

Strategi Diversifikasi Alutsista Indonesia di Tengah Ketidakpastian Geopolitik Kawasan

Dr. Dafri Agussalim dalam tulisannya di tahun 1999 menyatakan bahwa dinamika geopolitik di kawasan sangat menentukan pembangunan kekuatan pertahanan suatu negara. Argumen ini masih sangat relevan untuk menjelaskan strategi pengadaan alutsista Indonesia hari ini jika ditilik dari kondisi politik regional hari ini. Dinamika geopolitik kawasan Asia Pasifik kembali bergejolak setelah lebih dari dua dekade cenderung sunyi dari hingar bingar kontestasi rivalitas hegemonik global setelah berakhirnya Perang Dingin. Kebangkitan kekuatan Tiongkok di berbagai aspek yang disertai dengan sikap asertif untuk merebut wilayah laut berdaulat milik sejumlah negara menantang stabilitas multipolaritas sistem internasional di kawasan Asia Pasifik. Dinamika yang cukup intens di belakang halaman teritorial Indonesia ini tentunya menavigasi strategi pertahanan Indonesia untuk mampu bertahan di tengah ketidakpastian stabilitas di sekitarnya.

Sikap asertif Tiongkok terhadap sejumlah negara di kawasan Laut Tiongkok Selatan menghadirkan keresahan regional, baik di kalangan negara yang bersengketa wilayah maupun tidak. Indonesia secara jelas tidak memiliki sengketa wilayah maritim dengan Tiongkok, meskipun Tiongkok kerap mengintrusi wilayah ZEE di Blok Natuna serta akhir-akhir ini memprotes aktivitas pengeboran minyak Indonesia di wilayah berdaulat Indonesia. Sebagaimana sejumlah negara di kawasan Asia Tenggara merupakan mitra strategis dan aliansi AS, mau tidak mau keresahan ini mengundang hadirnya kembali AS di kawasan. Hal ini tentu menjadikan kawasan Asia Pasifik rawan akan perang proxy dari rivalitas kedua kekuatan adidaya tersebut. Dari segi pertahanan, kontestasi kedua negara tersebut telah menghasilkan persaingan pengaruh serta perubahan peta aliansi di kawasan dengan lahirnya terminologi kawasan Indo-Pasifik, minilateral Quad antara AS-Jepang-India-Australia, hingga yang terbaru adalah pembentukan pakta trilateral AUKUS yang digawangi oleh AS-Inggris-Australia. 

Kondisi dilematis ini tentu disadari betul oleh pemangku kepentingan di Kementerian Pertahanan. Gesekan yang kerap terjadi antara Indonesia dan Tiongkok tentunya menjadikan Indonesia untuk memasang batas derajat ketergantungan alutsista kepada Tiongkok. Sebagaimana disadari pula jika Indonesia melakukan pengadaan alutsista dari Tiongkok, alutsista tersebut tidak dapat ditempatkan di area yang kerap rawan gesekan dengan Tiongkok. Amanat prinsip polugri ‘bebas aktif’ tentunya tidak memungkinkan bagi Indonesia untuk menggantungkan harapan yang besar kepada AS sebagaimana peristiwa embargo dua dekade silam mengajarkan Indonesia untuk tidak lagi menggantungkan kekuatannya kepada AS sekalipun AS berkenan menjadikan Indonesia sebagai mitra strategis yang setara dengan Singapura di bidang pertahanan.

Seluruh kondisi tersebut menjadikan kerja sama ‘mercusuar’ alutsista Indonesia dengan Prancis makin masuk akal untuk tetap meningkatkan kapabilitas dan kemandirian pertahanan Indonesia. Hadirnya trilateral AUKUS sedikit banyak mengubah strategi negara-negara Eropa di kawasan Indo-Pasifik, khususnya Prancis. Terbentuknya AUKUS pasca pembatalan kerja sama kapal selam antara Prancis dan Australia mendorong Prancis untuk menghadirkan pendekatan yang berbeda di Indo-Pasifik. Sebagai nahkoda European Union (EU), Prancis pun semakin mendorong hadirnya strategi kerja sama EU di Indo-Pasifik. Hal ini memperlihatkan bahwa rivalitas geopolitik di kawasan tidak hanya terpusat pada dua kutub negara adidaya, tetapi juga menghadirkan multipolaritas yang berupaya untuk hadir dan membangun relasi dengan kawasan Indo-Pasifik. Oleh karena itu, menjadi masuk akal mengapa Menhan Prabowo bersedia mengadakan kerja sama besar-besaran untuk modernisasi alutsista sebagaimana Prancis hadir menjadi alternatif kekuatan pertahanan. Hadirnya Prancis sebagai alternatif dapat dilihat sejalan dengan kepentingan polugri ‘bebas aktif’ untuk tidak terjebak pada kekuatan besar serta kepentingan untuk mencapai target modernisasi alutsista. 

Urgensi untuk menyegerakan modernisasi alutsista dalam skala besar tentu juga tidak terlepas dari berbagai ketidakmungkinan situasi untuk melakukan kerja sama pertahanan dengan Rusia seperti perawatan dan revitalisasi alutsista Indonesia yang dibeli dari Rusia. Memburuknya kondisi di wilayah Eropa Timur tentu menjadi hitung mundur bagi Indonesia untuk mulai meremajakan alutsista asal Rusia. Peremajaan ini tentu perlu disusul dengan segera oleh pemenuhan kekuatan baru mengingat peningkatan intensi kekuatan di kawasan semakin menjadikan stabilitas dan perdamaian kawasan tidak menentu. Indonesia tentu harus tetap bersiap di tengah ketidakpastian.

Arah Baru Strategi Diversifikasi Alutsista Indonesia

Akhir kata, persimpangan lanskap politik internasional yang tengah mengalami ketidakpastian baik di kawasan sekitar Indonesia maupun di belahan dunia lainnya secara jelas mempengaruhi strategi pembangunan kekuatan postur pertahanan Indonesia. Risiko besar yang Indonesia hadapi di tengah kepentingan untuk bersiap di tengah meningkatnya intensitas kontestasi kekuatan di kawasan serta jalan panjang menuju kemandirian pertahanan harus menjadikan prinsip polugri ‘bebas aktif’ lebih luwes untuk merespon situasi dalam ranah pengadaan alutsista. Strategi diversifikasi pengadaan alutsista, yang semula berupaya bertumpu pada ‘dua kaki’ kutub politik internasional untuk meningkatkan daya tawar Indonesia agar terhindar dari embargo, kini harus bergeser arah seiring berkembangnya visi misi postur pertahanan Indonesia. Strategi diversifikasi pengadaan alutsista yang cenderung mendekatkan diri pada negara-negara dengan industri pertahanan autarki sekiranya lebih cocok untuk Indonesia terapkan saat ini. Sebagaimana menjaga semangat pertumbuhan industri pertahanan adalah hal yang lebih berkelanjutan untuk menjaga Indonesia dari ancaman-ancaman embargo di kemudian hari.

Sheila Jasmine adalah Asisten Peneliti di Departemen Hubungan Internasional, Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Jakarta. 

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *