Mengimbangi Resesi Fertilitas dan Bonus Demografi Indonesia

0

Bayi yang lahir di Banyuwangi, Jawa Timur. Foto: Fiqman Sunandar/ANTARA

Dalam salah satu perhelatan seminar Desember lalu di Universitas Airlangga, Presiden Lembaga Pertahanan Nasional (LEMHANAS) Andi Widjajanto diminta untuk mengelaborasikan visi pemerintah tentang posisi Indonesia di satu abad umurnya nanti. Paparan beliau terlampau ekstensif menjelaskan perspektif serta tantangan keamanan yang potensial dihadapi NKRI kedepan. Akan tetapi, ide megah yang berusaha ditanamkan LEMHANAS kepada benak khalayak umum dan mahasiswa, adalah “proyeksi demografi” sebagai salah variabel terpenting penentu posisi Indonesia di tahun 2045.

Menurut Andi, basis pemikiran pemerintah terletak kepada prediksi populasi dunia sekitar pertengahan abad ini yang akan melebihi sepuluh milyar jiwa. Kenaikan dua milyar jiwa yang hidup menjamah bumi tentu saja bukan perkiraan yang mudah untuk dicerna, apalagi dipersiapkan. Dalam angka prediktif tersebut, disinyalir 40% dari keseluruhannya merupakan populasi angkatan kerja. Kenyataan tersebut, bisa jadi mengindikasikan dua hal yang meninggi: (1) kebutuhan akan kelayakan penghidupan; serta (2) potensi ber-udaya-nya (Sanskerta: bangkit) negara-negara. 

Pemaparan Andi menarik, namun proyeksi demografi masa depan bangsa inilah yang masif terhubung serta memengaruhi posisi geopolitik Indonesia nantinya. Geopolitik, yang khalayak banyak acap persepsikan bersinonim dengan perang dan pencaplokan wilayah, mengandung pengingat bahwasanya negara yang “kuat” adalah negara yang memastikan kelayakan hidup masyarakatnya. Demi memastikan visi geopolitik tersebut pada tataran demografi, lantas, penulis berargumen bahwa diperlukan refleksi mendalam oleh pemangku kebijakan akan dua isu penting: (1) bonus demografi; serta (2) resesi fertilitas. 

Bonus Demografi dan Resesi Fertilitas: Penghubung Krusial Ekonomi dan Demografi 

Bonus demografi sebagai suatu konsep awam, pada dasarnya merupakan hasil akhir dari dinamika dua jenis kelompok populasi: usia produktif (15-64 tahun) dan yang bukan (<15 & >64 tahun). Sederhananya, bonus demografi dicapai ketika populasi usia produktif bekerja meningkat minimal dua kali, dengan diimbangi stagnasi pertumbuhan penduduk bawah 15 tahun, serta berkurangnya jumlah penduduk lansia (Jati, 2015). Logika “bonus” terproyeksikan karena peningkatan pekerja mengartikan meningkatnya kemampuan ekonomi sedangkan tidak bertumbuhnya populasi tak produktif menandakan pengurangan beban ketergantungan terhadap para usia produktif.

Sebagai salah satu bentuk proyeksi demografi, resesi fertilitas patut menjadi keprihatinan pemangku kepentingan walau tidak berkontradiksi langsung dengan realita bonus demografi. Konsep resesi fertilitas mengandung pemahaman yang lebih menjurus kepada selisih di antara jumlah pasutri dan rerata angka natalitas perempuan sepanjang hidup. Acap disalahartikan sebagai “resesi seks”, resesi fertilitas terjadi ketika angka natalitas bertengger di bawah angka dua untuk waktu yang berkepanjangan (Bozick, 2021). Mencuatnya realita tersebut menandakan dua jiwa sebagai jumlah dari suatu pasangan suami-istri tidak akan digantikan dengan jumlah kelahiran generasi baru dengan jumlah yang sama (two for two).

Berdasarkan indikator bonus demografi yang dijelaskan sebelumnya, Indonesia memang tengah menjalani epos bonus tersebut. Perbandingan data kependudukan Badan Pusat Statistik (BPS) (2021; 2022), Republik Indonesia di antara tahun 2020 dan 2021 secara bersamaan menunjukkan peningkatan tahunan populasi penduduk bekerja serta usia aktif. Dengan laju fertilitas yang bercokol tahun lalu pada angka 2,1 kelahiran per perempuan, Indonesia kuat menyokong bonus tersebut dengan hampir mematerialisasikan stagnasi pertumbuhan penduduk sembari menghindari resesi fertilitas. Namun, pencapaian tersebut tidak seyogyanya membuat kita lengah akan potensi kemunculan krisis demografi layaknya di wilayah Asia Timur, serta pengembangan kualitas usia produktif serta korelasinya akan posisi geopolitik kita di masa depan. 

Resesi Fertilitas Tanda Resesi Ekonomi? Belajar dari Tiongkok dan Jepang  

Mayoritas periode pada pertengahan abad ke-20 menengok Jepang sebagai kisah sukses dengan acap kali mencatatkan pertumbuhan ekonomi dua kali ketimbang negara-negara maju lain (Marangos, 2013). Selain karena kesuksesan pengadopsian model liberal pada struktur ekonominya, pertumbuhan penduduk akibat meningkatnya kualitas hidup secara konstitutif mendukung trayektori tersebut. Satu dekade sebelum pergantian milenium, akan tetapi, Jepang mengalami periode stagnasi ekonomi yang dikontribusi oleh peningkatan rasio ketergantungan akibat masifnya populasi lansia yang tidak produktif (Yoshino & Taghizadesh-Hesary, 2015). Lebih lanjut, Aoki (2012) menemukan dinamika pasar tenaga kerja yang tidak mampu beradaptasi dengan ketidakberlanjutan suplai tenaga kerja Jepang.

Paripurna tahun 2022 menunjukkan penurunan lebih dari 850.000 jiwa di Tiongkok (CNN, 2023). Tetap menjadi perhatian bahwasanya Tiongkok mencatatkan laju pertumbuhan ekonomi sebesar 3% meskipun respons yang dipandang terlalu ketat terhadap pandemi. Proyeksi demografi gubahan PBB menunjukkan penurunan populasi Tiongkok yang tak terlalu masif berbanding jumlah populasi negara tersebut, bahkan hingga tahun 2100 mendatang (Silver & Huang, 2022). Namun, data menunjukkan peningkatan berkala rasio ketergantungan di Tiongkok, dengan posisi terakhir menunjukkan angka 46,3% pada tahun 2021 (Textor, 2022). Alhasil, dengan rasio ketergantungan yang kian meninggi, Tiongkok dipandang akan kesulitan untuk melestarikan pertumbuhan ekonominya meskipun impresif.  

Diskrepansi di antara kapabilitas ekonomi Tiongkok-Jepang dengan Indonesia agaknya memang masih mengonstitusikan jurang yang luas. Republik ini jelas tidak menginginkan untuk mewarisi problematika ekonomi kedua negara tersebut yang berkorelasi dengan karakteristik demografinya. Studi komparasi memang dibutuhkan untuk menciptakan evaluasi kebijakan demografi Indonesia yang sesuai. Akan tetapi, secara singkat, kasus Jepang menggambarkan efek buruk di bidang ekonomi yang berangkat kurang adaptifnya kebijakan terhadap perubahan demografi nasional. Di sisi lain, Tiongkok dengan “one child policy” dan peningkatan populasi lansia menggambarkan suatu pemerintah yang bisa dikatakan kurang bersiap akan masa depan. Pertaruhan geopolitik yang tengah dihadapi kedua negara tersebut berkaitan dengan aspek demografinya perlu dijadikan contoh problematika kebijakan yang kemungkinan dapat terjadi di Indonesia. 

Refleksi Demografi Indonesia Emas 2045 

“Berangkat dari status yang emerging, Indonesia akan menyongsong kebangkitannya segera,” pungkas Joko Susanto, yang merupakan akademisi Hubungan Internasional Universitas Airlangga, dalam penyimpulannya akan seminar dari Andi Widjajanto. Indonesia adalah negara yang besar, baik dalam kependudukannya ataupun masa depan yang hendak diembannya. Tatanan geopolitik global yang diprediksi akan mengalami perubahan masif menjelang pertengahan abad ini yang memungkinkan perubahan status Indonesia tersebut. Bangsa yang besar, akan tetapi, disokong secara lestari oleh kualitas dan regenerasi populasinya. Boleh jadi republik ini mengalami bonus demografi bertubi-tubi dalam periode yang suksesif.

Dengan kualitas penduduk dan struktur internal yang tidak memadai, terlebih didera oleh resesi fertilitas, status geopolitik Indonesia bisa jadi stagnan dan hanya sebatas didapuk the next big thing. Maka dari itu, optimisme akan masa depan perlu disandingkan dengan reflektivitas dari kondisi terkini dan terus melandasi pengejawantahan kepentingan pemangku kepentingan di Indonesia, baik elit maupun masyarakatnya sendiri. 

Philipus Mikhael Priyo Nugroho merupakan Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional di Universitas Airlangga. Dapat ditemukan di Instagram dengan nama pengguna @miko.khael

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *