Dari Diplomasi Membumi Jokowi ke UU Ciptaker

0

Demonstrasi penolakan RUU Omnibus Law yang dilakukan oleh sejumlah buruh dan mahasiswa di Makassar, Sulawesi Selatan. Foto: Arnas Padda/Antara

Sudah menjadi suatu ciri khas politik luar negeri Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menekankan pada nuansa politik bebas-aktif dan tidak berafiliasi pada poros manapun, tetapi masih memiliki peluang untuk berpartisipasi dalam kegiatan internasional. Sedikit perbedaan terkait kebijakan di era Jokowi dengan era presiden sebelumnya bahwa adanya politik bebas-aktif yang mengedepankan jalur investasi sebagai cara untuk memajukan perekonomian Indonesia. Singkatnya, bisa dibilang bahwa kebijakan luar negeri Jokowi merupakan kolaborasi antara kebijakan era Soekarno dan Soeharto.

Pada era Jokowi, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi telah menetapkan “Prioritas 4+1” sebagai arah politik luar negeri dan diplomasi Indonesia. Adapun prioritas tersebut terdiri: 1) Diplomasi Ekonomi; 2) Diplomasi Perlindungan; 3) Diplomasi Kedaulatan dan Kebangsaan; 4) Peran Indonesia di Kawasan dan Global; dan 5) Penguatan Infrastruktur Diplomasi. Dalam prioritas tersebut, ekonomi menjadi agenda utama yang dipilih oleh Indonesia.

Jokowi memang datang dengan perawakan dan rekam jejak pemimpin yang tidak begitu didominasi sebagai tokoh kuat dari partai politik. Hal ini kemudian ternyata turut memengaruhi sentuhan kepemimpinan yang beliau bawakan. Maka dari itu, aspek ekonomi sebagai prioritas utama dinilai sesuai dengan karakter kepemimpinan nasional yang langsung menyentuh dan melayani kebutuhan rakyat sebagaimana kriteria pemimpin low-profile menurut Jokowi. Selain itu, alasan mengapa aspek ekonomi diutamakan dalam prioritas ini adalah implementasi dari “diplomasi membumi” milik Jokowi.

Diplomasi Membumi Jokowi

Diplomasi membumi merupakan salah satu narasi idealistik dari cita-cita diplomat yang dimanifestasikan dalam bentuk arahan Jokowi. Beliau ingin memberikan branding bahwa hubungan luar negeri bukan sesuatu hal yang eksklusif yang hanya dapat diselesaikan dan dibicarakan orang para kaum elitis, tetapi dapat diperuntukan bagi orang biasa. Jokowi juga ingin mengaplikasikan gaya kepemimpinan suatu partai politik Indonesia yang sering melakukan blusukan. Beliau berpesan kepada para diplomat agar mereka bisa terkoneksi langsung dengan kebutuhan rakyat.

Adapun tataran diplomasi membumi yang pertama adalah tataran orientasi politik luar negeri yang berfokus pada rakyat, seperti menarik investor asing, industri berbasis desa, dan promosi produk dalam negeri ke kancah internasional. Selanjutnya adalah tataran isu diplomasi dalam menerapkan hubungan bilateral untuk kepentingan perlindungan warga dan multilateral dalam hal memanfaatkan dana bantuan lembaga internasional untuk pembangunan ekonomi Indonesia. Ini menunjukkan bahwa ekonomi menjadi aspek penting dalam diplomasi membumi Jokowi.

UU Cipta Kerja Sebagai Implementasi Diplomasi Membumi

Sebagai bentuk implementasi aspek ekonomi dari diplomasi membumi tersebut, Jokowi bersama DPR RI sepakat untuk mewujudkannya dalam suatu instrumen hukum, yaitu Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Omnibus Law) yang mengedepankan akses investor asing ke Indonesia. Undang-undang ini disebut-sebut sebagai instrumen “ampuh” bagi kebijakan luar negeri Jokowi yang berprinsip pada inward-looking, dan tujuan utama dari prinsip ini adalah fokus pada urusan dalam negeri dengan mengedepankan dukungan dan akses dari dunia internasional.

Konsep ini secara khusus dirasa dapat mendukung visi-misi Jokowi, yaitu “terwujudnya Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian berlandaskan gotong royong.” Oleh karena itu, Jokowi akhirnya mengesahkan Omnibus Law agar dapat diberlakukan sebagai sarana dan regulasi untuk menciptakan lapangan kerja dengan mendatangkan investor yang nantinya dapat berkontribusi dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia. 

Jokowi menilai bahwa Indonesia memiliki banyak sekali overlapping regulation yang bisa menghambat sebuah transformasi besar penciptaan lapangan kerja. Ia merencanakan sebuah terobosan yang menyatukan sekitar 80 undang-undang multisektor sehingga dapat memangkas pasal-pasal yang tidak efektif. Adapun tujuan regulasi ini adalah untuk memperbaiki iklim berusaha dan meningkatkan indeks regulasi Indonesia yang rendah, serta mengatasi hyper regulation yang tidak efisien, tidak sinkron, dan overlapping regulation.

Problematika ini kemudian menjadikan perspektif Omnibus Law sebagai sebuah jalan keluar, yaitu dapat memperluas politik global Indonesia sehingga dapat memperkuat posisi strategis Indonesia sebagai negara berkembang. Tidak hanya itu, DPR RI juga melihat bahwa Omnibus Law memiliki potensi bagi Indonesia untuk menghadapi resesi ekonomi akibat Covid-19 yang muncul di tahun 2020 silam sehingga Jokowi bersama DPR RI semakin optimis untuk mengejar urgensi pemberlakuan secara nyata Omnibus Law.

Tidak hanya itu, situasi ekonomi nasional dan global yang sangat tidak pasti juga menuntut ekonomi yang lebih kencang dan stabil dalam hal investasi dan pariwisata. Alasan ini mendapat dukungan dari Ina Hagniningtyas, selaku Staf Ahli Bidang Diplomasi Ekonomi Kementerian Luar Negeri, yang menyatakan bahwa Indonesia perlu mengagendakan isu tradisional melalui pendekatan ekonomi, seperti UMKM, e-commerce, perdagangan dan ekonomi kreatif agar dapat senantiasa beradaptasi dengan dinamika politik internasional.

Selain itu, Omnibus Law juga dinilai sebagai strategi kebijakan insentif fiskal dan nonfiskal bagi Indonesia mengenai ASEAN Trade in Service Agreement untuk memperluas kebijakan investasi asing dalam hal liberalisasi perdagangan Indonesia. Terkait alasan situasi instabilitas ekonomi nasional tersebut, semakin kuat urgensi Jokowi untuk mengesahkan aturan tersebut sebagai instrumen hukum kemudahan berinvestasi di Indonesia. 

Kontradiksi Idealisme UU Cipta Kerja dengan Praktik di Lapangan

Seiring dengan pemberlakuan kebijakan tersebut, Omnibus Law mendapat banyak tantangan di tengah masyarakat. UU tersebut mendapat protes dari kaum buruh karena adanya ancaman pekerja kontrak yang dapat diberhentikan kapan saja, tanpa ada keamanan dan jaminan pekerjaan yang jelas. Hal itu berkaitan dengan tidak jelasnya batas waktu dan jenis pekerjaan sistem kontrak yang dapat dikontrak seumur hidup dan penghapusan upah minimum sektoral provinsi dan kabupaten, serta adanya persyaratan khusus dalam penerapan upah minimum di kabupaten/kota yang nilainya jauh lebih rendah. Potensi tersebut menyebabkan sulitnya Omnibus Law diterima oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Akibatnya, banyak investasi asing yang terhambat karena adanya demo massa yang menolak Omnibus Law tersebut.

Sisi lain yang menjadi tantangan Jokowi dalam melakukan upaya kemudahan investasi lewat Omnibus Law adalah absennya pasal terkait penyusunan AMDAL dan hilangnya hak untuk menggugat perusahaan investor asing tersebut. Kemudahan iklim berinvestasi di Indonesia sebagai agenda diplomasi ekonomi Jokowi ternyata tidak diimbangi dengan pengelolaan lingkungan dan skema pertanggungjawaban yang tepat. Omnibus Law nyatanya mempersempit keterlibatan masyarakat dalam penyusunan AMDAL. Selain itu, kemudahan investasi asing juga berdampak pada ancaman kalahnya kualitas SDM Indonesia dengan SDM asing. Banyaknya dan mudahnya penyerapan tenaga kerja asing di Indonesia telah menyebabkan angka pengangguran yang tinggi.

Implikasi yang muncul tersebut tentunya tidak selaras dengan cita-cita Indonesia dan idealisme tujuan Omnibus Law itu sendiri. Memberikan “karpet merah” kepada investor asing tidak semata-mata dapat diterima dengan mudah oleh masyarakat dari berbagai kalangan. Hal ini karena banyak lapisan masyarakat Indonesia yang merasa dirugikan oleh pemberlakuan kebijakan tersebut, bahkan mengancam pekerjaan mereka.

Jika dilihat dari perspektif hukum, seharusnya pemerintah tidak boleh mengeluarkan kebijakan yang ternyata merugikan dan menyengsarakan rakyat karena tidak sejalan dengan tujuan hukum itu sendiri. Diplomasi ekonomi sebagai perwujudan diplomasi membumi Jokowi adalah strategi bagus untuk memunculkan jiwa “merakyat” bagi para diplomat. Hanya saja, aturan dan kebijakan yang nyata belum terfasilitasi dengan baik untuk semua kalangan masyarakat. 

Amaraduhita Laksmi Prabhaswari merupakan mahasiswa di Universitas Indonesia. Dapat ditemukan di Instagram dengan nama pengguna @amaraduhita

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *