Menilik Dinamika Visi Internasionalisme Woodrow Wilson

0

Potret Presiden AS Woodrow Wilson (Foto: Woodrow Wilson Presidential Library Archives)

Sejarah Amerika Serikat adalah sejarah bangsa yang dimulai sejak tahun 1776 dan perlahan meniti anak tangga untuk mencapai superioritas serta supremasi global. Salah satu topik yang paling menarik dari Amerika Serikat adalah perihal kebijakan luar negerinya (foreign policy). Terlebih setelah muncul sebagai kekuatan adidaya dunia yang secara perlahan tapi pasti menggeser posisi Inggris di awal abad ke-20, kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat menjadi sangat diperhitungkan karena pengaruhnya terhadap jalannya politik dunia. 

Kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat dalam Perang Dunia I dapat dikatakan sebagai kebijakan paling berpengaruh di awal Abad ke-20 apalagi jika dikaitkan dengan situasi dilematis selanjutnya. Presiden Woodrow Wilson yang mendeklarasikan turut sertanya Amerika Serikat dalam Perang Dunia I sejak 1917, berhasil mendobrak kebijakan isolasionisme yang didasarkan pada doktrin politik luar negeri George Washington yang termaktub dalam pidato perpisahannya. Wilson memiliki cita-cita liberalisme universal yang termanifestasi dalam 14 pasal yang diajukannya dalam Konferensi Versailles dan menjadi dasar pemikiran dari terbentuknya Liga Bangsa-Bangsa (League of Nations). Sayangnya, cita-cita liberalisme idealis Wilson menghadapi penjegalan yang kuat justru dari dalam negerinya sendiri yang kemudian membawa Amerika pada era isolasionisme. Tulisan ini akan mengulas bagaimana cita-cita liberalis-idealis Woodrow Wilson yang tak terwujud karena terhalang oleh politik isolasionisme yang menguat di Amerika Serikat. 

Politik Luar Negeri Amerika

Di awal eksistensinya sebagai negara berdaulat, kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat cenderung isolasionistis. Hal ini tercermin dalam pidato perpisahan Presiden George Washington pada 1797 yang menekankan pemisahan Amerika Serikat dari dinamika politik Eropa. Presiden Washington menegaskan bahwasanya, politik Amerika Serikat adalah usaha untuk menjauhi persekutuan permanen dengan bagian dunia luar manapun. Hampir senada dengan pidato perpisahan Washington, pada Desember 1823, Presiden James Monroe atas saran Menteri Luar Negeri John Quincy Adams, menyampaikan pidatonya di depan Kongres yang menghasilkan apa yang kita kenal sebagai Doktrin Monroe. Doktrin Monroe merupakan garis kebijakan luar negeri Amerika yang berusaha untuk mencegah intervensi Eropa di kawasan Amerika, dan mencegah keterlibatan AS dalam orkestrasi dan dinamika politik Eropa daratan. 

Dalam buku “Dokumen Pilihan Politik Luar Negeri Amerika Serikat” hasil suntingan William L. Bradley dan Mochtar Lubis, sampai akhir Abad ke-19, ada dua tujuan utama kebijakan politik luar negeri AS. Pertama adalah menghindari persekutuan yang menjerat dengan Eropa dan yang kedua menjadi hegemoni di dunia Barat. Kedua tujuan ini relatif tercapai. Mulai dari pengakuan hak kemerdekaan negara-negara Amerika Latin pasca-revolusi 1822 oleh Presiden Monroe hingga munculnya gagasan pembentukan Pan American Union dari Menteri Luar Negeri James G. Blaine, Amerika Serikat berusaha melegitimasi supremasinya di kawasan bumi bagian Barat (west hemisphere). 

Memasuki Abad ke-20, peran AS di kancah internasional mulai meningkat secara signifikan. Selain karena bobot perekonomiannya yang melonjak pesat dan perlahan menggeser posisi Inggris sebagai adidaya global, kebijakan luar negerinya pun cenderung aktif bahkan ekspansif. Hal tersebut dimulai dari kemenangan AS dalam Perang Amerika-Spanyol yang membuat AS memperoleh kekuasaan di Kuba, Puerto Rico, dan Filipina dalam perjanjian 10 Desember 1898. Kemudian pada September 1899, Menlu John Hay mencetuskan kebijakan pintu terbuka (Open Door Policy) terhadap Tiongkok. Puncaknya, di dekade pertama Abad ke-20 adalah keberhasilan Presiden Theodore Roosevelt yang menjadi penengah dalam konflik Rusia-Jepang tahun 1906 dan membuat sang presiden mendapatkan hadiah nobel perdamaian. 

Pemilu 1912 yang menandai akhir kekuasaan kaum republikan di Gedung Putih dengan kemenangan seorang tokoh liberal progresif dari Partai Demokrat, yakni Thomas Woodrow Wilson. Masa kepresidenan Wilson menandai era baru yang bersejarah bagi Amerika Serikat karena berbagai kebijakan progresifnya baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Pada 1917, Presiden Wilson melibatkan AS ke dalam perang yang sedang berkecamuk di Eropa yang telah berlangsung sejak 1914. Kendati tidak lama terlibat dalam konflik yang dikenal dengan Perang Dunia I, Amerika turut serta menjadi ‘pemukul gong’ dalam mengakhiri pertikaian sengit di daratan Eropa tersebut. Peran Amerika diakui secara terhormat dengan dilibatkannya Wilson dalam Konferensi Perdamaian Versailles yang diinisiasi pemimpin pemenang perang yang dikenal sebagai Big Four, yakni Perdana Menteri David Lloyd George dari Inggris, Perdana Menteri Georges Clemenceau dari Prancis, Perdana Menteri Vittorio Orlando dari Italia, dan Wilson sendiri selaku presiden Amerika Serikat. 

Internasionalisme vs Isosalisionisme

Deklarasi Perang Woodrow Wilson membawa Amerika terlibat dalam dinamika politik Eropa, serta menjadi pemain utama dalam politik dunia. Perang destruktif yang dimulai sejak 1914 di Eropa, membawa dunia pada suatu pesimisme dan ketakutan mendalam akan konflik yang bisa saja terulang, bahkan dengan ancaman yang jauh lebih berbahaya. Wilson membaca situasi ini dengan sangat baik. Perang destruktif di Eropa yang meluas menjadi perang dunia, membuat presiden Amerika Serikat tersebut menggagas suatu tatanan dan arsitektur politik dunia, yang bahkan belum pernah ada sebelumnya, yakni pembentukan lembaga internasional dengan asas dasar liberalisme.

Lembaga internasional tersebut tiada lain adalah Liga Bangsa-Bangsa atau League of Nations. Gagasan progresif mengenai pendirian LBB ini tertuang dalam salah satu pasal Empat Belas Pasal Woodrow Wilson, tepatnya pasal ke-14. Empat Belas Pasal Wilson ini dipaparkan dalam pidatonya di Kongres pada 8 Januari 1918. Hal ini menjadi suatu terobosan progresif yang berusaha untuk merekonstruksi dunia dalam suatu paradigma berpikir yang lebih liberal dengan balutan idealisme yang mengagumkan. 

Wilson berusaha mendobrak paradigma realis dalam tatanan politik dunia yang sangat kental mewarnai relasi antar-bangsa di Eropa. Eropa sangat terkenal dengan tatanan politik keseimbangan (balance of power) atau ekuilibrium Eropa. Kendati sempat terguncang karena ambisi ekspansionis Kaisar Napoleon Bonaparte pada permulaan abad ke-19, ekuilibrium Eropa bisa direstorasi terutama pasca lengsernya Napoleon dan diselenggarakannya Kongres Wina 1815. Politik keseimbangan ini berjalan beberapa dekade, yang diperkuat oleh keluhuran taktik realis dari Kanselir Otto von Bismarck hingga meletusnya Perang Dunia I. 

Perang telah membawa negara-negara Eropa pada suatu defisit kekuatan dan kekuasaan. Sedangkan Amerika muncul sebagai salah satu kekuatan dunia yang sukar diabaikan. Wilson, sebagai seorang liberal sejati, berusaha menata ulang dunia dengan paradigma yang lebih idealis, yakni membangun supremasi liberalisme dan demokrasi di seluruh dunia. Dalam karya magnum opus-nya yang berjudul Politics Among Nations, Hans J. Morgenthau mengatakan bahwa Wilson adalah juru bicara golongan liberal yang paling fasih dan berpengaruh yang memimpikan tatanan dunia yang aman bagi demokrasi. 

Gagasan pembentukan LBB ini banyak didukung oleh pihak-pihak yang mendambakan perdamaian universal pasca-perang, kendati mengalami serangan skeptisisme dari para penganut realisme. Salah satu pendukung terkuat dari LBB ini adalah ketua Partai Liberal Inggris, Lord James Bryce. Sayangnya, betapapun idealis dan progresifnya ide Wilson ini, perlawanan terhadap gagasannya justru menguat di Amerika Serikat, terutama di kongres.

Perdebatan di kongres dimulai pada bulan Mei 1919. Gagasan bergabungnya Amerika dengan Liga Bangsa-Bangsa menghadapi oposisi sengit terutama dari partai oposan Presiden Wilson, yakni Partai Republik. Tokoh utama yang vokal menentang bergabungnya AS dalam keanggotaan LBB adalah Henry Cabot Lodge, sebagai pemimpin mayoritas senat (senate majority leader) dari Partai Republik dan ketua komisi hubungan luar negeri senat. Partai Republik yang menjadi oposan tangguh bagi rencana Wilson untuk melibatkan AS dalam Liga Bangsa-Bangsa menghadapi perlawanan dari pendukung rencana presiden, yang mayoritas dari Partai Demokrat. Para pendukung terlibatnya AS dalam keanggotaan LBB dikenal dengan kelompok internasionalis. Terlihatlah bahwa pertentangan di kongres adalah pertentangan sengit antara kaum internasionalis yang cenderung idealis dan liberal, serta kelompok isolasionis yang sekuat tenaga menjegal keterlibatan Amerika Serikat dalam Liga Bangsa-Bangsa. 

Dalam menghadapi oposisi yang menguat di Kongres, Presiden Wilson enggan melakukan kompromi politis. Dirinya lebih memilih untuk mengkampanyekan rencana keanggotaan AS dalam LBB dengan melakukan pidato di berbagai kota. Terhitung hingga saat ini, Wilson telah melakukan pidato sebanyak 44 kali di 22 kota di AS dalam upayanya mempersuasi rakyat AS untuk mendukung keanggotaan AS di LBB. Namun, pada 25 September 1919, Presiden Wilson terserang stroke saat berpidato di Pueblo, Colorado. Upaya habis-habisan Wilson untuk membawa AS menjadi anggota LBB tidak membuahkan hasil. Pada Mei 1920, senat gagal meratifikasi Perjanjian Versailles dan Kovenan PBB. Cita-cita internasionalisme Wilsonian luluh lantak, dan Amerika memasuki era isolasionisme dengan kemenangan telah Presiden Warren G. Harding pada 1920.

Adrian Aulia Rahman merupakan mahasiswa Universitas Padjadjaran. Adrian dapat ditemukan di Instagram dengan nama pengguna @adrianauliar

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *