Tekanan Politik Domestik AS dan Favoritisme terhadap Israel

0

Joe Biden berbicara dalam konferensi AIPAC di Washington pada 2013. Foto: Susan Walsh / AP Photo

Sejak lebih dari 3 bulan yang lalu, konflik Israel-Palestina kembali mencapai eskalasi terbaru ketika ribuan roket kiriman Hamas menghujani langit Israel pada Sabtu (7/10) waktu setempat. Bersamaan serangan tersebut, Hamas berhasil meruntuhkan blokade perbatasan Israel-Gaza dan mengirimkan pasukan militannya menyusupi teritori Israel. Usaha tersebut berhasil mengantarkan Hamas menguasai 8 pangkalan militer dan melancarkan serangannya kepada sejumlah warga sipil di Israel.

Serangan paling keras Hamas sejak 50 tahun terakhir diperkirakan telah menewaskan lebih dari 1,200 warga sipil Israel dan 230 orang lain mengalami penyanderaan. Momentum paling mematikan sepanjang 75 tahun sejarah Israel ini mendorong pemerintahan Netanyahu mendeklarasikan perang melawan Hamas berselang 4 jam setelah serangan Hamas dilancarkan. Pengepungan total terhadap Gaza juga diberlakukan otoritas Israel dengan memutus aliran listrik dan memblokade akses masuknya makanan dan bahan bakar bagi 2,3 juta warga Palestina di Jalur Gaza.

Serangan balasan brutal Israel terhadap Gaza dinilai tidak sejalan dengan aturan Hukum Humaniter Internasional karena turut menyasar warga dan objek sipil (indiscriminate bombardment) yang seharusnya mendapatkan perlindungan saat perang. Dalam kurun waktu 100 hari sejak serangan 7 Oktober 2023, Israel diperkirakan telah membunuh lebih dari 23,000 warga Palestina yang 40% di antaranya merupakan wanita dan anak-anak. Sejumlah fasilitas kesehatan terpenting di Gaza, seperti rumah sakit Indonesia; Al-Shifa dan Al-Quds, juga harus terpaksa menghentikan kegiatan operasionalnya akibat turut menjadi target serangan militer tentara Israel. Pengepungan terhadap rumah sakit tidak hanya berdampak bagi ribuan pasien yang menjalani perawatan, tetapi juga sekitar 122.000 pengungsi Palestina lainnya yang berlindung di fasilitas tersebut selama Israel melancarkan serangannya (Aljazeera, 10/11).

Krisis kemanusiaan di Gaza memicu gelombang protes masyarakat sipil di berbagai belahan dunia, tak terkecuali di sejumlah kota besar di AS. Aksi demonstrasi yang terjadi di berbagai titik, seperti di area Gedung Putih hingga Patung Liberty, dan dihadiri oleh berbagai kelompok masyarakat lintas identitas yang mendesak berakhirnya serangan genosida Israel terhadap warga sipil Palestina dan menuntut tercapainya gencatan senjata di Gaza. Namun, kecaman tersebut nyatanya belum cukup mampu mengubah perspektif dan arah kebijakan Pemerintahan AS terhadap agresi militer Israel yang terus memakan korban tewas di Palestina. Sebagai negara Barat yang mendorong ikhtiar normalisasi Israel di Timur Tengah, AS sejak awal menegaskan bahwa pihaknya akan terus mendukung Israel dan memastikan agar negara tersebut mendapatkan segala keperluan yang dibutuhkan untuk melindungi WN-nya, membela diri, dan meminta pertanggungjawaban Hamas atas serangan yang dilancarkannya. 

Konsistensi dukungan AS terhadap Israel

Keberpihakan AS terhadap Israel memiliki rekam jejak sejarah panjang. Congressional Research Service mencatat bahwa Israel merupakan negara penerima kumulatif US Foreign Aid terbesar sejak Perang Dunia II. Terhitung sejak 1946-2023, jumlah bantuan yang diterima Israel mencapai $270 miliar, yang sebagian besarnya berupa bantuan militer. Sejak 1951-2023, AS merupakan penyumbang bantuan militer terbesar bagi Israel. Sebesar 71% total bantuan militer yang diterima Israel (dari berbagai sumber) berasal dari sumbangan yang digelontorkan AS. Pasca serangan kemarin, DPR AS bahkan mengabulkan permohonan Biden untuk meloloskan RUU dana bantuan militer tambahan senilai $14.3 miliar kepada Israel yang sebagian besar diantaranya akan digunakan untuk memperkuat persenjataan. Secara ajeg, komitmen dukungan AS terhadap Israel juga dapat diamati melalui keputusan AS yang tak segan mengeluarkan hak vetonya pada 8 Desember lalu, semata-mata untuk membatalkan resolusi yang telah disepakati 13 negara anggota DK PBB dalam rangka mengupayakan tercapainya gencatan senjata di Gaza. Terlebih, AS juga dikabarkan kembali menyatakan penolakannya terhadap resolusi gencatan senjata yang terakhir kali diupayakan Majelis Umum PBB pada 12 Desember lalu, ketika 153 negara lainnya mendukung resolusi tersebut.

Apa yang sebenarnya yang menyebabkan dukungan AS terhadap Israel menjadi begitu tidak tergoyahkan? Louise Fawcett dalam International Relation of Middle East memaparkan bahwa kebijakan luar negeri AS terhadap Timur Tengah, khususnya menyangkut sikap AS dalam konflik Israel-Palestina, memiliki keterkaitan yang erat dengan politik dalam negeri AS. Keberpihakan AS terhadap Israel tidak cukup apabila hanya dimaknai sebagai kalkulasi strategis kebijakan politik luar negerinya. Lebih dari itu, hubungan mesra di antara Israel dan AS merupakan konsekuensi yang dilahirkan oleh interaksi para politisi AS untuk meraih popularitas di dalam kontestasi politik domestik AS itu sendiri. 

Simpul Zionis dalam politik domestik AS

Sebagaimana diutarakan Fawcett, perumusan kebijakan politik AS terhadap Timur Tengah, termasuk perihal konflik Israel-Palestina, melibatkan interaksi di antara berbagai struktur kunci pembuat kebijakan di AS. Pejabat Gedung Putih, seperti presiden, merupakan aktor utama perumus kebijakan luar negeri AS di Timur Tengah. Preferensi pejabat Gedung Putih dalam formulasi kebijakan politik sangat dipengaruhi oleh kesadaran mereka bahwa segala keputusan yang berkenaan dengan Timur Tengah akan memberikan dampak positif/negatif yang signifikan terhadap karier politik mereka di masa depan mengingat adanya pengaruh kekuatan pro-Israel terhadap proses pemilu di AS. Keputusan Kongres juga begitu ditentukan oleh kekuatan lobi pro-Israel yang mengantarkan mereka pada kekuasaan tersebut. Sehingga tak ayal, apabila Kongres bisa secara rutin menganggarkan bantuan keuangan besar-besaran kepada Israel dan acapkali meloloskan resolusi yang bahkan dianggap Gedung Putih sangat pro-Israel. Kongres juga masih seringkali menyetujui saran kebijakan yang disebarluaskan oleh lembaga penelitian pro-Israel mengenai berbagai isu Timur Tengah lainnya.

Interaksi di antara berbagai struktur kunci perumus kebijakan politik AS tidak akan pernah bisa luput dari jangkauan dan pengaruh kelompok masyarakat pro-Israel yang sebagian besar merupakan Zionis. Kelompok Zionis diketahui selalu berkemampuan dalam mempertahankan eksistensinya untuk menduduki dan menguasai simpul-simpul kekuasaan politik strategis di dalam pemerintahan AS. Mereka umumnya mengisi pos-pos kekuasaan strategis sebagai penasihat yang bertugas memberikan masukan-masukan kepada pejabat pemerintahan AS di dalam berbagai proses perumusan kebijakan. Berkat andil dan pengaruh besar kelompok Zionis di dalam politik domestik AS, kebijakan luar negeri AS di Timur Tengah, khususnya yang berhubungan dengan konflik Israel-Palestina, dapat dipastikan akan selalu memiliki kecenderungan yang pro terhadap kepentingan Israel.

Pengaruh lobi AIPAC

Dukungan kuat AS terhadap Israel juga dipengaruhi oleh koneksi kelompok kepentingan Israel di kancah perpolitikan domestik AS. Kelompok tersebut memiliki pengaruh besar terhadap perumusan kebijakan luar negeri AS yang pro terhadap kepentingan Israel. Salah satu contoh yang paling berpengaruh adalah American-Israel Public Affairs Committee (AIPAC). Melalui kedudukannya sebagai Komite Aksi Politik di AS, AIPAC memiliki reputasi baik dalam menyalurkan dukungan berupa uang maupun suara di dalam kampanye-kampanye pemilu di AS. 

AIPAC bahkan mengklaim 98% caleg Senat dan Kongres yang disokongnya (AIPAC-backed candidates) berhasil memenangkan kontestasi pemilu sela tahun lalu. Hal tersebut mengindikasikan bahwa sebagian besar pejabat publik AS yang kini tengah menjabat sebagai anggota Kongres dan Senat memiliki afiliasi dengan AIPAC. Oleh karenanya, tidak mengherankan apabila saat ini AS lebih memilih untuk mentransfer bom presisi senilai $320 juta kepada Israel dibandingkan menyetujui resolusi gencatan senjata yang diupayakan DK PBB. Dengan kata lain, keberpihakan AS terhadap Israel merupakan konsekuensi logis yang ditimbulkan dari adanya pengaruh kuat koneksi lobi Israel terhadap dinamika perpolitikan domestik di AS.

Kuatnya pengaruh koneksi lobi Israel di dalam politik domestik AS juga dapat diamati melalui tindakan intimidasi AIPAC kepada sejumlah politisi AS yang bersikap kritis terhadap kebijakan pro-Israel. Tuduhan anti-semitisme dan anti-Yahudi merupakan senjata andalan yang seringkali dilayangkan AIPAC untuk membungkam suara-suara kritis terhadap Israel. Legislator Demokrat Progresif, seperti Ilhan Omar dan Rashida Tlaib, merupakan contoh politisi yang mendapatkan stigmatisasi anti-Yahudi dari AIPAC karena sikapnya yang lantang menyuarakan kebebasan Palestina dan menolak RUU bantuan dana militer sebesar $14.3 miliar kepada Israel.

Ceruk suara dalam Pemilu AS

Sebagaimana pemaparan Fawcett, orang Yahudi-Amerika yang diperkirakan mencapai 5.3 juta orang merupakan 2% dari populasi penduduk dewasa di AS yang tersebar di beberapa negara bagian kunci dan aktif secara politik, baik dalam hal kontribusi kampanye maupun tingkat partisipasinya dalam memilih. Dukungan terhadap kebijakan luar negeri pro-Israel juga tidak hanya berasal dari orang Yahudi, tetapi juga berasal dari sebagian besar umat Kristen di AS, khususnya kalangan Kristen Evangelis dan Fundamentalis yang kini pengaruhnya semakin besar. Penjelasan Fawcett kemudian dipertegas oleh temuan penelitian Pew Research Institute yang mengemukakan bahwa 54% orang Yahudi-Amerika menganggap dukungan AS terhadap Israel merupakan langkah yang tepat dengan pandangan bahwa kepedulian terhadap Israel merupakan hal yang “penting” bagi mereka sebagai seorang Yahudi. Karenanya, keberpihakan terhadap kepentingan Israel menjadi semacam strategi politik yang diupayakan para pejabat Washington guna mengamankan kekuasaan mereka di dalam negeri mengingat konstituen utama dalam kancah perpolitikan AS adalah orang-orang yang memiliki keterikatan emosional dan dukungan kuat terhadap Israel, seperti sebagian masyarakat yang memeluk agama Yahudi dan Kristen Evangelis ataupun Fundamentalis.

Dengan mempertimbangkan besarnya pengaruh koneksi lobi Israel dalam politik domestik AS, dukungan terhadap Israel dapat dimaknai sebagai salah satu strategi politik paling logis di mata kebanyakan pejabat Washington mengingat keberpihakan tersebut akan berdampak pada perubahan dukungan masyarakat terhadap diri mereka sebagai politisi. Seperti argumentasi teori politik pilihan rasional, politisi merupakan makhluk politik yang dengannya selalu melekat berbagai kepentingan dan arah tindakannya bergerak mengikuti apa yang menjadi kepentingan mereka, termasuk di antaranya kepentingan untuk mendapatkan & mempertahankan kekuasaan.

Keberpihakan AS terhadap Israel memberikan gambaran bagaimana watak kebanyakan politisi yang sesungguhnya. Sebagai makhluk rasional, politisi tak akan segan untuk mengedepankan pemenuhan kepentingan di atas nilai-nilai kemanusiaan. Bagi politisi AS, tersandera pengaruh AIPAC dan tidak memiliki kebebasan untuk menentukan sendiri postur kebijakan politik luar negeri negaranya bukanlah persoalan besar yang layak dikhawatirkan selama hal tersebut dapat memenuhi kepentingan mereka untuk mempertahankan posisi dan kekuasaan di dalam pemerintahan meskipun kematian warga sipil akibat serangan militer Israel di Palestina terus berjatuhan.

Putri Ramadhana adalah mahasiswi Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Staf Magang Peneliti Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia. Putri dapat dikontak melalui Instagram @cravinghotteok.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *