Menuju Dunia dengan Satu Charger: Sebuah Agenda Normatif Uni Eropa

0

Ilustrasi kabel Type-C. Foto: Amelia Holowaty Krales / The Verge

Perkembangan di era digital ini telah mendorong semua orang untuk memiliki gawai miliknya masing-masing yang terpersonalisasi. Gawai yang dimaksud disini mencakup PC, laptop, smartphone, smart TV, Play Station, hingga berbagai piranti elektronik lainnya seperti wireless earphone atau speaker.

Sebuah penelitian menemukan bahwa per Oktober 2021, rata-rata rumah tangga di Amerika Serikat memiliki 25 gawai per rumah, tumbuh lebih dari dua kali lipat sejak tahun 2019. Tren serupa juga terjadi di berbagai belahan dunia lainnya. Tren ini peningkatan kepemilikan gawai ini memang merupakan tren yang terjadi selama dua dekade kebelakang, tetapi menjadi semakin meningkat dengan adanya pandemi. Di masa pandemi, sekitar 38% orang menambah gawai yang dimilikinya (Deloitte, 2021).

Dengan berbagai bentuk dan fungsinya, ternyata semua gawai tersebut memiliki suatu kesamaan, yakni mengandalkan baterai sebagai sumber dayanya. Baterai gawai yang digunakan, ketika habis, tentu membutuhkan pengisian ulang daya tergantung dengan intensitas pemakaian dan kapasitas baterai. Selain bentuk dan kapasitasnya yang beragam, gawai juga memiliki berbagai jenis charger, sehingga kita harus memiliki satu charger untuk setiap gawai kita.

Namun, hal tersebut mulai berubah dimulai sekitar lima tahun yang lalu, ketika beberapa smartphone mulai beralih dari colokan microUSB (atau USB micro-B) ke USB type-C. Tren USB type-C ini kemudian diadopsi juga oleh tablet dan bahkan belakangan ini laptop, selain pemakainnya yang telah menjadi norma informal dalam ranah smartphone sejak sekitar 2019. Tentu, USB type-C menjadi standar industri sekarang karena kemampuannya yang unggul dan dianggap dapat menjadi standar masa depan. Akan tetapi, sebenarnya terdapat banyak dinamika dibalik layar yang kemudian mendorong USB type-C ke popularitasnya yang sekarang.

Pembuatan Norma Common Charger

Di era pra-smartphone, masing-masing handphone memiliki charger-nya sendiri. Mulai dari Nokia, Sony Ericsson, hingga Esia Hidayah, semua memiliki charger yang tidak kompatibel satu sama lain. Bahkan, tidak jarang kita temukan terdapat perbedaan jenis charger dalam satu merk handphone.

Keberagaman yang sangat tinggi dari jenis charger yang ada di dunia selama ini menjadi hal yang merepotkan, baik bagi produsen maupun konsumen. Bagi produsen, sulit untuk menentukan tipe colokan yang ideal untuk digunakan, baik secara teknologi maupun kemudahan penggunaan, ketika terdapat begitu banyak jenis charger di pasar. Bagi konsumen yang kini memiliki semakin banyak gawai, tentu memiliki banyak charger untuk semua gawainya adalah hal yang merepotkan. Akan lebih baik untuk memiliki suatu charger yang dapat digunakan di banyak gawai atau interoperable.

Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa di awal era smartphone cenderung terjadi konvergensi charger ke jenis microUSB. Dari Samsung hingga Huawei, kita dapat menemukan colokanmicroUSByang sama. Hal ini tentu tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan atas koordinasi diantara aktor-aktor bisnis gawai. Terdapat misalnya organisasi interasional seperti USB Implementers Forum (USB-IF), yang terdiri dari semua produsen besar gawai dengan fokus pada sertifikasi dan promosi dari teknologi USB dan perkembangannya. Sebagai contoh, USB type-C pertama kali disertifikasi oleh USB-IF dengan spesifikasi 1.0 pada 2014 (USB-IF, n.d.). Diantaranya melalui forum inilah, dan dari koordinasi informal lainnya, para produsen smartphone memutuskan untuk menggunakan charger USB type-C.

Meski begitu, tidak semua produsen gawai kemudian melakukannya, seperti iPhone, iPad, tablet, dan berbagai aksesoris smartphone lainnya. Hal tersebut disebabkan pada akhirnya, keputusan untuk menggunakan jenis charger yang mana untuk suatu gawai tetap berada di tangan produsen tersebut.  Hasil akhir ini tidaklah mengherankan, mengingat koordinasi antara pihak privat yang bersifat tidak mengikat, yang masing-masing aktornya mengedepankan kepentingannya sendiri. Disinilah Uni Eropa (UE) masuk sebagai salah satu aktor yang membentuk norma dalam pengisian dayagawai.

Uni Eropa, Normative Power, dan Urgensi Common Charger

UE selama ini menjadi satu dari sangat sedikit aktor internasional yang memiliki kemampuan untuk membentuk norma, baik di level Eropa maupun internasional. Pembentukan norma ini dilakukan oleh UE melalui berbagai cara, baik secara multilateral dengan membentuk perjanjian internasional; bilateral dengan membentuk perjanjian antarnegara; dan domestik dengan membentuk suatu peraturan baru di level Eropa, tetapi memiliki implikasi global (Adonis, 2018; Bradford, 2020).

Pembentukan norma ini terutama terlihat dalam bidang-bidang yang selama ini kurang atau belum disentuh oleh peraturan, seperti lingkungan dan iklim, perlindungan data, termasuk permasalahan charger dan gawai secara lebih luas. Kemampuan untuk membentuk suatu “kenormalan” yang baru inilah yang kemudian disebut sebagai normative power dari Uni Eropa (Manners, 2002).

            Sebelumnya, perkembangan digital membawa handphone menjadi mainstream di negara-negara Eropa cukup cepat. Bersama perkembangan tersebut, ditemukan masalah berupa 30 jenis charger yang ada di pasar pada 2009, sebuah jumlah yang sangat banyak dan membingungkan. Untuk menghadapi permasalahan charger tersebut, UE telah berinisiatif membuat MoU dengan para produsen handphone untuk melakukan harmonisasi charger pada tahun 2009. MoU yang kadaluarsa di 2012 tersebut kemudian sempat diperbaru dengan LoI dari para produsen pada 2013 dan 2014 (European Commission, n.d.).

Pasca beberapa tahun berjalannya MoU dan LoI tersebut, dilakukan evaluasi terhadap proses harmonisasi charger. Atas rekomendasi evaluasi tersebut, kemudian disusun Radio Equipment Directive (RED) yang disahkan pada 2014. RED menjadi peraturan acuan utama bagi semua perangkat yang menggunakan gelombang radio, mencakup semua gawai yang sekarang digunakan. Berbekal RED, Komisi Eropa terus melakukan upaya untuk mencapai konsensus untuk MoU baru. Sayangnya, pihak industri gawai hingga Maret 2018 tidak dianggap kooperatif dan tidak mampu menghadirkan solusi yang mumpuni terkait harmonisasi charger untuk meningkatkan kenyamanan konsumen dan mengurangi limbah elektronik (European Commission, n.d.).

Akhirnya, pada Januari 2020, Parlemen Eropa melakukan intervensi dengan mengeluarkan ‘Resolution on a universal charger for mobile radio equipment‘. Resolusi ini menjadi awal dari pembuatan norma charger, dan gawai secara lebih luas, secara legal untuk perlindungan konsumen dan lingkungan. Setelah resolusi tersebut disahkan, Komisi Eropa sebagai tangan eksekutif dari UE mulai melakukan kajian ekstensif dan menyusun rancangan penerapan peraturan tersebut, yang nanti akan dimasukkan dalam revisi terhadap RED (European Commission, n.d.).

Dalam rancangan penerapannya, aspek perlindungan konsumen dan lingkungan menjadi pertimbangan utama Komisi Eropa. Pertama dan yang paling utama, peraturan tersebut mengharuskan harmonisasi charger dengan penggunaan charger USB type-C di semua gawai yang mencakup smartphone dengan semua aksesorisnya, tablet, dan juga laptop. USB type-C menjadi standar karena memiliki teknologi paling maju sejauh ini, serta untuk mempermudah konsumen dengan cukup memiliki satu charger saja. Dengan demikian, konsumen akan dapat berpindah produk dengan mudah dan tidak menghasilkan banyak limbah elektronik. Komisi Eropa sendiri juga berjanji, agar tidak menghalangi inovasi, peraturan tersebut akan diperbaharui ketika terdapat teknologi yang lebih unggul dari USB type-C (European Commission, n.d.).

Kedua, sebagai implikasi dari charger yang satu jenis, maka penjualan charger baru bersama pembelian gawai dilarang untuk mengurangi sampah elektronik. Untuk memiliki charger, konsumen harus membelinya secara terpisah sesuai kebutuhannya. Ketiga, pelarangan terhadap pembatasan kecepatan charging dengan cara apapun. Produsen seringkali melakukan pembatasan kecepatan charging jika produk yang dipakai tidak orisinil. Peraturan tersebut juga mengharuskan harmonisasi juga dari teknologi fast charging, sehingga tidak mengekang konsumen apapun pilihan gawainya. Terakhir, pemberian informasi produk yang lebih lengkap juga diharuskan oleh Komisi Eropa. Sementara itu perkembangan teknologi lainnya, seperti wireless charging, akan diatur di masa depan apabila dilihat perlu (European Commission, n.d.).

Penolakan Apple dan Implikasi Normatif Global

Meski banyak pihak menyambut baik inisiatif harmonisasi dari UE ini, tidak semuanya menerima keputusan tersebut, salah satunya adalah Apple. Apple menjadi pihak yang menyuarakan penolakan paling keras terhadap keputusan UE tersebut, menyebutnya, “akan menghambat inovasi daripada mendorongnya, yang pada akhirnya akan merugikan konsumen di Eropa dan di seluruh dunia” (Weaver, 2021).

Posisi yang diambil oleh Apple tentu tidak mengherankan, mengingat lineup produknya yang menggunakan charger khas Apple yang distingtif. Dalam produk iPhone dan iPad misalnya, Apple sejak dulu menggunakan teknologi Lightningyang memiliki colokan yang eksklusif digunakan produk-produk Apple, dan tidak bisa ditemukan di produk lain. Begitu juga dengan serial Macbook dari Apple yang menggunakan colokan Magsafe yang tidk dapat ditemukan di laptop lainnya.

Secara strategis bisnis, ini adalah strategi yang cerdas untuk perusahaan. Dengan memiliki charger yang hanya dimiliki produk-produk Apple, Apple memiliki kontrol atas konsumennya dengan mengikatnya dalam suatu ekosistem yang restriktif. Apple memiliki monopoli atas charger, juga dalam servis produknya, dan dapat mengenakan harga sesukanya, sebab hanya dia yang menjualnya. Konsumen Apple juga menjadi “terkunci” dalam ekosistem Apple, sebab apabila dia berganti dari iPhone ke Android, maka dia tidak hanya harus melepas charger-nya, tetapi juga Apple Watch, Earbuds, dan lainnya yang hanya kompatibel dengan charger Apple (Fingas, 2021). Kenyataan ini belum dengan memperhitungkan kesulitan memiliki banyak charger.

Padahal, secara teknologi sendiri Lightningtertinggal jauh dari USB type-C. Dalam pengisian daya, charger iPhone 13 disebut mampu mengisi daya hinga 25 Watt. Sementara itu, smartphone lain sudah menggunakan charger dengan daya 30, 60, hingga 120 Watt seperti Xiaomi Mix 4 (Fingas, 2021).

Dalam hal data, teknologi Lightning tercepat terbatas pada kecepatan USB 3.0, dan sebagian besar mungkin masih 2.0. Pada level USB 3.0 kecepatan transfer paling cepat adalah 5Gbps, dibandingkan 10Gbps pada banyak koneksi USB type-C. Beberapa perangkat USB 3.2 sekarang dapat mencapai kecepatan 20Gbps, bahkan dengan teknologi paling maju USB 4.0 kecepatan maksimal 40Gbps. Semuanya tidak tersedia di Apple, padahal ukuran foto, video, dan semua file yang ada di perangkatnya semakin besar (Fingas, 2021).

Permasalahan perlindungan konsumen, lingkungan, dan teknologi inilah yang kemudian coba diatasi oleh UE dengan peraturan barunya. Tidak seharusnya Apple bisa mengatur konsumennya sedemikian rupa, melakukan monopoli, sekaligus menghalangi perkembangan teknologi dan menambah sampah elektronik. Sekeras apapun penolakan Apple, tampaknya tidak akan melemahkan UE untuk mendorong harmonissi dan mewujudkan common charger.

Sebagai implikasi nyatanya, Apple, juga semua produsen gawai lain akan mengubah charger mereka ke USB type-C. Namun, hal ini kemungkinan besar tidak akan hanya memengaruhi produk yang dijual di Eropa, melainkan di seluruh dunia. Apple misalnya, yang kini terpaksa melakukan transisi, dengan hanya lineup iPhone 13 sebagai produk yang masih sepenuhnya menggunakan charger Lightning. Produk Apple lainnya seperti iPad dan Macbook yang baru rilis kini semuanya telah menggunakan colokan USB type-C untuk pengisian daya, dan ini terjadi di seluruh penjuru dunia, oleh semua produsen gawai.

Fenomena seperti ini disebut sebagai “The Brussels Effect”, yang juga merupakan salah satu perwujudan normative power UE. Meski peraturannya hanya dibuat untuk level Eropa, tetapi tenyata implikasinya terjadi secara global, ketika harmonisasi menuju USB type-C terjadi di seluruh dunia. Hal ini menunjukkan kemampuan UE untuk membentuk normalitas baru hanya dengan legislasi domestik (Bradford, 2020).

Pengukuhan norma common charger ini, yang masih dalam proses transisi, menjadi satu lagi catatan keberhasilan UE dalam membentuk norma internasional. Meskipun terkesan “receh” karena sebuh institusi internasional seperti UE mengatur charger, tetapi keberanian UE untuk mengatur hal-hal yang belum pernah diatur tersebutl menjadi faktor kuat dari proyeksi normative power UE. Nyatanya, bahkan pengaturan terhadap hal-hal kecil dapat memiliki implikasi global, yang pada akhirnya memperkuat kedudukan Uni Eropa itu sendiri di dunia.

Referensi

Adonis, A.A. (2018). “Uni Eropa Sebagai Normative Power” Tugas Akhir Sarjana, Universitas Indonesia.

Bradford, Anu. (2020). The Brussels Effect:  how the European Union rules the world. Oxford: Oxford University Press.

Deloitte. (2021, June 9). “Deloitte: How the Pandemic Stress-Tested the Increasingly Crowded Digital Home,” diakses pada 9 November 2021, melalui https://www2.deloitte.com/us/en/pages/about-deloitte/articles/press-releases/deloitte-pandemic-stress-tested-digital-home.html

USB-IF. n.d. “USB Type-C,” diakses pada 9 November 2021, melalui https://www.usb.org/usbc

European Commission. n.d. “One common charging solution for all,” Diakses pada 9 November 2021, melalui https://ec.europa.eu/growth/sectors/electrical-and-electronic-engineering-industries-eei/radio-equipment-directive-red/one_en

Fingas, R. (2021, October 30). “Apple’s fight with Europe over USB-C is a losing battle — as it should be,” Android Authority. Diakses pada 10 November 2021, melalui https://www.androidauthority.com/apple-lightning-vs-usb-c-3043836/

Manners, I. (2002). “Normative Power Europe: A Contradication in Terms?,” Journal of Common Market Studies, 40, no. 2.

Weaver, M. (2021, September 23). “Apple opposes EU plans to make common charger port for all devices,” The Guardian. Diakses pada 10 November 2021, melalui https://www.theguardian.com/world/2021/sep/23/apple-opposes-eu-plans-to-make-common-charger-port-for-all-devices

Ikhlas Tawazun adalah mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Indonesia dan Editor-in-Chief Kontekstual. Dapat ditemui di sosial media dengan nama pengguna @tawazunikhlas

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *