Negara Bangsa dan Diskriminasi terhadap Muslim Prancis

0

Ilustrasi demonstrasi di Prancis. Foto: AP

Pendahuluan

Pemerintah Prancis telah mengeluarkan kebijakan Undang-Undang (UU) antiseparatisme Prancis yang diklaim merupakan respons terhadap berbagai serangan teror yang menimpa Prancis. UU ini juga bertujuan untuk menegakkan konsep sekularisme Prancis (laicité) yang menekankan kepada pelarangan praktik religius di lingkup publik. Hal ini menimbulkan diskriminasi terhadap kelompok muslim dan kembali memunculkan perdebatan terkait pemakaian hijab di ruang publik dan mengenai Islam. Prancis merupakan negara yang menjunjung tinggi terhadap nilai-nilai republicanisme yang terdiri dari universalisme, kesetaraan dan sekularisme (laicité). Sementara itu, terdapat suatu stigma bahwa kelompok Muslim merupakan kelompok yang tidak dapat berintegrasi ke dalam masyarakat Prancis dan nilai-nilai yang diemban oleh republicanisme. Hal ini menimbulkan diskriminasi sosial terkait identitas mereka sebagai warga negara Prancis. Penulis berargumen bahwa nilai-nilai dalam konsep republicanisme mendorong konsep identitas tunggal yang mendiskriminasikan kelompok-kelompok minoritas yang ada di Prancis. Dalam menyusun tulisan ini, saya akan membaginya menjadi tiga bagian, (1) penjelasan mengenai formasi Prancis sebagai nation state; (2) implementasi liberal multiculturalism dan dampaknya; (3) diakhiri dengan solusi dengan pengangkatan konsep identitas majemuk bagi masyarakat Prancis. 

Formasi Prancis Sebagai Nation State

Layaknya sebagai sebuah kelompok, suatu negara membutuhkan suatu alasan logis dari justifikasi keberadaan mereka dan mengapa justifikasi tersebut memberikan suatu ketertarikan bagi masyarakat untuk bergabung dalam negara tersebut (Fukuyama, 2011). Hobbes mengonsepsikan konsep kontrak sosial bahwa sebagai imbalan untuk melepaskan hak individu seorang kepada negara, negara melalui monopoli kekuatannya menjamin keamanan dan kebutuhan dasar setiap warga negara. Negara dapat menyediakan berbagai public goods, seperti hak kepemilikan, adanya infrastruktur, pertahanan, mata uang, dan sebagai gantinya masyarakat dapat memberikan imbalan seperti pajak, menuntut terhadap negara dan memberikan negara suatu legitimasi terhadap eksistensinya. 

Dalam konteks Prancis, formasi dari sebuah negara Prancis Modern berawal dari terjadinya revolusi Prancis pada tahun 1789. Pada saat kekuasaan ancien regime, negara selalu disamakan dengan kekuasaan sebuah dinasti yang absolut yang menguasai sebuah kelompok yang beragam. Elemen yang menjadi lem dalam menyatukan populasi yang beragam ini adalah mitos keturunan yang sama dari bangsa Galia dan kepatuhan pada kepercayaan Katolik Roma (Fukuyama, 2011). Pada saat revolusi Prancis terjadi, syarat dari formasi Prancis sebagai sebuah bangsa didasari oleh 2 hal, yaitu persamaan sejarah dan persetujuan bersama untuk setia terhadap nilai-nilai politik yang sama (Fukuyama, 2011). Dari revolusi Prancis kemudian melahirkan nilai baru dalam republicanisme yang menjadi landasan kontrak sosial bagi masyarakat Prancis. Republicanisme memiliki makna yang universal, dan berpegang teguh pada ide kosmopolitanisme yang melihat bahwa bahwa suatu negara harus ada standar moral universal yang harus dipatuhi oleh semua komunitas atau bangsa. Idealnya, setiap warga negara mengidentifikasikan dirinya dengan negara sehingga menghilangkan kebutuhan akan politik identitas berdasarkan afiliasi lokal, agama, atau ras.  

Semenjak terjadinya revolusi Prancis, ide bagi sebuah negara bukanlah berasal dari keturunan, tetapi identitas; loyalitas; hak dan kewajiban politik dan budaya (Safran, 1991). Bangsa didefinisikan dalam lingkup “negara” yang memiliki nilai yang lebih universal, yang berarti bahwa identitas subbangsa lainnya harus mengalah terhadap nilai universal yang ada (Safran, 1991). Bangsa, dengan demikian didefinisikan ulang, terdiri bukan dari komunitas, tetapi dari individu (Safran, 1991). Pandangan ini yang menyebabkan delegitimasi tidak hanya pada komunitas etnis, tetapi juga kelompok perantara dari semua jenis politik, ekonomi, geografis, budaya, bahasa, dan keagamaan. Dalam prinsip legal mungkin bisa mencontoh dari preferensi Prancis untuk mencampur hukum mengenai Ius Soli — kewarganegaraan berdasarkan tempat lahir; dan Ius Sanguinis — kewarganegaraan berdasarkan keturunan; dan nilai-nilai republicanisme. Kedua ini menjadi sebuah masalah utamanya dari konsep kebangsaan (keanggotaan dalam komunitas sosial) dan kewarganegaraan (status yang memberikan hak dan kewajiban oleh negara kepada pemegangnya) yang terus diperdebatkan oleh masyarakat dan politisi Prancis (Safran, 1991). Meskipun Prancis tidak membedakan antara kebangsaan dan kewarganegaraan, tetapi revolusi Prancis menekankan pada pemegangan nilai-nilai politik republicanisme sebagai kriteria penting dalam hak kebangsaan. Didasari oleh interpretasi ini, terdapat pemikiran bahwa orang Prancis harus mengikuti nilai-nilai kosmopolitanisme yang terdapat dalam republicanisme itu sendiri guna mendapat pengakuan atas hak kebangsaan dan kewarganegaraan mereka (Fukuyama, 2011). Hal  ini yang kemudian akan saya jelaskan isunya dalam subbab berikutnya mengenai masalah Prancis mengenai identitas nasional dan multikulturalisme. 

Implementasi Liberal Multiculturalism & Sekuritisasi melawan Islam

Perdebatan Prancis mengenai identitas nasional merupakan hal yang konstan dan selalu diperdebatkan dari waktu ke waktu. Ide-ide yang dilahirkan dari revolusi Prancis selalu menjadi sumber dari inspirasi dan selalu mampu disesuaikan untuk menghadapi tantangan dalam dinamika politik Prancis. Setelah perang dunia II dan periode dekolonialisasi yang mengikuti setelahnya, terdapat eksodus masyarakat yang berasal dari wilayah kolonial Prancis yang menginginkan pengakuan untuk menjadi seorang Prancis. Identitas Prancis yang kemudian selalu dikaitkan erat dengan nilai-nilai abstrak revolusi dan republicanisme mulai berada dalam kritik karena ketidakcocokan dengan nilai komunitarianisme yang dibawa oleh para imigran yang mulai merusak klaim kosmopolitanisme universal dari republicanisme tersebut. 

Para politisi, ilmuwan, tokoh masyarakat yang memiliki kedekatan dengan barisan sentris atau kiri moderat selalu menghargai ide-ide mengenai pluralisme. Paham pluralisme menekankan bahwa perbedaan yang dimiliki seorang individu sangat perlu dihargai sesuai dengan argumen mereka “hak untuk menjadi berbeda” (droit a la difference). Paham ini menerima gagasan bahwa keanggotaan dan identifikasi dengan komunitas nasional Prancis tidak perlu dipisahkan, dan bahwa identitas sebagai seorang “Prancis” kompatibel dengan identitas tambahan atau pelengkap, seperti Breton atau Armenia (Safran, 1991). Namun, paham prancis yang lebih pluralistik telah ditentang oleh 2 kubu yang berseberangan secara ideologi, tetapi memegang pandangan yang sama dalam hal penolakan terhadap imigran dan pandangan pluralis, walaupun dengan berbeda alasan. Bagi kelompok sayap kanan (Gaullist), para imigran akan melemahkan negara dan mengarah pada separatisme etnis minoritas (Plenel, 2016). Sementara bagi kelompok Jacobin kiri, mereka berpendapat bahwa demokrasi yang diemban dan dibawa oleh nilai-nilai revolusi dan republicanism merupakan nilai-nilai yang identik dengan individualisme, yaitu, sebuah hubungan antara warga negara dengan negara, sedangkan pluralisme didasarkan pada identitas kelompok partikularistik (Plenel, 2016). Mereka juga berargumen bahwa penerimaan masyarakat majemuk akan menyiratkan pemisahan dengan identitas nasional prancis yang akan menghambat integrasi sosial dan ekonomi etnis minoritas yang dapat berkontribusi pada ghettoisasi (Plenel, 2016). 

Merefleksikan dari presiden Francois Mitterand bahwa, “Kami adalah orang Prancis dan nenek moyang kami adalah Galia, Romawi, dan sedikit Jerman, sedikit Yahudi, sedikit Italia, sedikit Spanyol, sedikit Portugis, dan saya bertanya pada diri sendiri apakah kita sudah sedikit Arab juga”. Pernyataan mantan presiden Prancis menunjukkan bahwa dalam konteks mengenai imigran, kelompok Jacobin kiri berpandangan bahwa Prancis terus menjadi negara yang terbuka untuk pendatang baru, tetapi para pendatang harus bekerja secara efektif untuk mengintegrasikan dan mengasimilasi dirinya menjadi seorang Prancis (Plenel, 2016). 

Penekanan pada konsep asimilasi dan integrasi dekat dengan konsep liberal multiculturalism yang menjadi kritik dari Will Kymlicka dalam bukunya Multicultural Citizenship. Terdapat beberapa ciri penting dari pemikiran tersebut. Pemikiran tersebut menekankan kepada keterikatan seorang individu dengan keanggotaan suatu kelompok atau identitas nasional (Kymlicka, 1995). Ide-ide Wilhelm von Humboldt dan Giuseppe Mazzini melihat bahwa promosi terhadap hak-hak individu memiliki keterkaitan dengan keanggotaan suatu kelompok terhadap kelompok nasionalnya sendiri, hal ini dikarenakan adanya peran bahasa dan budaya dalam membentuk identitas tersebut (Kymlicka, 1995). John Stuart Mill juga sepakat dengan ide tersebut dengan menyebut bahwa demokrasi adalah bentuk pemerintahan oleh rakyat, tetapi hanya dapat diwujudkan apabila masyarakat tersebut dibangun atas suatu tatanan Nation State (Kymlicka, 1995). Dengan demikian, demokrasi liberal hanya mungkin jika orang merasa terikat pada negara oleh ‘ikatan yang berasal dari tempat tinggal bersama dengan asosiasinya, dari ingatan, tradisi dan adat istiadat yang sama, dan dari cara perasaan dan berpikir yang sama yang diwujudkan oleh bahasa nasional yang sama (Kymlicka, 1995). Karena sebuah negara harus didasarkan pada konsep nation state, maka minoritas harus diasimilasi secara koersif (Kymlicka, 1995). 

Kehadiran masyarakat imigran muslim di Prancis merupakan akibat dari migrasi awal tahun 1950-an, yang sebagian besar berasal dari wilayah kolonial Prancis di Afrika Utara. Dengan semakin tumbuhnya populasi muslim selama tahun 1970an, kebutuhan akan masjid, toko halal, dan perumahan semakin meningkat, tingkat interaksi antara imigran muslim dan masyarakat Prancis juga mulai meningkat. Namun, kejadian internasional seperti peristiwa 9/11, perang di Irak, serangkaian penyerangan teror di Prancis seperti di Bataclan tahun 2015, atau pemenggalan Samuel Patty telah menyebabkan adanya ketakutan masyarakat Prancis terhadap masyarakat Muslim. 

Respons dari ketakutan ini, lantas mendorong masyarakat Prancis untuk menciptakan rasa “ketidaknormalan” yang mendasari semua diskusi tentang Islam dan Muslim di Prancis. Sesuai dengan teori sekuritisasi dimana sekuritisasi–menjadikan suatu isu sebagai isu keamanan–membawa isu tersebut ‘keluar’ dari jalur diskursus politik dan memperbolehkan pengambilan tindakan-tindakan darurat (Cesari, 2021). Suatu isu menjadi isu  keamanan bukan karena bersifat mengancam secara inheren namun karena ‘isu tersebut  disajikan sebagai sebuah ancaman’ melalui penggunaan bahasa keamanan (Cesari, 2021). Kekhawatiran terhadap terorisme transnasional Islam telah menyebabkan peningkatan langkah-langkah keamanan yang memengaruhi populasi nasional sehingga mengaburkan batas antara kebijakan internasional dan domestik (Cesari, 2021). Dengan kata lain, efek yang ditimbulkan dari ketakutan ini adalah sekuritisasi tidak hanya diterjemahkan ke dalam wacana anti-Islam, tetapi juga dalam kehidupan bermasyarakat reguler ketika menyangkut umat Islam yang sering kali melanggar kebebasan sipil dan kebebasan beragama (Cesari, 2021). Dalam hal ini, sekuritisasi berdampak buruk pada eksternalitas Islam dan Muslim dalam masyarakat Prancis. Misalnya, dalam praktik keagamaan tertentu, seperti aturan berpakaian dipandang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang menjadikan seorang sebagai Prancis. Contohnya adalah larangan dalam mengenakan hijab. Secara umum, persepsi Muslim sebagai musuh telah memengaruhi semua aspek praktik Islam, termasuk dalam aturan pendidikan, makan, dan kehidupan keluarga, terutama pasca 9/11. 

Sejalan dengan itu, larangan burqa pada tahun 2010 juga dibenarkan atas dasar keamanan daripada alasan sekuler. Hal ini juga dibarengi dengan kebijakan bagi PNS atau pejabat publik untuk tidak boleh bercadar saat berinteraksi dengan publik karena hal ini dipersepsikan dapat merusak kepercayaan publik terhadap posisinya. Argumen lain adalah adanya larangan pemerintah untuk mengenakan burkini atas dasar mengenakan pakaian yang menunjukkan keyakinan agama yang dapat ditafsirkan sebagai afiliasi dengan fundamentalisme agama. Singkatnya, sekuritisasi Islam lebih dari sekadar retorika, tetapi ini juga merupakan serangkaian besar kebijakan dan praktik birokrasi yang dimaksudkan untuk membentuk masyarakat muslim sesuai dengan nilai-nilai liberal masyarakat Eropa, dan karenanya melakukan asimilasi koersif agar sesuai dengan nilai “Prancis” yang benar (Cesari, 2021). Dalam konteks multikulturalisme liberal, saya berargumen bahwa kontrak sosial republicanisme yang diemban oleh Prancis pada dasarnya menghasilkan suatu dampak residu terhadap masyarakat Islam di Prancis yang pada akhirnya memaksa mereka untuk mengintegrasikan dirinya dalam sistem nation state yang dimiliki Prancis.

Amartya Sen’s Multiple Identities

Terakhir, berkaitan dengan tantangan nilai-nilai universal Prancis dalam republicanisme. Penulis mempercayai bahwa sama halnya dengan ideologi lain, republicanisme Prancis tidak pernah dalam kondisi stagnasi, alih-alih, ia mengadaptasi dan menyesuaikan dirinya agar sesuai dengan kondisi kontemporer negara dan masyarakat Prancis. Mengikuti tulisan Amartya Sen dalam bukunya Violence and Identity, saya berargumen bahwa solusi bagi masyarakat Prancis terletak pada penerimaan masyarakat akan sebuah identitas yang majemuk. 

Dalam bukunya, Sen berargumen bahwa penekanan masyarakat untuk memiliki identitas tunggal justru merusak sebuah ide dari multikulturalisme sendiri. Beliau mencontoh dari sebuah komunitas di Inggris yang cenderung memisahkan seorang dari garis-garis kepercayaan atau agama yang pada akhirnya menciptakan sebuah federasi-federasi agama (Sen, 2006). Menurutnya hal ini bukan merupakan penerapan dari sebuah multikulturalisme melain sebuah plural monokulturalisme. Oleh karena itu, beliau menilai bahwa manusia dapat memiliki identitas yang majemuk, dalam artian selain anda sebagai seorang Muslim, anda bisa menjadi seorang Prancis, seorang fans Barcelona, seorang penggemar KPOP (Sen, 2006). Hal ini menurutnya dapat memberikan perubahan positif menuju masyarakat yang lebih multikultural. Berdasarkan pernyataan Amartya Sen tadi, penulis menilai bahwa prinsip dari identitas Prancis harus disesuaikan dengan nilai multikultural yang dipersembahkan oleh Sen, menurut penulis identitas tunggal yang ditarik dari asal usul sejarah yang melekat dalam suatu wilayah geografis semakin tidak relevan dalam sebuah dunia yang sudah tidak mengenali batas-batas geografis kenegaraan. Oleh karenanya, nilai-nilai revolusi Prancis yang pada akhirnya menghasilkan sebuah ide bagi bangsa dan identitas Prancis perlu dikonstruksikan ulang dan diadaptasikan untuk memenuhi tuntutan dunia yang lebih menjunjung tinggi nilai-nilai yang universal. 

Referensi:

Sumber Buku: 

Fukuyama, F. 2011. The Origins of Political Order: From Prehuman Times to the French Revolution. Canada: D&M Publishers. 

Sen, Amartya. 2006. Violence & Identity: The Illusion of Destiny. New York: W.W. Norton & Company. 

Plenel, Edwy. 2016. For The Muslims: Islamophobia in France. London & New York: Verso. 

Kymlicka, W. (1995). Multicultural citizenship: A liberal theory of minority rights. Oxford: Clarendon Press.

Sumber Jurnal: 

Cesari, Joselyn. 2021. Securitization & Laicite: The Two Main Challenges of French Islam. Georgetown University and University of Birmingham. Symposium on The State of Muslim Minorities in Contemporary Democracies Muqtedar Khan (Ed.). International Institute of Islamic Thought. DOI: http://doi.org/10.47816/02.001.symposium3.cesari 

Safran, W. (1991). State, Nation, National Identity, and Citizenship: France as a Test Case. International Political Science Review / Revue Internationale de Science Politique, 12(3), 219–238. http://www.jstor.org/stable/1601504 

Askar Sasongkojati adalah mahasiswa Ilmu Politik Universitas Indonesia. Dapat ditemukan di Instagram dengan nama pengguna @raden.askar

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *