Menyadarkan Masyarakat Indonesia Soal Krisis Iklim Lewat Pendidikan

0

Ilustrasi pendidikan dasar. Foto: Tayuya Karin/Creative Commons

Januari 1969 lalu, peristiwa tumpahnya minyak bumi (oil spill) di Santa Barbara, California, mendorong senator sekaligus environmentalis Amerika Serikat Gaylord Nelson untuk mengambil langkah protes anti-perang dalam peningkatan kesadaran publik mengenai kondisi kritis polusi dan udara. Inisiatif Nelson tersebut memelopori gerakan ekologi modern. Hingga hari ini, setiap tanggal 22 April, perjuangannya lestari dan diperingati sebagai Hari Bumi Sedunia yang berhasil merangkul lebih dari 190 negara serta memobilisasi 1 miliar jiwa untuk terlibat aktif dalam aksi iklim.

Peringatan ini seharusnya tidak terkungkung pada seremoni tahunan semata, tetapi juga menjadi prasyarat yang memantik autokritik pada implementasi konkretnya. Refleksi atas capaian suatu negara dalam mengatasi krisis iklim pun harusnya tak hanya terbatas pada sejauh mana progres pelaksanaan kebijakan ramah iklim berhasil diimplementasikan, tetapi juga tercermin pada sedalam apa pemahaman masyarakat terhadap isu krisis iklim ini dibangun. 

Di Indonesia sendiri, sebagian besar masyarakat masih terjebak pada miskonsepsi dan menganggap bahwa perubahan iklim adalah sesuatu yang abstrak dan berjarak. Riset yang diinisiasi oleh Developmental Dialogue Asia (2021) kepada 34 provinsi dan 3.490 responden acak di Indonesia melaporkan bahwa 88% responden mengaku pernah mendengar istilah ‘perubahan iklim’, tetapi hanya 44% dari mereka (sekitar 39% dari populasi) yang dapat menjabarkan definisi yang tepat terkait perubahan iklim. Lebih lanjut, hanya 1 dari 3 responden yang merasa bahwa pemanasan global telah terjadi saat ini, dan kurang dari setengah populasi (sekitar 47%) yang meyakini bahwa kondisi itu disebabkan utamanya oleh manusia.

Tulisan ini akan meninjau signifikansi mengintegrasikan pendidikan iklim dalam kurikulum nasional sebagai upaya membangun pemahaman publik yang komprehensif terkait konsep “hijau”.

Internalisasi Pendidikan Iklim: Manifestasi Efektivitas atau Imaji Tanggung Jawab Moralitas?

Lantas, seberapa efektif strategi ini dapat berhasil dalam membangun pemahaman publik terkait kondisi krisis iklim yang sudah semakin mengkhawatirkan? Pertanyaan ini menjadi krusial karena jangan-jangan, internalisasi pendidikan iklim hanya menjadi imaji tanggung jawab moralitas semata agar seolah-olah kita sudah mengambil langkah vital, tapi secara dampak sebetulnya nihil atas efektivitas. 

Dari sisi pemerintah, internalisasi pendidikan iklim adalah langkah strategis karena dengan mengimplementasikannya ke dalam kurikulum nasional, maka sifat dari kerangka kebijakan top-down, yaitu mengikat dan menjangkau seluruh elemen di bawahnya akan aktif. Internalisasi pendidikan iklim ke dalam sistem pendidikan nasional akan secara langsung mengikat seluruh elemen di dalam sistem pendidikan itu sendiri.

Dari sisi akar rumput, apatisme masyarakat Indonesia yang masih menganggap isu krisis iklim sebagai isu “nomor dua” menjadi basis argumen utama mengapa kita sulit mencapai tujuan hidup berkelanjutan. Karenanya, internalisasi pendidikan iklim menjadi penting karena ketika pemahaman publik sudah terbentuk secara komprehensif, maka aksi kolektif akan lebih mudah untuk digalakkan, seperti secara sadar menginisiasi aktivisme iklim, membentuk komunitas peduli iklim, dan mengamplifikasi urgensi isu ini kepada khalayak luas.

Lebih lanjut, efektivitas internalisasi pendidikan iklim semakin kentara ketika fungsi dari pendidikan sebagai pembentuk karakter sudah terinfiltrasi dan berhasil membentuk pribadi dengan kognitif, sosio-emosional, dan keterampilan sebagai agen perubahan terhadap isu ini. Hal tersebut juga sejalan dengan rencana global UNESCO (2023) Education for Sustainable Development (ESD) yang memiliki visi untuk menjadikan pendidikan sebagai bagian yang lebih sentral dalam respons internasional terhadap perubahan iklim. ESD memiliki 5 fokus area utama, yaitu: (i) Mengembangkan kebijakan; (ii) Mentransformasi lingkungan belajar; (iii) Membangun kapasitas pengajar; (iv) Memberdayakan dan memobilisasi generasi muda; dan (v) Mengakselerasi aksi konkret di tingkat lokal.

Di tingkat domestik, tuntutan untuk internalisasi pendidikan iklim ke dalam kurikulum nasional ini sebenarnya sudah hadir salah satunya oleh Fridays For Future Indonesia bersama inisiator #ClimateEducationNow lainnya yang secara kolektif mendesak kepada Kemendikbudristek untuk mengintegrasikan ‘Pendidikan Iklim’ ke dalam kurikulum pendidikan Indonesia. Tuntutan mereka setidaknya terdiri atas 5 poin, yaitu berharap agar pemerintah dapat:

  1. Mengintegrasikan pendidikan iklim ke dalam nilai-nilai inti dari setiap kurikulum dan mengharuskan siswa harus belajar tentang aspek ilmiah, sosial dan etika dari krisis iklim;
  2. Menyediakan pendidikan iklim yang inklusif untuk semua orang dengan mempertimbangkan keterlibatan gender, intergenerasi, penyandang disabilitas, dan kelompok rentan lainnya;
  3. Mendukung kesehatan mental peserta didik dan tenaga kependidikan dalam mengatasi kecemasan iklim dengan menyediakan fasilitas;
  4. Melatih guru dan menyediakan materi dan praktik belajar pendidikan iklim;
  5. Membantu mewujudkan dan mendukung aksi penurunan emisi karbon di lingkungan penyelenggaraan pendidikan paling lambat tahun 2030.

Ekuivalensi antara aksi di level internasional dan domestik yang telah dipaparkan di atas terletak pada kesamaan cita-cita besar, yaitu cita-cita untuk mempertahankan bumi supaya tetap layak huni dan mencapai tujuan hidup berkelanjutan. Melalui pendidikan, keduanya sama-sama melihat bahwa dalam jejak historis peradaban manusia, pendidikan memiliki peran vital dalam membentuk bagaimana cara manusia berperilaku terhadap lingkungannya.

Internalisasi pendidikan ke dalam kurikulum nasional akan secara masif membentuk pemahaman publik, khususnya generasi muda, untuk berperilaku sebagai individu yang sadar atas tiap resiko dan konsekuensi keputusan yang diambil terhadap bumi. Penulis melihat adanya bara api optimisme dalam proses integrasi ini akan menghasilkan generasi penerus bangsa dan para pemangku kepentingan yang mengimplementasikan nilai-nilai “hijau” dan berasas keberlanjutan di masa depan.

Muhammad Raafi adalah mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional di Universitas Gadjah Mada. Dapat ditemui di Instagram dengan nama pengguna @muhhraafi

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *