Merobohkan Kuasa Negara dengan Menukil Barang Dagang

0

Belakangan ini, hal-hal menggemparkan, selain saya berhasil melewati seminggu tanpa bubble tea, kaki kiri saya yang terlindas Grabwheels oleh seorang pengendara tak bertanggung jawab (yang hanya cengengesan tanpa minta maaf), minuman beralkohol pertama yang saya teguk setelah dua setengah bulan, pertemuan tidak disengaja dengan tiga orang kakak kelas semasa SMA, dan bertemu sosok yang amat mirip (no-hoaks) dengan Cristiano Ronaldo di Indomaret, ada suatu cuitan yang menggemparkan linimasa Twitter, suatu akun milik seorang teteh yang diyakini bernama Fitri. Ia menulis bahwa dirinya baru saja mencuri earplug di Gramedia.

Membaca ini sontak mengingatkan saya kepada suatu gerakan yang pernah marak di awal milenium. Yomango, kampanye mengutil atau shoplifting berbasis ideologi dan juga ilegalisme Prancis. Bagaimana tidak, di cuitan si mbak ditambahkan seruan ‘normalisasi mencuri dari perusahaan besar’, yang tidak jauh beda dengan Yomango, yang mempromosikan gerakan ini sebagai bentuk ketidakpatuhan, aksi menentang perusahaan multinasional dan perlawanan terhadap konsumerisme. 

Saya menulis ini ditemani lagu Barcelona oleh Fariz RM, sembari membayangkan perayaan counterculture yang dilakukan pelaku pengutilan Yomango. Seperti nama band rock Amerika, para anggota gerakan ini mengaku alasan pengutilan ini adalah Rage Against the Machine

Yomango berasal dari bahasa slang Spanyol yang berarti “saya mencuri”, juga permainan kata dari perusahaan pakaian ternama, MANGO. Yomango adalah sesuatu yang terletak ditengah-tengah eksperimen sosial, sekaligus pernyataan politik yang dibuat untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah. 

Gerakan ini dikoordinasi dan dirayakan secara daring. Franchise atau cabang-cabang dari gerakan ini kemudian bermunculan di Argentina, Chile, Meksiko, bahkan hingga Jerman. 

Dalam bukunya yang berjudul Social Movement and Globalization, Cristina Fiesher Fominaya menulis kutipan seorang aktivis Yomango tentang perasaan menakjubkan saat melakukan penukilan karena harga menjadi tak relevan dan kita menolak mentalitas pembeli yang selama ini dipupuk dalam diri kita.

Bahkan mereka mengadakan workshop untuk swakarya tas dan pakaian yang cocok untuk mengutil, hingga penggunaan box untuk memblokir sinyal saat melewati alarm keamanan di toko, dan tips-tips mencuri lainnya. 

Ide serupa ditemui dalam salah satu cabang Anarkisme bernama Ilegalisme, yang memeluk kriminalitas sebagai jalan ninjanya. Kasus Ilegalisme yang paling terkenal adalah Bonnot Gang dari Prancis, sebuah kelompok kriminal anarkis yang beraksi pada era Belle Èpoque yang identik dengan kemakmuran, perdamaian, perkembangan saintek, optimisme, dan hal-hal baik lainnya. 

Dalam Ilegalisme, perampokan dan pencurian dipandang sebagai cara perampasan kembali (secara individu dan massal) atas properti kapitalis, dimana pemalsuan dan penyelundupan digunakan sebagai alat untuk bertahan hidup, dan bahkan yang paling kontroversial, pemboman dan pembunuhan politik dikatakan sebagai “propaganda of the deed”  Para penjahat dirayakan karena pengabaian umum mereka atas otoritas negara dan penggunaan kejahatan mereka sebagai taktik bertahan hidup.

Kontra-ekonomi macam ini merupakan pucuk dari beberapa ide yang melatarbelakanginya seperti Egoisme, Agorisme, Anarkisme, dan reklamasi individual; yang kurang lebih penjelasannya adalah tindakan Robin Hood. 

Meski pergerakan kontra-ekonomi seperti yang penulis sebutkan di atas erat diasosiasikan dengan sayap kiri, Agorisme sebagai salah satu ide yang melatarbelakanginya juga banyak terinspirasi dari Austrian School yang notabene berafiliasi dengan sayap kanan politik. Selain banyak kemiripan antara Agorisme dan Anarko-kapitalisme dari Murray Rothbard, pencetus Agorisme sendiri, Samuel Edward Konkin III, pernah mengatakan bahwa Agorisme lebih Rothbardian daripada Rothbard sendiri. Kedua ide memeluk prinsip voluntarisme dan mengabaikan konsep kekayaan intelektual. 

Agorisme menekankan pentingnya membangun kontra-ekonomi, lembaga-lembaga ekonomi libertarian, dan perusahaan-perusahaan yang ada di luar batasan hukum dari intervensi dan paksaan negara. Agoris menganggap kontra-ekonomi ini sebagai bentuk aksi langsung tanpa kekerasan, damai, kalem, anteng, dengan metode yang menantang dan menghindari kekuasaan negara, dalam membangun masyarakat bebas berdasarkan prinsip pertukaran sukarela yang tidak dibatasi negara. 

Gerakan kontra-ekonomi menekankan bahwa dengan peraturan, regulasi, dan lisensi telah mencekik hubungan ekonomi. Tujuan agorisme adalah agora, yakni masyarakat pasar terbuka yang tidak ternodai oleh pencurian, penyerangan, dan penipuan. Keadaan masyarakat bebas ini adalah satu-satunya di mana kita dapat memuaskan nilai-nilai subjektif tanpa menghancurkan nilai-nilai orang lain dengan kekerasan dan paksaan. 

Agorisme mengadvokasikan pembangkangan sipil terhadap negara, salah satunya adalah dengan membuat negara ‘kelaparan’, dengan adanya pasar gelap dan pasar abu, ilegalisme, membuat bisnis tanpa izin legal, penghindaran pajak, dan hal-hal lain yang membuat negara kehilangan kekuatan ekonominya. 

Kontra-ekonomi hadir karena keresahan, urgensi kebutuhan ekonomi, atau sekadar coli ideologi. 

Aurelia Vizal adalah Ambassador dan Spokesperson untuk Generasi Melek Politik dan Kontributor Kontekstual. Dapat dihubungi di Instagram @aureliavizal dan surel aureliavizal@aol.com

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *