Awas Intervensi Asing, Amerika!

0

Ilustrasi tempat pemilihan suara dalam Pemilu. Foto: pixabay.com.

Joe Biden sang moderat dan Bernie Sanders nan progresif. Dua kandidat tersisa sebagai bakal calon Presiden Amerika Serikat dari Partai Demokrat. Sebelumnya, pada 3 Maret 2020 telah berlangsung Super Tuesday, salah satu rangkaian pemilihan kandidat calon presiden Amerika Serikat yang diadakan serentak di 14 negara bagian.

Gelaran ini diberi nama khusus karena berdampak signifikan pada kandidat yang akan terpilih sebagai calon presiden Amerika Serikat (AS). Nyatanya, setelah gelaran Super Tuesday tahun ini, nama-nama kuat seperti Elizabeth Warren dan Michael Bloomberg mengundurkan diri sebagai kandidat Partai Demokrat.

Pada awal masa pencalonan kandidat presiden dari Partai Demokrat, terdapat 28 kandidat dengan beragam identitas, seperti Asia, Afrika-Amerika, Hispanik, hingga yang berorientasi seksual gay. Secara (tak) mengejutkan, sekarang tinggal tersisa dua kakek tua berkulit putih.

Lalu bagaimana dengan Partai Republik? 

Bisa dikatakan, Trump sudah 100 persen dipastikan akan kembali menjadi calon presiden dari Partai Republik. Satu-satunya nama lain yang maju, William F. Weld tak kunjung memenangkan suara dari satupun negara bagian. 

Praktis, saat ini semua mata tertuju pada kandidat Partai Demokrat untuk melihat siapa yang akan menjadi pesaing Donald Trump.

Pada saat yang bersamaan, terdapat isu krusial yang mulai terlupakan pada rangkaian pemilu AS.

Intervensi Asing.

Intervensi Rusia dan Ukraina

Pada Oktober 2019 lalu, Presiden Rusia, Vladimir Putin menyampaikan sebuah pernyataan kontroversial.

Putin menjawab dengan nada candaan ketika ditanya apakah Rusia akan mengintervensi Pemilu Presiden Amerika Serikat 2020. “Aku akan memberi tahu sebuah rahasia. Ya, kami tentunya akan melakukannya (intervensi pemilu AS),” ujar Putin pada acara Russian Energy Week. Pernyataan ini tentunya cukup membingungkan berbagai pihak.

Hal ini dikarenakan sejak Pemilu Presiden AS tahun 2016, Rusia menerima berbagai tuduhan terkait campur tangan dalam terpilihnya Presiden Trump.

Mueller Report menjadi saksi tiga tahun perjalanan investigasi intervensi Rusia pada Pemilu AS tahun 2016. Secara singkat, laporan ini menjelaskan bahwa Rusia terbukti mengintervensi Pemilu AS tahun 2016 dan berupaya memenangkan Donald Trump melalui propaganda media sosial dan peretasan informasi Hillary Clinton.

Intervensi asing pun tak melulu berawal dari inisiatif negara lain. Masih ingat dengan pemakzulan Presiden Trump yang terjadi pada Desember 2019?

Trump dimakzulkan atas tuduhan penyalahgunaan kekuasaan. Trump dituduh meminta bantuan Presiden Ukraina untuk mendapatkan informasi salah satu bakal calon Presiden dari Partai Demokrat, Joe Biden. Trump menaruh kecurigaan kepada Biden yang dituduh telah menyalahgunakan kekuasaannya untuk menekan Pemerintah Ukraina dalam penyelidikan terhadap sebuah perusahaan energi Ukraina yang melibatkan anaknya, Hunter Biden.

Meskipun pada pemilu AS tahun 2016 mendapat perhatian yang luar biasa, intervensi asing bukanlah sebuah hal baru bagi AS.

Ramai-Ramai Intervensi Pemilu Amerika Serikat

Bukan Rusia, bukan pula Ukraina.

Salah satu Negara yang pertama kali mencoba mengintervensi pemilu AS, adalah Perancis. Intervensi ini terjadi pada tahun 1796 melalui sebuah tulisan di koran Philadelphia. Seutas tulisan di koran memang tidak terdengar sebagai ancaman serius bagi pemilu AS. Namun, orang yang menulis dan isi dari tulisan tersebutlah yang menjadi alarm bagi Amerika serikat.

Tulisan ini merupakan peringatan yang ditulis oleh Duta Besar Perancis untuk Amerika Serikat. Ia menyampaikan bahwa jika kandidat presiden AS pro-Perancis Thomas Jefferson tidak memenangi pemilu, maka akan berujung pada perang antara AS dan Perancis. Meskipun pada akhirnya Thomas Jefferson kalah dan tidak terjadi perang, hal ini tetap memperkeruh hubungan antara kedua negara.

Pada 1996, giliran pengaruh dari Tiongkok yang mengganggu berlangsungnya pemilu AS. Bill Clinton dan Partai Demokrat menjadi pihak yang dituding menerima bantuan asing pada pemilu AS 1996. Uniknya, tuduhan ini melibatkan seorang pengusaha Indonesia yang juga merupakan pendonor aktif Partai Demokrat, Ted Sioeng.  

Pada laporan yang dikeluarkan oleh Komite Senat Urusan Pemerintahan AS, ditemukan bahwa sumbangan sebesar USD 400 ribu yang diberikan oleh Sioeng berasal dari sumber asing. Tuduhan lain yang terbukti juga melibatkan salah satu perusahaan ternama di Indonesia, Lippo Group.

Dilansir dari Washington Post, John Huang, mantan eksekutif Lippo Group mengaku bersalah atas tuduhan pelanggaran finansial pada beberapa rangkaian pemilu di AS termasuk Pemilu Presiden AS 1996. Huang melakukan pelanggaran dengan menggalang dana kampanye dari perusahaan maupun badan asing termasuk Lippo Group.

Tercatat sampai dengan saat ini, terdapat beragam upaya intervensi terhadap pemilu AS yang melibatkan pihak asing. Mulai dari pemberian hadiah, pembuatan propaganda dan artikel, ancaman perang, pemberian dana kampanye, peretasan sistem pemilu, pemberian dana kampanye hingga iklan di media sosial. Bahkan, iklan di media sosial juga menjadi sebuah momok bagi pemilu AS.

Salah satu perusahaan yang terkena imbas dari fenomena ini adalah Facebook. Oktober 2019 lalu, CEO sekaligus pendiri Facebook Mark Zuckerberg, dicecar beragam pertanyaan terkait kemungkinan untuk membuat iklan politik yang menyesatkan di Facebook.

Politisi Partai Demokrat, Alexandria Ocasio-Cortez atau yang lebih dikenal dengan panggilan AOC, berkali-kali mencoba mengkonfirmasi kepada Zuckerberg terkait kapabilitas Facebook dalam mendeteksi iklan-iklan yang menyesatkan. Namun, ia tak kunjung mendapatkan jawaban yang jelas dari Zuckerberg.

Jika kita melihat kembali bagaimana luasnya jangkauan iklan di Facebook, tentu kekhawatiran AOC menjadi masuk akal. Berdasarkan data dari Facebook, sebanyak 3000 iklan politik Rusia dapat menjangkau setidaknya 10 juta penduduk AS. Hal ini tentu dapat memberikan pengaruh cukup signifikan terhadap pergeseran suara pada pemilu AS.           

Lalu, apakah intervensi asing akan terjadi lagi pada pemilu AS 2020?

Kemungkinan besar, iya.

Setidaknya ada tiga alasan mengapa AS masih belum dapat terbebas dari intervensi asing pada pemilu 2020.  Belum disahkannya Honest Ads Act, Trump dan fake news, serta minimnya kepedulian terhadap intervensi asing.

Honest Ads Act yang Tak Kunjung Disahkan

Honest Ads Act merupakan rancangan undang-undang yang ditujukan untuk mengatasi permasalahan iklan politik digital di AS. Hal ini dikarenakan terus meningkatnya jumlah pengeluaran untuk iklan politik digital sejak pemilu AS 2008 sampai dengan 2016.

Berdasarkan data yang dikeluarkan Borrell Associates, tercatat pengeluaran untuk iklan digital politik pada pemilu AS 2016 mencapai USD 1,4 Miliar. Angka ini meningkat jauh jika dibandingkan dengan tahun 2008 yang berkisar di angka USD 22,25 juta dan pada tahun 2012 yang berkisar pada USD 159,8 juta.   

Angka ini menjadi semakin mengkhawatirkan dikarenakan banyaknya celah pada peraturan iklan politik digital AS, seperti pada kasus Facebook. Pengawasan terhadap iklan politik digital tidak seketat yang diberlakukan pada iklan tv maupun radio.

Iklan politik yang ditayangkan secara digital, tidak diwajibkan untuk menuliskan sumber pembiayaan dan bahkan tidak diwajibkan untuk melaporkan besaran biaya yang dikeluarkan pada pemerintah AS. Hal ini yang juga dimanfaatkan oleh oknum Rusia pada 2016 lalu.

Honest Ads Act sampai dengan Maret 2020, masih belum menunjukkan tanda-tanda akan disahkan sebelum pemilu AS 2020. Padahal, pada kasus intervensi asing lainnya, lembaga legislatif AS bergerak cepat dalam mengantisipasi terulangnya kejadian tersebut.

]Di kasus yang melibatkan John Huang dan Ted Sioeng, pada tahun 2002 pemerintah AS menetapkan pelanggaran yang dilakukan Partai Demokrat serta besaran dendanya.

Memang putusannya membutuhkan waktu 6 tahun. Namun, yang perlu dilihat adalah bagaimana di tahun yang sama, lembaga legislatif AS mengeluarkan undang-undang bernama Bipartisan Campaign Reform Act (BCRA). Undang-undang ini berfungsi untuk meminimalisir terulangnya kasus John Huang dan Ted Sioeng.

Pada kasus Honest Ads Act, Mueller Report, yang dirilis pada April 2019, secara jelas melaporkan iklan digital sebagai salah satu langkah intervensi. Namun, hampir satu tahun sejak dikeluarkannya laporan tersebut, Honest Ads Act masih belum juga disahkan.

Trump dan Fake News

Dua hal yang tak terpisahkan, Trump dan fake news. Entah sengaja atau tidak, misinformasi sudah menjadi ciri khas dari seorang Donald J. Trump.

Kebiasaan Trump ini tentu akan berpengaruh terhadap tingkat kepercayaan masyarakat AS pada misinformasi digital yang dikhawatirkan banyak pihak.

Washington Post pada 2016 melakukan pengecekan terhadap setiap klaim yang disampaikan oleh Presiden Trump. Hasilnya, hanya dalam 100 hari masa kerjanya, Trump sudah mengeluarkan total 492 klaim salah atau menyesatkan. Dengan pola kepemimpinan Trump yang tidak berubah sampai dengan hari ini, sudah tidak bisa diperkirakan berapa banyak klaim menyesatkan yang disampaikan.   

Misinformasi yang disampaikan Trump sangat mungkin dikutip dan dijadikan iklan oleh pihak asing untuk memperkuat posisi Trump. Akibat dari hal ini, intervensi asing akan semakin tersamarkan. Bahkan, jika mengikuti pola tersebut, pihak asing tak perlu repot memikirkan informasi palsu yang perlu dibuat, karena Trump akan memberikannya secara cuma-cuma.

Intervensi Asing, Siapa Peduli? 

Mueller report, intervensi Rusia, permintaan Trump pada Pemerintah Ukraina, hingga pemakzulan Trump. Jika melihat posisi Trump saat ini, nampaknya isu intervensi asing tidak mengganggu para pemilihnya. 

Intervensi asing seakan seperti sebuah rahasia umum bagi masyarakat AS. Padahal, kondisi AS saat ini masih sangat rentan terhadap intervensi asing.

Melihat tren lonjakan pendanaan yang ada, Iklan politik digital tentu akan menjadi primadona pada pemilu AS 2020. Facebook, Instagram, Google, Youtube bahkan Pokemon Go akan kembali menjadi sasaran dari para oknum asing. Iya, Pokemon Go juga menjadi alat politik.

Tentu saja, tidak bisa dipastikan negara mana atau siapa yang akan mengintervensi pemilu AS 2020. Namun, jika dilihat secara sekilas, Israel dan Rusia tentu akan diuntungkan jika Donald Trump terpilih kembali sebagai Presiden.

Hubungan Tiongkok dan AS yang begitu keruh dari sisi perekonomian juga tentunya perlu menjadi sebuah lampu kuning bagi pemerintah AS. Ditambah pada Februari 2020, empat anggota militer Tiongkok diketahui telah meretas data dari Equifax, sebuah firma kredit di AS. Peretasan ini melibatkan 147 juta laporan kredit dan data pribadi penduduk AS.

Melihat kondisi ini, Honest Ads Act merupakan satu-satunya hal yang dapat meminimalisir intervensi asing pada pemilu AS.

Jika seluruh iklan politik digital diwajibkan untuk menyertakan asal pendanaan dalam iklan, maka akan sangat sulit bagi pihak asing untuk melakukan intervensi digital. Ditambah, jika seluruh bentuk pengiklanan politik digital diwajibkan untuk melakukan pelaporan asal pendanaan kepada pemerintah AS. Hal ini tentunya akan menutup platform digital sebagai langkah intervensi asing.

Namun, melihat kondisi saat ini, kita hanya tinggal menunggu.

Intervensi asing selanjutnya, dari mana?

Satria Yuma adalah kontributor Kontekstual lulusan sarjana Hubungan Internasional Universitas Parahyangan. Dapat Dihubungi di Instagram @satriayuma dan surel satriayuma@outlook.com.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *