Meruntuhkan Kuasa Negara dengan Squatting Bangunan Terlantar: Sebuah Respons kepada Aurelia Vizal (Bagian 2, Selesai)

0

Ilustrasi gedung terlantar. Sumber: Pixabay.com

“Tidak ada yang gratis di bawah ekonomi kapitalisme” – Anonim

Kementerian PUPR melaporkan bahwa setiap malam umumnya lebih dari 138 ribu orang tidur di jalanan. Hal tersebut pararel dengan kemiskinan struktural masyarakat Indonesia serta ketidakmampuan dari 40% masyarakat untuk membeli rumah. Meski demikian, hal tersebut tidak terhubung dengan perintah untuk menyelenggarakan keadilan bagi tunawisma dan gelandangan berdasarkan konstitusi pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945 untuk mengurus fakir miskin dan orang-orang terlantar.

Selain itu, menurut catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) tahun 2016 di Pulau Jawa setidaknya terjadi 450 konflik agraria dengan skop perampasan ruang hidup 1.265.027 hektar dan melibatkan 86.745 KK. Kemudian sepanjang 2017 terjadi 659 konflik agraria dengan skop perampasan ruang hidup 520.491.87 hektar dan melibatkan 652.738 KK. Eskalasi perampasan ruang hidup naik 50% dari tahun 2016 ke 2017. Sedang 2018 terjadi 410 konflik agraria, dan 2019 pada angka 196 konflik. Jumlah ini diprediksi membesar pada akhir 2020 akibat Rancangan Undang-Undang Omnibus Law dan UU Minerba yang berorientasi pada kepentingan investasi, akumulasi kapital, dan pembangunan infrastruktur yang agresif. Hal-hal itu pula yang menjadi basis kemarahan PSTO Bethlehem dengan mengajukan semacam manifesto melalui social text yang ditulis pada tanggal 16 April 2020 pada kanal instagram mereka (@rso.bethlehem):


“Squatting adalah agenda perang kelas, bentuk aksi langsung sekaligus kritik terhadap sistem kepemilikan properti. ini tidak semata perkara moral, tetapi juga problem struktural. Karenanya butuh banyak keberanian ketimbang sekadar niat baik. Tidak berangkat dari rasa iba semata, punyediaan ruang hidup bukanlah tujuan tunggal. Kami juga memproyeksi aktivasi ruang dengan beragam program kerja. Ide soal squatting jelas masih janggal disini. Kita telah terbiasa tergusur dan tidak terbiasa merebut. Kita telah terbiasa mempertahankan tetapi tidak terbiasa menyerang”.

Pusat Sosial dan Tunawisma Otonom (PSTO) Bethlehem

Aktivitas squatting atau pendudukan pertama kali dilakukan PSTO Bethlehem terhadap bangunan terlantar milik Universitas Kristen Satya Wacana. Pendudukan bangunan milik universitas swasta tersebut bertahan selama 2 bulan (sebelum pengusiran dilakukan) diawali dengan aktivitas renovasi total bangunan; pembersihan lokasi akibat menumpuknya sampah dan semak belukar, pemasangan instalasi listrik, genting, cat bangunan, dll. Selain itu, pemenuhan kebutuhan sandang dan papan  dalam rangka menunjang kehidupan harian para penghuni datang dari hasil solidaritas jaringan kota di sekitar Kota Salatiga; baju layak pakai, alat-alat masak, selimut, kasur-bantal, bahan olahan makanan, dll. 

Tunawisma dan gelandangan yang menjadi penghuni Pusat Sosial dan Tunawisma Otonom di Salatiga berasal dari bermacam daerah, memiliki latar belakang yang berbeda, dan kondisi fisik yang beragam. Sebelum menempati bangunan tersebut, Para tunawisma dan gelandangan tidur di Pasar Andong Salatiga, emperan toko, dan rumah sakit. Namun, segera setelah aktivitas pengusiran oleh Polisi, Satpol PP, dan Petugas Dinas Sosial mereka kesulitan mendapatkan akses ruang yang bisa mereka gunakan sebagai tempat tidur sementara.

Pola pengorganisasian Pusat Sosial dan Tunawisma Otonom tersebut diselenggarakan secara kolektif. Hanya mengandalkan keterlibatan horizontal dan kesukarelaan individu-individu dengan kesadaran kelas yang, misalnya, bersepakat bahwa, ketika terdapat banyak sekali bangunan-bangunan kosong di kota, sementara orang-orang tidur di jalanan adalah kejahatan. Maka dari itu, mengaktivasi bangunan terlantar adalah satu bentuk aktivitas bernilai guna untuk meminimalisisasi disparitas ketimpangan sosial.

Terdapat belasan tunawisma yang menjadi keluarga besar di Pusat Sosial dan Tunawisma Otonom Salatiga dengan profesi penghuni yang beragam; mulai dari pemulung hingga tukang parkir di pasar. Pusat Sosial dan Tunawisma Otonom Salatiga bukan sarana filantropis untuk mengedarkan kebaikan kepada mereka yang tersisihkan, namun lebih pada solidaritas terhadap sesama kelas tertindas. Oleh karena itu, pola pengelolaan Pusat Sosial dan Tunawisma Otonom di Salatiga mereduksi bentuknya yang otonom, non-struktural, dan non-hierarkis. Posisi para penghuni dan pengelola adalah egaliter. Artinya, mengeliminisasi posisi ordinat dan subordinat di antara para penghuni. 

PSTO Bethlehem mengaktivasi ruang squatting dengan mengagendakan beragam program sosial inklusif dan partisipatif. Mulai dari penyelenggaraan Koperasi Circle A yang merupakan koperasi distribusi yang menyediakan barang baru atau bekas layak pakai secara gratis. Hal tersebut berangkat dari pengalaman bahwa ketika mahasiswa senior yang telah menyelesaikan studinya meninggalkan banyak barang, kita bisa memintanya dan mengumpulkannya agar dapat digunakan oleh siapapun, khususnya mahasiswa baru secara cuma-cuma. Pada dasarnya, setiap orang dapat memberikan barang yang sudah tidak ia gunakan, dan setiap orang bisa mengambil barang yang ia butuhkan tanpa diperantarai dan tanpa bertransaksi dengan uang. 

Selain itu, terdapat Dapur Sosial dan Perpustakaan Publik. Dapur Sosial merupakan fasilitas makan gratis bersama, khususnya bagi mahasiswa, pekerja informal, masyarakat miskin kota, dan tunawisma selama seminggu pada tiap akhir bulan. Agenda ini untuk mengantisipasi kelaparan dan kekurangan gizi bagi mahasiswa dan warga yang kehabisan uang makan bulanan atau telat mendapatkan kiriman di akhir bulan. Sedang Perpustakaan Publik menyediakan buku-buku yang lebih inklusif bagi semua orang. Pusat Sosial dan Tunawisma Otonom mengadakan lapak buku bagi umum secara berkala dan gratis di area-area publik. Perpustakaan ini diajukan sebagai keinginan untuk meningkatkan minat baca bagi semua kalangan, baik dari anak-anak, pemuda, hingga orang dewasa. 

Pusat Sosial dan Tunawisma Otonom mengadakan pertanian urban (urban farming) dengan memanfaatkan ruang yang ada demi menunjang kebutuhan pangan penghuni. Siapapun dapat menanam sesuai kemampuannya, dan memanen sesuai dengan kebutuhannya. Selain itu, menyediakan ruang bagi pengembangan bakat dan minat para tunawisma, pemberdayaan tunawisma serta ruang untuk mengekspresikan kreativitas pemuda di Salatiga. Workshop dapat berupa ruang latihan musik bagi pengamen, produksi sablon dan penyalur tenaga kerja bagi pengangguran, pengelolaan daur ulang sampah bagi pemulung, dan kegiatan serta pelatihan lainnya yang dapat diikuti oleh masyarakat pada umumnya. Semua orang dapat menjadi guru dan murid secara bergantian melalui beragam kelas dan lokakarya. 

Yang terakhir, Ruang Aman Perempuan. Ini merupakan wadah bagi evakuasi korban KDRT, kekerasan seksual dalam berpacaran atau perundungan terhadap orientasi seks dan gender lainnya. Pusat Sosial dan Tunawisma Otonom ingin menyediakan ruang dimana mereka yang tersingkirkan dapat menyelamatkan diri baik secara fisik atau mental. Pusat Sosial dan Tunawisma Otonom ingin menjadi support system bagi penyintas, penyediaan ruang aman dari pelecehan seksual, hingga lingkungan yang supportif, inklusif, dan toleran.

Penutup

Egalitarianisme merupakan basis kritik kaum anarkis terhadap kepimilikan properti, termasuk dalam hal ini tanah. Bila masyarakat siap terhadap diorganisirnya relasi sosial yang egaliter, maka kepemilikan terhadap properti harus dihentikan. Tidak hanya para anarkis, konklusi Marx dalam wacana alienasi mengajukan kritik serupa, bahwa emansipasi dapat dicapai bila hak kepemilikan pribadi dihapuskan. dikotominya, bagi anarkis, penghancuran kepemilikan properti diandaikan pada kepemilikan kolektif dan dioprasionalkan secara swa-kelola dan tanpa hirarki. Sedang bagi marxist, penghampusan kepemilikan properti mengandaikan trasnsisi transformatif dari private property ke penguasaan the state yang terlembaga dan hirarkis. 

Aktivitas squatting para anarkis terhadap bangunan terlantar yang dimiliki oleh negara, swasta, atau kaum borjuis tidak selalu mencapai puncak keberhasilannya. Ada pendudukan yang mampu bertahan lama, ada pula yang hanya sebentar. Para anarkis mencatat, pemilik properti selalu tiba dan melakukan pengusiran dengan cara represif dengan melibatkan keterlibatan polisi dan kelompok fasis dalam agenda pengusiran. Hal tersebut juga dicatat oleh Pusat Sosial dan Tunawisma Otonom (PSTO) Bethlehem: 

“Squatting akan selalu menghadapi serangan dari pemilik properti, polisi, kelompok fasis dan terkadang oleh masyarakat itu sendiri. Kami telah menghadapi semuanya dalam lima upaya pendudukan yang gagal dipertahankan. Di tempat lain banyak squatting yang bertahan lama, lebih banyak yang tergusur, tapi sedikit yang berhasil merebut kembali gedung yang pernah diduduki.”

Krisnaldo Triguswinri merupakan Mahasiswa Magister Administrasi Publik, Universitas Diponegoro. Peneliti dan memiliki ketertarikan pada isu kebijakan publik, filsafat politik, gender, dan gerakan sosial. Bisa dikunjungi melalui Instagram @Krisnaldotriguswinri_.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *