Meruntuhkan Kuasa Negara dengan Squatting Bangunan Terlantar: Sebuah Respons kepada Aurelia Vizal (Bagian 1)

0

Ilustrasi bangunan terlantar. Foto: pixabay.com.

Membaca artikel Aurelia Vizal, setidaknya ada tiga hal provokatif dan menarik. Pertama, Vizal mengajukan satu realitas sosiologis menyoal aksi shoplifting yang saya asumsikan, meminjam istilah Guy Debord, bentuk pembangkangan terhadap kemapanan Dunia Tontonan (The Society of the Spectacle), atau yang Vizal bahasakan sebagai “aksi menentang perusahaan multinasional dan perlawanan terhadap konsumerisme.”

Kedua, keterangan Vizal tentang satu varian kriminal dalam anarkisme: Ilegalisme, yang melakukan perampokan berbasis politik kelas terhadap akumulasi properti para borjuis. Seperti ilegalisme Prancis, salah satu film Netflix berjudul Money Heist berhasil mengamplifikasi suasana itu.

Ketiga, apa yang Vizal sebut sebagai kontra-ekonomi. Di situ saya mulai tidak mengerti. Kenapa? Karena Vizal mulai terbaca ignorant dengan mengglorifikasi agorisme sebagai alternatif yang mampu mengeliminasi, bila tidak ingin menggunakan istilah menghancurkan, peran keterlibatan negara dalam aktivitas sosial, ekonomi, dan politik. 

Seperti Vizal, saya menulis ditemani lagu Asleep oleh The Smiths. Dengan atau tanpa bubble tea dan alkohol, saya tetap membayangkan teduhnya perayaan pesta tahun baru di pegunungan Chiapas oleh masyarakat Zapatista yang menjadi inspirasi Rage Against the Machine terlibat pertarungan jalanan dalam Occupy Wall Street. Oleh karena itu, saya ingin mengajukan diskursus aksi langsung yang radikal, konfrontatif, ofensif, dengan alternatif yang menantang dan menghindari intervensi negara: Squatting.

Secara umum squatting adalah pendudukan bangunan atau wilayah yang biasanya sudah ditinggalkan dan tidak dipakai lagi. Aktivitas ini ditujukan untuk melawan peraturan dan hukum yang didasarkan pada kepemilikan pribadi atas properti (bangunan, kantor, rumah, tanah) dan kemudian menyediakan tempat tinggal gratis dan dikelola secara kolektif.

Sejarah modern pendudukan gedung terlantar tidak terlepas dari perjuangan panjang para anarkis di Yunani yang memanfaatkan Distrik Exarchia di Athena segera setelah terjadinya krisis ekonomi pada tahun 2008. Pendudukan gedung terlantar yang dulunya merupakan kantor pajak pemerintah, dilakukan sebagai bentuk pembangkangan terhadap otoritas negara yang opresif, yang kemudian juga menjadi kritik terhadap kepemilikan properti yang diasumsikan sebagai penyebab terjadinya ketimpangan kelas dan krisis ekonomi. 

Selain itu, pendudukan gedung diajukan sebagai alternatif untuk mentransformasikan Exarchia sebagai pusat perlindungan bagi mereka yang tersisihkan akibat kejahatan perang, dominasi agresif kapitalisme, dan kompetisi politik yang bengis. Oleh karena itu, Exarchia dihuni oleh, tidak sekadar warga lokal, tetapi juga para imigran, pengungsi, tunawisma, dan aktivis politik radikal dari beragam latar belakang negara, ras, agama, gender, dan seksualitas. Exarchia merepresentasikan bentuk konkret dari multikulturalisme-kosmopolit para partisan dalam melakukan pengelolaan kolektif inklusif, dan berhasil membangun solidaritas kepada mereka yang homeless dan/atau stateless.

Seorang lelaki asal Australia, benama Riz, melakukan pendudukan rumah sebagai bentuk protes terhadap ketidakadilan regulasi pemerintah tentang tingginya biaya harga sewa perumahan rakyat. Menurut ACOSS, 30,4 persen warga di bawah usia 24 tahun hidup di bawah garis kemiskinan. Artinya, hampir satu dari tiga anak muda yang hidup di Australia tidak mampu mengakses properti untuk berkehidupan yang layak. Oleh karena itu, Riz berulang-ulang melakukan pendudukan rumah terlantar yang ia jadikan sebagai tempat tinggal sementara. Tidak memiliki uang untuk menyewa rumah di satu sisi, dan bertahan pada prinsip anti-kapitalisme di sisi yang lain, menjadi komitmen Riz untuk terus bertahan hidup dengan melakukan pendudukan secara ilegal terhadap rumah-rumah terlantar milik orang kaya.

Di Amerika Utara dan beberapa kota besar di Eropa, pendudukan atau squatting dilakukan sebagai satu kritik radikal terhadap monopoli properti oleh segelintiran orang, sekaligus menjadi kritik terhadap menjamurnya real estate atau perumahan yang menjadi pengejewantahan atas kolaborasi negara dan kapitalisme. Pendudukan diajukan sebagai proyek anarkis terhadap properti spasial yang mengkomodifikasi tanah dan rumah. Seperti alegori anarkistik, tanah dan rumah adalah sumber dari segala kesejahteraan dan kebebasan. Tanpa kesejahteraan dan kebebasan, semua orang dikutuk sebagai sekadar subjek yang tunduk pada kontrak kerja upahan. 

Belakangan dalam gelombang protes masyarakat sipil anti-rasisme di Amerika dan membesarnya demonstrasi Black Lives Matter di seluruh dunia terhadap kematian George Floyd, para anarki memanfaatkan momentum dengan berhasil melakukan pendudukan distrik di Seattle, Washington dengan nama The Capitol Hill Autonomous Zone (CHAZ). Zona otonom tersebut adalah zona anti polisi, mendekonstruksi gentrifikasi borjuis, ruang pelayanan kesehatan gratis, serta menjadi sentral dapur umum untuk mendistribusikan makanan dan minuman gratis selama demonstrasi berlangsung. 

Di Indonesia, aktivitas pendudukan bangunan terlantar berlangsung secara lokal di Kota Salatiga, Jawa Tengah. Sudah enam bulan Pusat Sosial dan Tunawisma Otonom (PSTO) Bethlehem melakukan aktivitas pendudukan bangunan terlantar. Pendudukan bangunan terlantar tersebut diorientasikan sebagai satu kritik terarah terhadap monopoli properti oleh negara dan kapitalisme yang berdampak pada realitas sosiologis orang-orang yang tidur di jalanan. Selain itu, masifnya penggusuran serta perampasan ruang hidup yang terjadi di banyak titik api konflik agraria di seluruh wilayah di Indonesia yang berimplikasi pada penderitaan dan ketidakadilan struktural masyarakat terdampak. 

P.S. Bagian kedua akan membahas secara implisit bagaimana pendudukan bangunan terlantar di Kota Salatiga secara otomatis melahirkan bentuk kontra-ekonomi yang signifikan dalam rangka meghancurkan logika ekonomi kapitalisme dan watak negara yang opresif.

Krisnaldo Triguswinri merupakan Mahasiswa Magister Administrasi Publik, Universitas Diponegoro. Peneliti dan memiliki ketertarikan pada isu kebijakan publik, filsafat politik, gender, dan gerakan sosial. Bisa dikunjungi melalui Instagram @Krisnaldotriguswinri_.


Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *