“Mewakili Anak Muda”: Antara Embel-Embel dan Representasi Bermakna

0

Ilustrasi anak muda di Indonesia. Foto: Odua Images/Shutterstock

Menjelang pesta akbar demokrasi pada tahun 2024, para partai politik (parpol) dan bakal calon legislatif maupun eksekutif sudah mulai bersiap-siap mengumpulkan suara di masyarakat. Dalam strategi dan komunikasi publik yang mereka gunakan, terlihat pola yang menonjol bahwa semuanya berusaha menunjukkan bahwa mereka mewakili suara anak muda. Berbagai slogan seperti “anak muda”, “gen z”, dan “milenial” tampaknya dijual murah, ibarat kata-kata yang harus ada dalam kampanye semua politisi.

Hal ini tidak mengherankan, sebab menurut KPU anak muda akan mendominasi Pemilu 2024 dengan proporsi 60% dari total pemilih, yang berarti lebih dari setengah dari Daftar Pemilih Tetap (DPT). Dengan demikian, usaha menggaet suara anak muda menjadi menu wajib dalam kampanye. Akan tetapi, apakah usaha menggaet anak muda ini merupakan sesuatu yang superfisial, alias hanya demi elektabilitas, ataukah memang terdapat representasi nyata kepentingan anak muda?

Isu-Isu Anak Muda

Sebagai kelompok masyarakat yang mendominasi dan menjadi penerus negara di masa depan. Anak muda memiliki isu strategis tersendiri dalam pesta akbar 2024 nanti. Menurut survei dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) fokus kesejahteraan masyarakat menjadi perhatian utama anak muda dengan meraih 44,4% responden. Disusul dengan lapangan kerja, pemberantasan korupsi, demokrasi & kebebasan sipil secara berturut-turut, yaitu 21,3%, 15,9%, dan 8,8%.

Dengan demikian, partai maupun calon nanti perlu memiliki rencana atau program yang mengarah kepada isu strategis anak muda di atas. Selain itu, hal ini juga tidak hanya kiasan kata semata melainkan bukti nyata dari sebuah program atau rencana tersebut. Sebab pemilih Gen Z dan Milenial sama-sama menomorsatukan terkait karakteristik pemimpin ideal, yakni dalam visi dan misi yang jelas. Kemudian didukung dengan integritas yang kuat tanpa memiliki latar belakang korupsi (jujur) ataupun anti terhadap korupsi. 

Perkembangan teknologi khususnya media sosial memengaruhi cukup besar dalam memahami pengetahuan dan wawasan politik anak muda, ketika anak muda sudah mulai cerdas dalam memutuskan partai atau calon mana saja yang peka terhadap isu-isu masyarakat. Akan tetapi, terdapat hal yang tidak mengenakannya ialah, suara anak muda cenderung dianggap menjadi objek peraup suara partai politik maupun calon saja. Hal ini terlihat dari para politisi yang mengaku mewakili suara anak muda dalam slogan, tetapi kosong dalam substansi.

Kepalsuan macam ini dikhawatirkan akan membuat anak muda menjadi apolitis dan memilih golput. Padahal, aspirasi anak muda adalah sesuatu yang nyata dan kekuatan politik mereka tak bisa diabaikan begitu saja. Anak muda dapat memengaruhi opini publik, kebijakan, dan keputusan-keputusan politik pemerintahan, baik melalui media luring ataupun daring. 

Ketika jalur politik formal tidak dianggap representatif, akhirnya aspirasi politik tersalurkan lewat cara lainnya, seperti politik jalanan. Hal ini terlihat dari beberapa demonstrasi yang didalangi anak muda, yang juga menjadi check and balance terhadap kebijakan pemerintah. Aksi #ReformasiDikorupsi dan #MosiTidakPercaya pada 2019 menjadi peristiwa besar nasional yang menandakan anak muda (terutama mahasiswa) memiliki peranan dalam menuntut sebuah kebijakan pemerintah yang dinilai tidak sejalan dengan masyarakat. Dengan bermodalkan media sosial seperti Twitter dan unjuk rasa di depan gedung DPR RI agar anggota parlemen dapat mendengarkan aspirasi anak muda. 

Selain itu, menilik pada negara sesama Asia Tenggara, Thailand baru saja menggelar pemilunya pada 14 Mei 2023. Hal yang mengejutkan ialah, Move Forward sebuah partai anak muda yang baru, dipimpin oleh Pita Limjaroenrat berhasil memenangkan suara terbanyak dalam perolehan pemilu. Misi partai ini cukup berani dengan menawarkan reformasi besar di Thailand, seperti reformasi rezim junta militer dan meletakkan demokrasi dengan semestinya pada rakyat sebagai mandat tertinggi. 

Dua hal diatas merupakan bukti kekuatan politik anak muda tidak bisa diremehkan. Sudah menjadi hal yang semestinya bahwasanya partai maupun calon perlu mendengarkan maupun berdiskusi tentang aspirasi anak muda. Transparansi kebijakan, menjaga toleransi dan keberagaman, isu lingkungan hidup, pembangunan yang berkelanjutan menjadi beberapa hal yang disukai anak muda untuk dapat diperhatikan oleh pemerintahan selanjutnya.   

Keterlibatan Anak Muda dalam Pemilu 

Sejatinya bagi anak muda sendiri yang dinilai sebagai golongan dinamis, responsif, dan adaptif dapat dipercaya menjadi pengawasan di pemilu 2024. Anak muda dapat mengawasi tiap Tempat Pemungutan Suara (TPS) saat proses pemilu, agar terhindar dari kecurangan penghitungan suara, penentuan suara sah, maupun kecurangan-kecurangan lainnya. Maka, nantinya juga dapat dipastikan kertas pencoblosan menjadi suara sah untuk meneruskan, membentuk dan menentukan pemerintahan. 

Selain itu, serangan fajar, titipan suara, politik uang menjadi agenda yang seharusnya anak muda ikut aktif memberantas. Sebab suara yang diperhitungkan tak bernilai uang ataupun barang, lebih dari itu, suara yang masuk akan menjadi landasan pemerintahan yang bersih dan demokratis, sehingga apa yang disebut ‘suara rakyat suara tuhan’ pun dapat terwujud dengan baik.     

Selaku digital native, anak muda dapat menjadi tameng utama dalam menyaring informasi terkait berita bohong atau hoax mengenai pemilu. Sementara itu, dapat dimanfaatkan pula untuk melihat latar belakang, kinerja sebelumnya, maupun kasus yang melibatkan suatu partai atau calon yang mengikuti kontestan pemilu 2024. Dengan demikian, anak muda dapat pandai memilih partai maupun calon yang cocok dengan karakteristik yang sudah disebutkan di atas.    

Dengan segudang pekerjaan yang disematkan pada anak muda ini, baik pra pemilu maupun pasca pemilu. Kemudian didukung dengan survei yang diadakan oleh IDN Research Institute (2022) menunjukkan bahwasanya 71% Gen Z dan 76% Milenial siap dalam menyambut pesta demokrasi 2024. Demikianlah sejalan dengan tugas yang diberikan kepada anak muda untuk mengikuti pemilu 2024 dengan baik. 

Pada akhirnya, suara anak muda tidak boleh hanya dianggap sebagai objek untuk dieksploitasi, tanpa menghadirkan representasi bermakna. Anak muda tidak hanya memberikan ‘kertas coblos’ saja kepada para parpol maupun calon, melainkan juga menitipkan aspirasi-aspirasi mereka. Akan tetapi, politik yang tidak ramah terhadap anak muda dan cenderung superfisial dapat menyebabkan anak muda semakin bersikap apolitis dan enggan berpartisipasi dalam proses formal demokrasi. Hal yang anak muda butuhkan bukanlah embel-embel Gen Z atau Milenial, melainkan representasi harapan, ide, dan aspirasi anak mudah dalam 5 tahun kedepan di dalam koridor-koridor kekuasaan.

Muhamad Fikri Asy’ari merupakan lulusan dari Universitas Al-Azhar Indonesia. Dapat ditemukan di Instagram dan Twitter dengan nama pengguna @fasy.ari @BisayukS2

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *