Bising Politik Luar Negeri dan Pemilu: Apakah Pemilih Peduli?

0

Prabowo Subianto dalam konferensi keamanan Dialog Shangri-La 2023. Foto: Kementerian Pertahanan RI

Merupakan suatu kelaziman apabila suatu momentum besar diikuti dengan berbagai kebisingan, termasuk momentum politik domestik. Seagaimana pertandingan sepak bola kerap diiringi berbagai atribut mencolok hingga bentrok antar suporter, momentum Pemilihan Presiden (Pilpres) kerap diiringi berbagai atraksi politik untuk menarik perhatian, termasuk atraksi Politik Luar Negeri (PLN).

Kurang dari setahun menuju pencoblosan ronde pertama Pilpres 2024, telah terjadi beberapa kejadian yang melibatkan elemen PLN dari para bakal capres. Dari ketiga bakal capres yang muncul, yakni Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan, terdapat pelibatan elemen luar negeri dalam branding ataupun intrik politik dalam konstelasi politik domestik yang semakin dinamis.

Akan tetapi, apakah rakyat yang pada akhirnya akan memilih dalam Pilpres nanti peduli terhadap elemen luar negeri ini? Ataukah isu PLN hanya menjadi catatan kaki di benak para pemilih? Mari kita telaah. 

Sekilas Hubungan PLN dan Persepsi Masyarakat Umum Indonesia

Sebelumnya, perlu diakui bahwa politik luar negeri Indonesia dan kebanyakan kebijakan yang mengarahkannya bersifat sangat elitis. Klaim tersebut kentara, misalkan, dengan jarangnya pemerintah mengadakan referendum atau setidak-tidaknya bertanya kepada publik tentang isu-isu luar negeri. Akan tetapi, utamanya ketika diisukan oleh elit politik, masyarakat boleh jadi menganggap isu PLN tertentu sebagai kepentingan mereka. 

Paling kentara, misalkan, ketika Presiden Pertama RI, Soekarno, menggaungkan slogan “Ganyang Malaysia” di penghujung kepemimpinannya. Sejumlah analis politik mengungkapkan bahwa palagan tersebut diambil sang proklamator untuk mempertahankan popularitasnya. Popularitasnya yang menurun drastis akibat kesalahan pengelolaan memang sempat memuncak kala palagan itu bergaung. Pun metode penggunaan kebijakan luar negeri seperti itu juga sesuai dengan argumen Teori Diversionary Theory of War, yakni kebijakan yang diambil untuk mengalihkan perhatian dari kegagalan domestik atau untuk menopang rezimnya. 

Intermeso ini menunjukkan bagaimana PLN bisa jadi berhubungan kuat dengan masyarakat umum Indonesia. Akan tetapi, pengelanaan politik Prabowo terjadi dalam situasi demokrasi terbuka era Reformasi. Alhasil, menengok profil pemilih Prabowo pada kesempatan-kesempatan pilpres mungkin dapat memperjelas alasan kasus tulisan ini.

Prabowo dan Perdamaian Rusia-Ukraina: Diterima Baik atau Blunder?

Prabowo Subianto menjadi bacapres dengan rekam jejak PLN yang paling dapat diterka. Dalam trilogi kekalahannya pada pilpres 2009, dan 2014, maupun 2019, Prabowo tetap sarat diperhatikan oleh publik Indonesia. Tiga kali pencalonannya tersebut, berbagai visi dan program pendukungnya digaungkan oleh Prabowo. Di antara untaian visi-visi tersebut, muncul pula caranya memandang politik luar negeri (PLN) yang cenderung nasionalis (terutama dari sisi keamanan), bahkan dapat dibilang terkadang paranoid.

Menjelang Pemilu 2024, Prabowo menambah rekam jejak luar negerinya dengan mengumumkan rencana perdamaian Rusia-Ukraina. Dalam acara Dialog Shangri-La 2023, Prabowo dalam kapasitas sebagai Menteri Pertahanan mengemukakan empat poin resolusi perdamaian yang cukup “standar”, dibandingkan dengan metode resolusi konflik pada umumnya yang melibatkan Pasukan Penjaga Perdamaian PBB dan referendum. Akan tetapi, pelontaran ide ini kemudian tidak diterima secara baik terutama oleh pihak Ukraina, serta berada dalam timing internasional yang tidak tepat, yakni dalam momentum counteroffensive Ukraina. Kritik pun bersambut dari kalangan domestik, terutama dari kalangan akademisi dan elit politik luar negeri Indonesia.

Jika tidak sesuai dengan timing dinamika internasional, maka resolusi tersebut sesuai dengan timing apa? Banyak yang menerjemahkan ini justru sesuai dengan timing memanasnya Pemilu di Indonesia—alias untuk mendapat perhatian. Dalam hal ini, tentu Prabowo berhasil, sebab diplomasi yang dikemukakan sang menteri menjadi buah bibir di Indonesia, meski opini terbelah antara pro dan kontra. 

Sebagai bagian dari diplomasinya, Prabowo memutuskan untuk mengutarakan idenya tentang cara mendamaikan perang yang-sejatinya-dijalankan Rusia ke Ukraina. Merespons proposal tersebut, Counterpart Prabowo di pemerintahan Ukraina, Oleksii Reznikov mendapuk rencana tersebut sebagai “buatan” Rusia. Selain itu, akademisi seperti Radityo Dharmaputra mengkritik ketidakpekaan dan bias yang tampak dari proposal tersebut.

Dalam kaitannya dengan pemilih, meski tidak mudah, tetapi hal ini salah satunya dapat diamati dalam kaitannya dengan branding Prabowo secara personal. Berdasarkan suatu penelitian dari Asrinaldi, pengamat politik Universitas Andalas, terhadap pemilih Prabowo di Sumatera Barat,  diketahui bahwa menangnya Prabowo di Sumatera Barat pada Pemilu 2014 & 2019 didukung oleh kesukaan masyarakat sumbar terhadap ketokohan Prabowo yang dianggap “…tokoh, takah (karismatik), dan tageh (gairah)…,”. Dalam aspek ini, setidaknya dapat diketahui bahwa aksi Prabowo menyuarakan resolusi perdamaian berkontribusi terhadap branding-nya sebagai tokoh yang pemberani dan karismatik.

Ganjar Pranowo dan Balada U-20, Akankah Berdampak Besar? 

Di sisi lain, Ganjar Pranowo yang kini resmi diusung oleh PDI-P sebagai capres, juga baru terlibat dalam prahara akbar dengan elemen luar negeri yang kuat, yakni dibatalkannya U-20 di Indonesia. Sebelumnya, untuk mayoritas karier politiknya, Ganjar Pranowo hampir tidak bersuara, atau diliput, mengenai PLN. Oleh karena itu, pembatalan Indonesia sebagai tuan rumah FIFA World Cup U-20 tahun ini menjadi sesuatu yang cukup mendefinisikan Ganjar dalam PLN. 

Terdapat dua elemen dalam balada U-20 dan Ganjar, yakni sebagai intrik politik dan pengaruh ke sentimen publik. Para analis politik dan koran mainstream seperti Tempo, menduga kuat bahwa Megawati adalah sosok dibalik penolakan ini, dan ini juga sekaligus menjadi ujian kesetiaan Ganjar. Hanya dengan menolak Israel di U-20, Ganjar dapat memeroleh restu dari Megawati sebagai Ketum PDI-P. Ketika diwawancarai oleh Najwa Shihab, Ganjar menampik bahwa ini merupakan hasil pertemuan dengan Megawati ataupun menjadi bentuk kesetiaan terhadap PDI-P. Ganjar justru menyebut aksinya sebagai bagian dari perjuangan panjang Indonesia untuk Bangsa Palestina dan meneruskan spirit anti-Israel Soekarno. Meski begitu, hal ini menjadi dipertanyakan apabila dikaitkan dengan elemen kedua, yakni sentimen publik.

Dalam kaitannya dengan sentimen publik, diperdebatkan apakah aksi ini memiliki efek negatif atau positif terhadap elektabilitas Ganjar. Adalah benar bahwa sentimen anti-Israel eksis di kalangan islamis maupun nasionalis di Indonesia. Akan tetapi, dengan penolakan terhadap Israel, Ganjar tidak tampak berhasil menarik simpati dari kalangan islamis yang terlanjur antipati terhadap PDI-P. Demikian juga dari kalangan nasionalis, rasanya tidak ada efek besar, terlebih jika sebagian besar sudah menentukan untuk memilih Ganjar. 

Justru yang perlu diperhatikan adalah efek terhadap mayoritas publik yang merupakan swing voters, banyak diantaranya adalah penikmat sepak bola. Dalam hal ini, dapat diamati banjir kemarahan dan sentimen negatif, terutama di sosial media, terhadap Ganjar. Sentimen ini bukan juga sekedar “marah”, tetapi hingga menjurus ke seruan untuk tidak memilih Ganjar di Pilpres 2024. Meski angka pastinya sulit diperkirakan, tetapi penikmat sepak bola berpotensi menjadi demografi yang penting dalam Pilpres, sebab sentimennya melintasi berbagai usia, tetapi terutama pemuda atau early adults yang menjadi first-time atau second-time voter dalam Pemilu.

Anies Baswedan: Tidak (atau Belum) ada Blunder, Perkuat Branding Internasional

Sementara itu, Anies terbilang belum terlibat atau menghadirkan suatu blunder PLN selama ini, meski menjadi tokoh pertama yang resmi dideklarasikan sebagai capres oleh Partai Nasdem Oktober 2022 lalu. Dalam rekam jejaknya di eksekutif sebagai Gubernur Jakarta dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan juga tidak terdapat terobosan signifikan dalam elemen luar negeri. 

Meski begitu, satu aspek luar negeri yang menonjol (dan memang ditonjolkan) oleh Anies adalah profil dan jaringannya yang baik di kalangan internasional. Anies mengkapitalisasi latar belakangnya sebagai akademisi, yang barangkali terlupa sebab Ia sudah lama tidak menjadi rektor, dengan jam terbang internasional yang tinggi. Satu hari Anies berada di Oxford, besoknya di New York, dan bertemu orang-orang yang dengan profil tinggi juga dari kalangan akademisi dan pemerintahan. Elemen luar negeri ini terbilang sesuai dengan branding umum Anies sebagai seorang pemimpin yang cerdas dan moderat, ditambah dengan wawasan serta jaringan internasional yang mumpuni dan dapat dimanfaatkan.

Bagaimana pemilih melihat sosok Anies dengan elemen luar negerinya yang kuat ini? Pertanyaan tersebut masih sulit dijawab. Sosok pemimpin yang intelek, internasional, dan memiliki citra akademis yang kuat memang hadir dalam sejarah Indonesia, seperti Hatta, Natsir, hingga Habibie. Oleh karena itu, dapat diasumsikan bahwa sosok seperti Anies memiliki branding yang agak lain dari kesan nasionalis-populis yang lebih umum, tetapi hal ini tidaklah asing. Hal ini bisa jadi diterima dengan baik oleh kalangan urban Indonesia yang semakin meningkat. Akan tetapi, hal ini juga bisa menjadi buah simalakama apabila Anies dengan jaringannya justru dianggap menjadi perpanjangan tangan internasional yang mendikte Indonesia—sesuatu yang dapat dikapitalisasi oleh kelompok nasionalis-populis.

Pemilih Bisa Peduli, PLN Bisa Menjadi Kartu dalam Pilpres

Berdasarkan pemaparan sebelumnya, dapat diketahui bahwa pemilih pada dasarnya cukup ambivalen terhadap terhadap PLN dari para capres. Jika dibandingkan dengan isu domestik, hampir pasti isu luar negeri akan masuk di prioritas nomor sekian. Akan tetapi, pemilih bisa peduli terhadap isu luar negeri apabila terjadi eskalasi—yang mudah terjadi dalam iklim politik yang semakin tegang ini.

Eskalasi yang sangat tinggi dapat diamati dalam kasus Ganjar dan U-20, yang perkembangannya melibatkan banyak aktor dan beritanya masuk headline setiap hari, selama berminggu-minggu lamanya. Hasil akhir berupa banjir sentimen negatif terhadap Ganjar, yang kemudian dianggap sebagai penyebab utama batalnya U-20, pun tidak bisa dicegah atau diperkirakan dengan mudah. Sementara eskalasi yang terbatas dapat diamati di kasus Prabowo dan resolusi perdamaiannya, yang hanya melibatkan sedikit aktor, ditambah suasana yang informal dan tanpa implikasi kebijakan yang nyata. Terakhir, elemen luar negeri ini juga dapat diamati ikut membentuk branding tiap capres. Bagaimanapun juga, penampilan internasional juga merupakan bagian dari proyeksi Bangsa Indonesia, sehingga menjadi penting.

Kedepannya, potensi isu-isu luar negeri akan kembali muncul dalam perhelatan Pilpres sangatlah mungkin. Dalam hal ini, para pemilih harus memerhatikan masing-masing capres dengan cermat dan hati-hati.

Philipus Mikhael Priyo Nugroho merupakan Mahasiswa Hubungan Internasional di Universitas Airlangga. Dapat ditemukan di Instagram dan Twitter dengan nama pengguna @miko.khael @mikhael_ruby

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *