Mimpi Ekonomi Jokowi Buyar Jika Perang terjadi di Laut Cina Selatan

0

Ilustrasi Jokowi di kapal tempur. Foto: Wikimedia Commons/setkab.go.id.

Belakangan ini, kita semua paham situasi ekonomi domestik dan internasional sedang tak ramah. Tak usah lah bicara soal angka Produk Domestik Bruto Indonesia yang menyusut lebih dari lima persen di kuartal kedua ini, dengan mendengar berita dari kawan, soal banyaknya bisnis yang tutup dan perusahaan yang memecat sebagian karyawannya, sudah membuat kita mampu memprediksi kalau ekonomi Indonesia masih akan terjun bebas. 

Saya kira, tak perlu lah ya menulis bagaimana situasi penanganan Covid-19 di Indonesia?

Selain pandemi, ada satu hal lain yang mengganggu benak saya belakangan ini, yakni tensi yang kian memanas di Laut Cina Selatan. 

Tercatat sudah beberapa kali Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi, menegaskan bahwa Indonesia tidak pernah menginginkan konflik terjadi di Laut Cina Selatan. Pernyataan paling baru soal ini disampaikan oleh Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia, Teuku Faizasyah dalam briefing Kementerian Luar Negeri hari Kamis (13/8) kemarin. 

“Yang ingin saya tegaskan kembali bahwa Ibu Menlu, dalam konteks merayakan ulang tahun ASEAN, telah mendorong dikeluarkannya ASEAN Foreign Ministers’ Statement On The Importance of Maintaining Peace and Stability in Southeast Asia,” ujar Teuku.

Kalau ada seorang Menteri Luar Negeri yang, dalam waktu berdekatan, berulang kali menyatakan bahwa ia tak ingin sesuatu terjadi di suatu wilayah, sudah barang pasti wilayah tersebut penting untuknya. Untuk saat ini, perhatian Retno tampaknya sedang terpusat pada Laut Cina Selatan.

Tensi Kian Meningkat di LCS, Amerika Serikat Siap Bantu Negara Asia Tenggara Serang Balik Tiongkok

Sebagian besar dari kita mungkin sudah tahu apa yang mendasari pelanggaran Tiongkok di Laut Cina Selatan. Namun untuk teman-teman yang belum pernah mendengar isu ini, izinkan saya menjabarkannya dengan sederhana. 

Jadi, permasalahannya adalah Tiongkok merasa memiliki sejarah kepemilikan di Laut Cina Selatan, jauh sebelum United Nations Convention Law of the Sea (UNCLOS) ditandatangani tahun 1982. Sejarah kepemilikan ini membuat Tiongkok memberi “patok-patok” di Laut Cina Selatan yang mereka sebut sebagai nine-dashed line. Nah, yang menjadi permasalahan adalah, patok-patok ini melanggar Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) negara-negara Asia Tenggara yang sudah ditetapkan dalam UNCLOS, yakni 200 mil laut. Hal ini membuat negara-negara Asia Tenggara geram kepada Tiongkok.

Tensi yang meningkat ini sebenarnya sudah berlangsung sekitar satu dekade. Tiongkok sudah berkutat dengan Filipina soal Kepulauan Spratly setidaknya dari tahun 2011, ketika Presiden Filipina kala itu, Benigno Aquino III, memberi peringatan kepada pihak Tiongkok soal pelanggaran batas wilayah di Kepulauan Spratly. Tiongkok juga diduga melanggar Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di Laut Natuna Utara beberapa tahun ini. Begitu pun dengan Malaysia, Brunei Darussalam, dan Vietnam yang merasa kedaulatan lautnya dilanggar dalam satu dekade ke belakang.

Masalahnya, Tiongkok memiliki kuasa besar di wilayah Laut Cina Selatan karena Amerika Serikat selama ini menegaskan bahwa mereka akan tetap bersikap netral dengan isu di wilayah tersebut. Sederhananya, “gue udah capek ah main di wilayah lain, Timur Tengah aja belum beres-beres. Ini lagi ikut-ikutan di Asia Tenggara.”

Sikap Amerika Serikat ini memberikan keuntungan untuk Tiongkok di Laut Cina Selatan sebagai satu kekuatan besar di tengah negara-negara Asia Tenggara yang relatif sedang-sedang saja kekuatannya.

Namun semua netralitas yang dijaga Amerika Serikat berhenti ketika Trump menjabat. Sejak awal, Trump memang mengambil posisi yang konfrontatif dengan Tiongkok. Semua bentuk konfrontasi dilakukan, mulai dari menerapkan strategi perang dagang ke Tiongkok, menuduh perusahaan asal Tiongkok seperti Huawei sebagai mata-mata di Amerika Serikat, dan yang terbaru melarang TikTok dengan alasan pelanggaran privasi individu. 

Kendati demikian, dari semua kebijakan konfrontatif yang diambil, tak ada yang lebih signifikan untuk Asia Tenggara dan Indonesia daripada pencabutan netralitas Amerika Serikat di Laut Cina Selatan oleh Mike Pompeo pada awal Agustus lalu. Pencabutan netralitas ini memiliki arti bahwa Amerika Serikat akan menyerang Tiongkok, jika Tiongkok melancarkan serangan terbuka di wilayah Laut Cina Selatan terlebih dahulu. Justifikasi dari pencabutan netralitas ini adalah pelanggaran UNCLOS yang telah dilakukan Tiongkok secara eksplisit, dan sekaligus membantu sekutunya di Asia Tenggara yang memang memiliki hak penuh atas perairannya.

Amerika Serikat pun tak main-main soal posisi barunya. Bahkan sebelum pernyataan dicabutnya netralitas ini, Amerika Serikat sudah melakukan latihan militer gabungan dengan Australia dan Jepang di Laut Cina Selatan akhir bulan Juli lalu. Terlalu naif untuk mengatakan bahwa latihan militer di Laut Cina Selatan oleh Amerika Serikat, bersama dua kekuatan besar di sekitar wilayah tersebut, tidak berhubungan dengan upaya Amerika Serikat menghentikan Tiongkok.

Redupnya Suara Indonesia di Laut Cina Selatan

Selama ini, kalau saya boleh jujur, Indonesia merupakan salah satu negara yang terdampak paling minim dari nine-dashed line ini. Kalo dibanding sama Filipina dan Vietnam, Indonesia kena sih, tapi ya sedikit aja di Laut Natuna Utara. Itu juga kalo saya boleh bilang, patroli kita udah relatif oke lah jaga di sana. Diplomasi Indonesia untuk meredakan situasi di Laut Natuna Utara juga patut saya acungi jempol. Cuman ya bukan itu masalah utamanya.

Ketidakstabilan di Laut Cina Selatan, mau itu di Natuna Utara, atau di Kepulauan Spratly, memiliki dampak signifikan yang serupa buat Indonesia. Apalagi kalau sampai konflik terbuka. 

Nah, ini yang membuat saya heran, yakni bagaimana Indonesia bisa sangat redup dalam mengambil langkah soal Laut Cina Selatan, ketika Amerika Serikat saja sudah mulai ikut-ikutan?

Apa ini sinyal ketenangan? Atau sebuah ketidaksiapan?

Sejauh ini, kalau yang saya perhatikan, Indonesia baru mengambil langkah tegas ketika kedaulatannya dilanggar secara eksplisit. Ketika Tiongkok mulai bermain-main di ZEE Kepulauan Natuna pada tahun 2013 hingga mencapai puncaknya di 2016, Presiden Jokowi beberapa kali datang ke Laut Natuna Utara sembari ikut patroli. Di tahun 2017, Indonesia turut mengeluarkan peta baru yang menjelaskan bahwa wilayah ZEE Indonesia di Natuna tidak lagi disebut sebagai Laut Cina Selatan, tetapi Laut Natuna Utara. Dua langkah yang menurut saya cukup tegas. 

Ketika Tiongkok kembali dilaporkan bermain-main di wilayah Laut Natuna Utara pada tahun 2019, Presiden Jokowi kembali melakukan patroli ke Laut Natuna Utara. Hal ini pun dibarengi dengan sebuah nota protes ke Kedutaan Besar Tiongkok di Jakarta. Sebuah langkah yang tegas, meskipun bersifat diplomasi.

Di bulan Juli lalu, sebenarnya Indonesia sudah menggelar latihan militer, namun sama seperti langkah-langkah yang lain, semuanya masih berada dalam wilayah kedaulatan Indonesia di Laut Natuna Utara atau sekitarnya.

Namun, untuk kasus di luar wilayah Natuna, Indonesia relatif masih bersikap normatif dan pasif. Hal ini seperti tersirat dalam upaya Retno meminta pihak-pihak yang berkonflik di wilayah ini agar meredakan ketegangan. Padahal, sekali lagi saya perlu tekankan, ketidakstabilan di Laut Cina Selatan, apalagi yang berpotensi perang, merupakan sebuah pukulan pada kepentingan Indonesia, khususnya di sektor ekonomi, sebuah sektor yang mendapatkan perhatian paling besar dari Presiden Joko Widodo. 

Masa sih, bisa berdampak pada sektor ekonomi Indonesia? 

Tentunya. 

Pertama, perang membutuhkan biaya yang tak sedikit. Alokasi dana yang sebelumnya untuk sektor riil perekonomian, harus bergeser ke militer. Apalagi Indonesia memiliki kapasitas militer yang masih berada di bawah Tiongkok.

Kedua, secara perdagangan bebas, ASEAN dan Tiongkok akan menelan kerugian besar. Saat ini, ASEAN adalah mitra dagang terbesar Tiongkok, dengan total nilai perdagangan mencapai US$140 miliar. Jika ASEAN berperang dengan Tiongkok, sudah pasti hubungan ini terputus dan membuat seluruh negara ASEAN, tak terkecuali Indonesia, dan Tiongkok mengalami kerugian finansial yang luar biasa.

Ketiga, dan ini mungkin yang terpenting, adalah bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia, di era Presiden Jokowi, didorong oleh investasi dari Tiongkok. Dari tahun 2014 hingga 2019, Tiongkok adalah pemodal ketiga terbesar di Indonesia, dengan total mencapai US$13,1 miliar. Jika perang terjadi dengan Asia Tenggara, bukan tidak mungkin Tiongkok mengendurkan investasinya di Indonesia. Terlebih, jika perang benar terjadi dengan Indonesia, Tiongkok pasti akan mencabut investasi ini, melemahkan perekonomian Indonesia secara masif. 

Lantas, apa yang dapat Indonesia lakukan untuk menjaga stabilitas Laut Cina Selatan secara aktif, namun tidak mengundang perang?

Satu langkah utama yang dapat diambil Indonesia adalah dengan menggunakan ASEAN kembali sebagai instrumen diplomasi dan tidak sekadar menjadikan ASEAN sebagai forum diskusi. Di era Pemerintahan Jokowi, kita semua melihat ada kecenderungan pemerintah untuk berfokus pada isu-isu domestik, alih-alih internasional. Akibatnya, fokus Indonesia atas ASEAN sangat lemah. Padahal, isu Laut Cina Selatan bahkan dapat dimaknai sebagai ancaman atas eksistensi maritim negara-negara Asia Tenggara.

Langkah awal yang bisa dilakukan Jakarta untuk menyatukan suara ASEAN adalah dengan mengeluarkan joint statement atas nama ASEAN mengecam tindakan Tiongkok di Laut Cina Selatan yang bahkan sudah dianggap oleh Permanent Court of Arbitration (PCA) sebagai tindakan yang melanggar di Kepulauan Spratly. Di tahun 2016, ASEAN hampir sukses mengeluarkan joint statement tersebut, namun Kamboja (yang diduga atas tekanan Tiongkok) menolak untuk menyetujui pernyataan tersebut, dan membuat Filipina harus mengalah. Pernyataan yang dikeluarkan pada tahun 2016 ini pun hanya bersifat kekhawatiran akan adanya pelanggaran di wilayah Laut Cina Selatan.

Bahkan, pernyataan terbaru menteri-menteri luar negeri ASEAN, yang tertuang dalam ASEAN Foreign Ministers’ Statement On The Importance of Maintaining Peace and Stability in Southeast Asia, tidak sama sekali menyebut kata Laut Cina Selatan di dalamnya. Pernyataan ini, menurut hemat saya, lebih buruk dari yang dikeluarkan tahun 2016 silam.

Saya memahami bahwa posisi malu-malu kucing ASEAN disebabkan oleh kuatnya pengaruh Tiongkok di wilayah ini, khususnya di sektor ekonomi. Namun, tindakan malu-malu kucing ini lah yang membuat Tiongkok bisa semena-mena di Laut Cina Selatan. Jika negara-negara ASEAN bersatu secara yakin mengecam tindakan Tiongkok, saya percaya Tiongkok akan lebih khawatir, karena tentunya mereka juga tak ingin kehilangan pengaruh di Asia Tenggara. Namun, kembali lagi, satu syarat untuk menimbulkan kekhawatiran Tiongkok adalah dengan menyatukan suara ASEAN. Jika suara ASEAN masih terpecah belah, Tiongkok tak akan khawatir dan dapat terus bertindak seenaknya. Di sini lah, Indonesia perlu mengambil tampuk kepemimpinan.

Tentu kita semua lebih tak mau kalau nasib Asia Tenggara diserahkan kepada negara-negara seperti Amerika Serikat, Jepang, Australia, dan Tiongkok yang bahkan secara geografis tak terletak di wilayah ini, kan?

Hafizh Mulia adalah Pemimpin Redaksi Kontekstual. Bisa ditemui di Twitter dan Instagram dengan username @moelija.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *