Mixue, Tiktok, dan Multipolaritas Pop Culture

0

Maskot dan gerai Mixue. Foto: Instagram Mixue Indonesia

Ni ai wo, wo ai ni, mixue bing cheng tian mi mi

Sebagian besar dari masyarakat Indonesia, terutama mereka yang berumur di bawah 35 tahun, akan mampu mengenali lirik ini atau bahkan reflek bernyanyi. Lagu dengan maskot Snow King yang belakangan ini viral merupakan theme song dari suatu waralaba ice cream & milk tea bernama Mixue. Fenomena viralnya Mixue ini tidak hanya terjadi di dunia maya, tetapi juga di dunia nyata dengan ekspansinya di berbagai negara, termasuk Indonesia.

Kepopuleran Mixue yang cepat ini tidak seperti fenomena menyebarnya fast food chain sebagaimana biasanya. Hal ini disebabkan asal-usul Mixue dari Cina, pengenalannya melalui Tiktok, dan keunggulan ‘khas Cina’-nya. Oleh karena itu, fenomena ini dianalisis oleh penulis melalui pendekatan interdisipliner, terutama dari sisi analisis bisnis, sosial media, dan pop culture.

Analisis Bisnis: Strategi Khas Cina Sang Raja Eskrim

Besar kemungkinan pembaca artikel ini belum pernah membaca kisah kesuksesan Mixue—yang tidak seviral lagunya—meski sudah diangkat oleh banyak media Indonesia. Artikel ini akan memberikan latar singkat tentang kebangkitan Mixue dengan cara yang paling baik dideskripsikan sebagai cara yang ‘khas Cina’, yakni bertumpu kepada harga murah dan efisiensi distribusi.

Didirikan pada 1997 oleh Zhang Hongchao, Mixue pada awalnya hanyalah toko eskrim biasa tanpa nama. Bisnis Hongchao tersebut terbilang sukses dengan es krim 2 Renmimbi-nya yang laku keras. Berkat tokonya tersebut, Hongchao mampu memperoleh pendapatan hingga 100 RMB/hari. Harga yang murah ini kemudian terus menjadi penekanan dalam strategi bisnis Mixue kedepannya.

Setelah bertahun-tahun melalui trial and error, Hongchao dan keluarganya meresmikan perusahaan eskrimnya sebagai waralaba dengan nama Mixue Bingcheng pada 2008. Dengan model waralaba tersebut, Mixue melakukan ekspansi ke provinsi-provinsi lainnya di Cina hingga memiliki lebih dari 1000 cabang pada 2014. Akan tetapi, di saat ini juga Mixue menghadapi persaingan dari penjual milk tea lainnya di Cina, seperti Naixue dan Hey Tea, yang telah terlebih dahulu ada di kota-kota besar Cina. 

Dihadapkan dengan rivalnya di kota-kota pesisir Cina, Mixue menghadapi masalah baru soal harga. Kebanyakan pesaing menjual produk dengan harga 20-30 RMB, sementara Mixue yang menjual eskrim dengan harga murah dianggap menggunakan bahan yang tidak berkualitas bahkan berbahaya oleh banyak konsumen kelas atas. Dalam hal ini, Mixue tidak dapat dengan mudah menaikkan harga, sebab banyak konsumennya di daerah rural Cina yang tidak mampu membeli eskrim dengan harga sedemikian tinggi. Terdapat ketegangan antara konsumen urban dan rural di Cina.

Maka, Mixue kemudian memutuskan untuk tetap menjual eskrimnya dengan harga murah, yakni dalam rentang 5-10 RMB secara nasional. Mixue melengkapinya melakukan kampanye sosial media, yang juga diviralkan oleh banyak pelanggannya, bahwa produknya tidak menggunakan bahan berkualitas rendah dan tidak memandang status ekonomi pelanggannya.

Di sisi lain, harga Mixue yang murah juga dimungkinkan oleh fokusnya pada pembuatan rantai pasokan (supply chain) dari waralabanya. Dalam sistem ini, pihak Mixue menjadi penyuplai mesin, packaging, dan berbagai bahan-bahan produk Mixue. Pengadaan yang dilakukan sampai ke titik pembuatan kebun teh, pabrik perisa, dan lainnya yang dimiliki langsung oleh Mixue. Dengan demikian, Mixue dapat menghemat biaya hingga 20% dibandingkan dengan pesaing-pesaingnya. Mixue juga memberikan pinjaman bebas bunga bagi pihak yang ingin membuka cabang Mixue, yang mempercepat ekspansi Mixue di Cina. Kedepannya, lebih dari 80% pendapatan Mixue berasal dari penjualan bahan-bahan tersebut, menjadikannya lebih menyerupai perusahaan supply chain ketimbang waralaba.

Penekanan pada harga murah dan efisiensi distribusi ini juga dipertahankan dalam ekspansi bisnisnya di luar negeri. Harga yang sedemikian murah juga dapat ditemukan di cabang Mixue di Indonesia. Untuk produk eskrim, Mixue hanya membanderol harga Rp8.000 untuk eskrim cone ukuran besar, dengan harga paling mahal Rp16.000. Jangankan dengan eskrim McDonalds apalagi Baskin-Robbins, harga semurah itu bahkan menyaingi penjual eskrim kaki lima yang berkeliling di jalanan. Sementara untuk produk milk tea, harganya dibanderol Rp10.000-22.000 saja, sekali lagi jauh lebih murah dari pesaing di sektornya seperti Chatime.

Analisis Sosial Media: TikTok Sebagai Kunci Internasionalisasi

Mixue pertama kali melebarkan sayap bisnisnya ke negara lain pada tahun 2018 dengan membuka cabang luar negeri pertamanya di Hanoi, Vietnam. Namun, dalam kurun waktu 2018 dan 2019 ekspansi Mixue di luar negeri terbilang tidak begitu cepat. Padahal, Mixue tetap mempertahankan keunggulannya di harga dan efisiensi distribusi. Sementara di Indonesia, cabang pertama Mixue dibuka di Cihampelas Walk, Kota Bandung pada Maret 2020. Akan tetapi, kita semua tahu apa yang terjadi di Maret 2020, yakni masuknya pandemi COVID-19 ke Indonesia.

Ekspansi eksponensial Mixue di mancanegara baru dapat diamati mulai 2021 dan terutama di 2022. Perkembangan Mixue dalam kurun waktu ini difasilitasi oleh pengenalan Mixue dengan theme song yang disebutkan di awal, dikombinasikan dengan maskot Snow King khasnya. Pada awalnya, lagu Mixue ini dikenalkan melalui saluran televisi dan cabang-cabang Mixue pada Juli 2020. Baru pada Juni 2021, lagu ini kemudian juga dirilis di berbagai sosial media Cina seperti Weibo, Bilibili, dan Douyin atau Tiktok versi Cina. Langkah ini kemudian mampu lebih mengenalkan merek Mixue kepada audiens Cina secara nasional.

Sementara itu, pengenalan Mixue terhadap audiens di luar Cina terjadi secara menentukan melalui Tiktok. Melalui alat analytics Tiktok, dapat diketahui bahwa tagar #mixue merupakan salah satu tagar populer di 2022 yang mencapai hampir 1 miliar views secara keseluruhan. Jumlah tersebut terbilang banyak sebagai merek eskrim yang sebelumnya tidak terkenal. Dalam hal ini, maka pertanyaan yang menarik untuk ditanyakan adalah, kenapa Tiktok? Bukan Facebook, Instagram, ataupun Youtube yang notabene berasal dari AS dan menjadi media tradisional untuk marketing perusahaan lainnya.

Sebelumnya, perlu diketahui bahwa terdapat pemisahan antara Tiktok secara global dengan Tiktok di Cina dengan nama Douyin, yang merefleksikan pemisahan internet Cina dengan dunia. Namun—meski penulis juga belum memahami betul—tampak masih ada hubungan antara Douyin dan Tiktok. Setidaknya, apa yang viral di Douyin juga dapat dengan mudah viral di Tiktok karena keduanya menggunakan algoritma yang serupa—jika tidak dapat dibilang sama.

Tiktok menjadi media yang strategis bagi Mixue karena merupakan satu-satunya media sosial dari Cina yang sukses secara global dan merupakan media sosial paling cepat yang dapat mencapai jumlah satu miliar pengguna secara global, menyaingi media sosial lainnya. Namun, cara untuk viral di Tiktok juga berbeda dengan sosial media lainnya. Banyak hal yang tidak terduga dapat tiba-tiba viral dalam waktu cepat, sementara hal yang terencana belum tentu viral.

(Sumber: Tiktok Creative Center)

Dalam hal ini, meski Mixue memang mencoba memperkenalkan lagu dan maskotnya di Tiktok, tetapi hal yang terjadi selanjutnya tampak terjadi secara tidak sengaja seperti snowball effect, bukan bagian dari marketing Mixue secara sengaja. Berdasarkan data analytics Tiktok, viralnya Mixue sudah berlangsung sejak 2021 dan terkonsentrasi paling banyak di Indonesia diikuti oleh negara lainnya di Asia Tenggara. 

Hal ini kemudian diikuti oleh manajemen Mixue dengan meningkatkan ekspansi pada 2021 dengan membuka 7643 cabang baru. Data pembukaan cabang Mixue pada 2022 belum tersedia, tetapi terdapat ekspektasi tinggi bahwa pembukaan dapat melebihi pencapaian tahun 2021. Laporan di lapangan juga menyebutkan bahwa terdapat hingga 1000 pembukaan cabang baru di masing-masing Vietnam dan Indonesia. Fakta di lapangan bahwa ekspansi Mixue terjadi dengan cepat menambah keviralan yang sudah ada sebelumnya dengan fakta di dunia nyata, yang juga dapat diamati di Tiktok.

Analisis Kultural: Multipolaritas Pop Culture dan Food Chain Multinasional

Lebih jauh, penulis juga beranggapan bahwa penerimaan Mixue bukan hanya konsekuensi strategi bisnis yang efektif dan viralnya Mixue di media sosial, tetapi juga penerimaan secara kultural.

Terdapat artikel menarik dari The Economist pada Oktober lalu yang menunjukkan bahwa pop culture di dunia telah menjadi multipolar. Pernyataan ini berangkat dari ketakutan sebelumnya, terutama di awal masa digital, bahwa pop culture akan menjadi monoculture atau kultur unipolar, dalam artian pop culture akan didominasi oleh budaya dari Barat. Namun, kenyataan yang dapat kita amati sekarang adalah munculnya pop culture dari berbagai penjuru dunia lainnya. Bollywood berkuasa di India, gelombang Hallyu dari Korea menyapu dunia, dan audiens dunia memiliki preferensi pop culture yang semakin beragam—bukannya semakin homogen.

Dalam hal ini, makanan dan minuman adalah produk kultural yang terbilang jarang dibahas dalam konteks pop culture. Padahal, makanan dan minuman—beserta nuansa yang meliputinya—adalah produk budaya.

Di dunia pasca-perang, dapat kita amati ekspansi awal makanan secara global sebagai pop culture dipelopori oleh perusahaan-perusahaan multinasional dari Barat, terutama AS. Mulai dari KFC, McDonalds, Coca Cola, Pizza Hut, dan berbagai merek lainnya mulai melakukan ekspansi ke berbagai penjuru dunia di dekade 1960an. Hingga hari ini, merek-merek tersebut masih menjadi fast food chain paling besar di dunia dengan puluhan ribu cabang di seluruh dunia.

Dalam hal ini, perlu diperhatikan bahwa makanan memiliki karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan produk kultural lainnya. Tidak seperti film dan musik yang dapat diakses melalui internet, makanan hanya dapat dinikmati dengan merasakannya secara langsung dengan lidah kita. Sementara produsen musik dapat hanya merekam lagu di studio musik di negara asalnya, perusahaan makanan multinasional harus mendirikan gerai di berbagai negara. Disinilah perusahaan multinasional memiliki peran sentral dalam distribusi makanan sebagai produk budaya.

Multipolaritas juga dapat diamati dalam pertarungan perusahaan makanan multinasional. Di dekade 1990an, penikmat makanan dunia mulai familiar dengan produk makanan Jepang seperti sushi dan ramen, diikuti dengan makanan Korea seperti kimchi dan tteokbokki, dan diikuti banyak makanan lainnya dari Asia. Namun, kebanyakan produk-produk makanan non-Barat ini masuk secara sporadis, alias tidak secara dominan difasilitasi oleh perusahaan multinasional. Berdasarkan pengamatan penulis, mayoritas produk makanan non-Barat dikembangkan oleh pengusaha lokal di negara tersebut atau diaspora dari negara terkait. Rasanya sulit menemukan cabang Sushi Tei atau Sushi Hiro yang populer di Indonesia di negara lain.

Kepopuleran Mixue menjadi anomali dari fenomena ini. Makanan Cina—dalam artian dari perusahaan Cina—rasanya tidak dapat banyak ditemukan di Indonesia saat ini. Makanan Cina sendiri tampak masih kalah pamor dari makanan Jepang dan Korea. Namun, jika kita kembali ke asumsi multipolaritas pop culture di awal, kekosongan makanan Cina ini justru dapat menjadi peluang bagi Mixue. Oleh karena ketiadaan makanan Cina sebelumnya, Mixue dapat muncul menjadi suatu alternatif dari dominasi makanan Barat. Produk budaya lainnya akan cenderung mengimbangi produk budaya yang dominan—meski argumen ini tentu saja berdiri dengan tanda bintang (*) yang besar.

Akan tetapi, produk Mixue sendiri bukanlah produk yang khas Cina bukan? Eskrim dan milk tea rasanya bukan menjadi ciri khas negara tertentu.

Dalam hal ini penulis harus setuju. Namun, perlu diperhatikan penjelasan sebelumnya, bagaimana Mixue masuk melalui Tiktok dengan lagunya dalam bahasa Mandarin. Dari pengenalan tersebut, kita mengenal Mixue sebagai merek dari Cina, sebagaimana kita mengenal McDonalds sebagai merek dari AS. Pada akhirnya, perihal identitas suatu waralaba dipengaruhi oleh banyak hal, diantaranya adalah persepsi afiliasinya dengan suatu negara.

Secara sederhana, pengenalan Mixue melalui Tiktok menunjukkan mereknya sebagai sesuatu yang ‘baru’ dari negara yang ‘baru’ juga, dibandingkan dengan status quo dunia. Penerimaan dan reproduksi lagu (beserta maskot) Mixue di Indonesia meluas dengan mudah karena posisinya yang unik. Audiensnya di Indonesia (dan mungkin juga negara lainnya) cukup familiar untuk dapat mengenalinya sebagai bahasa Mandarin, meski tidak memahaminya, dan menerimanya sebagai sesuatu yang lucu, sehingga dapat menjadi viral dengan cepat. 

Misalnya, tren #mixue ini dapat kita sandingkan dengan tren yang mirip dan terjadi dalam rentang waktu yang kurang-lebih sama, yakni tren pegulat John Cena yang berbicara bahasa Mandarin dalam tagar #bingchilling yang tidak kalah populer. Apakah kita mengerti artinya? Tidak. Apakah lucu melihat orang kulit putih berbicara bahasa Mandarin sambil makan eskrim? Tentu saja. Ketika Mixue mengimbangi tren ini dengan ekspansi di lapangan, terjadi persilangan antara fenomena bisnis, media sosial, dan pop culture.

Hikmah dari Fenomena Mixue

Per Maret 2022, Mixue tercatat telah memiliki 21.582 gerai secara global. Jumlah ini hanya setengah dari total gerai McDonalds yang mencapai 40.031 gerai, terbanyak di dunia. Meski begitu, seperti Tiktok dibandingkan dengan media sosial lain, perkembangannya yang pesat membawa banyak hal yang menjanjikan, tidak hanya bagi Cina, tetapi juga negara lainnya.

Selama ini, Cina memberikan fokus pengembangan ekonomi yang berlebih untuk menjadi “pabrik dunia”. Padahal, fondasi power secara ekonomi tidak hanya terdiri dari manufaktur dan surplus ekspor, tetapi juga jaringan bisnis multinasional yang luas dan resilien. Pada gilirannya, jaringan multinasional ini, terutama yang menghasilkan produk kultural, juga dapat menghasilkan bentuk power baru, yakni soft power. Dalam kasus AS, soft power, pop culture, dan jaringan multinasional yang kuat merupakan bagian penting dari power AS secara keseluruhan.

Mixue juga telah menunjukkan kepada pelaku bisnis dan ahli seni di Cina dan negara lainnya, terutama di bidang pop culture, bahwa terdapat potensi besar untuk mendisrupsi pasar. Mixue menjadi bukti multipolaritas pop culture dengan mendobrak lanskap pasar makanan global yang selama ini didominasi oleh multinasional dari Barat, tentunya dengan keunggulan bisnis yang kuat pula. Hal ini secara khusus berlaku bagi Cina yang memiliki potensi soft power besar, tetapi realisasi yang sejauh ini minim. Hal ini ditambah dengan adanya Tiktok sebagai media sosial non-Barat pertama yang mempermudah sesuatu untuk menjadi viral. Bagaimanapun juga, menjadi populer adalah syarat pertama untuk dapat sukses dalam bisnis pop culture.

Referensi

CNN Indonesia. (2022, 28 Desember). Siapa Pendiri Mixue, Gerai Es Krim yang Ada di Tiap Pengkolan Jalan?. Diakses melalui https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20221228145648-92-893187/siapa-pendiri-mixue-gerai-es-krim-yang-ada-di-tiap-pengkolan-jalan 

CNN Indonesia. (2022, 28 Desember). Gerai Mixue Menjamur, Kenapa Harga Es Krimnya Bisa Murah?. Diakses melalui https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20221228130840-92-893100/gerai-mixue-menjamur-kenapa-harga-es-krimnya-bisa-murah 

Food Talks. (2022, 11 Maret). The Chinese Fresh Ice Cream & Tea Brand That Exploded on The Internet with Its Theme Song, Mixue Bingcheng. Diakses melalui  https://www.foodtalks.cn/news/16045

McDonalds Corporation. (2022). McDonalnd’s 2021 Annual Report. Diakses melalui https://corporate.mcdonalds.com/content/dam/gwscorp/assets/investors/events-presentations/meeting-resources/MCD%202021%20Annual%20Report.pdf 

Mixue Bingcheng. (n.d.). Our History. Diakses melalui https://en.mxbc.com/brand#history 

The Economist. (2022, 6 Oktober). How Pop Culture Went Multipolar. Diakses melalui https://www.economist.com/international/2022/10/06/how-pop-culture-went-multipolar

The Low Down. (2022, 26 September). China’s largest drinks franchise opened 7,643 new stores last year. Diakses melalui https://thelowdown.momentum.asia/chinas-largest-drinks-franchise-opened-7643-new-stores-last-year/ 

Tiktok Creative Center. (n.d.). #mixue. Diakses melalui https://ads.tiktok.com/business/creativecenter/hashtag/mixue/pc/en?period=7 

Tiktok Creative Center. (n.d.). #bingchilling. Diakses melalui https://ads.tiktok.com/business/creativecenter/hashtag/bingchilling/pc/en?period=7 

Ikhlas Tawazun merupakan lulusan dari Hubungan Internasional Universitas Indonesia dan Editor-in-Chief Kontekstual. Dapat ditemui di Instagram dengan nama pengguna @tawazunikhlas 

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *