Navalny: Titipan Amerika Serikat untuk ‘Menggoyahkan’ Putin?

0

Ilustrasi Vladimir Putin dan Alexei Navalny. Foto: Leon Xuereb

Drama Alexei Navalny di Rusia menjadi perhatian dunia sejak diracunnya Navalny dalam perjalanan pesawat dari Tomsk ke Moskow pada Agustus 2020. Navalny diyakini diracun menggunakan senjata kimia Novichok, zat yang sama yang diyakini digunakan untuk meracuni mantan agen intelijen Rusia di Inggris, Sergei Skripal, tahun 2018. Setelah beberapa bulan menjalani perawatan intensif di sebuah klinik di Jerman, Navalny pulang ke Rusia pada 17 Januari 2021 dan sesampainya di Bandara Sheremetyevo, Moskow, Navalny langsung ditangkap di kontrol paspor dan akhirnya dijatuhi hukuman penjara akibat kasus suap tahun 2014.  

Penangkapan Navalny mendorong protes dari beberapa elemen masyarakat Rusia. Pada 24 dan 31 Januari 2021, ribuan orang di puluhan kota di Rusia mengadakan unjuk rasa meminta pembebasan Navalny. Dalam unjuk rasa yang disebut aktor-aktor pemerintah sebagai “aksi-aksi illegal” ini, ratusan demonstran ditangkap—termasuk saudara kandung dan istri Navalny. Penangkapan Navalny dan tindak kekerasan terhadap pengunjuk rasa mendorong respons keras dari negara-negara Barat. Amerika Serikat, Uni Eropa (termasuk beberapa negara anggotanya secara individu), dan Australia mengutuk penangkapan Navalny serta mengancam akan menjatuhkan sanksi terhadap Rusia (The Moscow Times, 2021). Di sisi lain, Rusia mengusir diplomat Jerman, Swedia, dan Polandia yang ikut serta dalam “aksi bela Navalny” ini dengan tuduhan campur tangan dalam urusan dalam negeri Rusia. Tetapi, sebesar apa sesungguhnya dampak fenomena Navalny ini, dan apakah memang Navalny—seperti yang diklaim beberapa media Barat—adalah ancaman terbesar bagi Presiden Vladimir Putin dan diyakini berpotensi mengambil kekuasaan di Rusia? Penulis akan mencoba menjawab pertanyaan itu dalam artikel ini.

Pertama, penulis akan membahas biografi Navalny secara singkat. Alexey Anatolievich Navalny lahir di sebuah desa di pinggiran kota Moskow pada 1976. Ia berkuliah di Universitas Persahabatan Rakyat Rusia dan kemudian berkarir sebagai pengacara. Navalny juga memasuki dunia bisnis, dan ketika itu ia melihat bagaimana para oligarki dapat mencari keuntungan dari hasil korupsi dan kronisme yang cukup kuat dalam perekonomian Rusia saat itu. Nama Navalny mulai dikenal di Rusia ketika tahun 2011 ia menggunakan media sosial untuk mengkritik pemerintahan Putin dan meyakini adanya kecurangan Pemilu. Tahun 2013, Navalny ikut serta dalam pemilihan wali kota Moskow, tetapi dikalahkan Sergei Sobyanin yang pro-Putin (RIA Novosti, 2020). Di tahun-tahun setelahnya, Navalny menggunakan kanal YouTube dan beberapa akun sosial medianya dan menduga pejabat-pejabat tinggi Rusia melakukan korupsi besar-besaran. 

Tahun 2017, Navalny merilis video On Vam Nye Dimon (Jangan Panggil Dia Dimon) yang menuduh Perdana Menteri Rusia saat itu, Dmitry Medvedev, melakukan korupsi. Saat ini, video On Vam Nye Dimon sudah diputar lebih dari 42 juta kali di YouTube (termasuk beberapa kali oleh penulis sendiri, yang menontonnya karena penasaran). Beberapa hari setelah ditangkap di Moskow pada Januari 2021, Navalny merilis video baru yang lebih greget, yang berjudul Dvorets dlya Putina: Istoria Samoi Bolshoi Vzyatki (Istana untuk Putin: Sejarah Suap Terbesar) yang meyakini Putin memiliki istana Rusia di Tanjung Idokopas, Rusia, yang di dalamnya terdapat tempat diskotik dan ruang pesta serta dibangun menggunakan uang korupsi. Video Dvorets dlya Putina saat ini sudah diputar lebih dari 110 juta kali (lagi-lagi termasuk penulis sendiri, yang juga menontonnya karena penasaran).

Dari biografi Navalny, kita bisa melihat bagaimana Navalny meyakini adanya korupsi besar-besaran dalam pemerintahan Rusia dan membocorkannya kepada publik. Aksi unjuk rasa mendukung Navalny dan dampak sosial dari video-videonya yang banyak diputar memberi kesan bahwa sebagian besar rakyat Rusia mendukung Navalny dan melihat korupsi yang dilakukan Putin dan kroninya. Namun, data statistik nampaknya tidak menunjukkan demikian. Menurut data Levada Center, sebuah lembaga jajak pendapat independen, meskipun cukup banyak masyarakat Rusia yang sudah menonton video tersebut, namun banyak yang tidak percaya dengan dugaan/klaim yang diutarakan Navalny dalam video itu. Data tersebut menyebutkan 26 persen masyarakat Rusia sudah menonton video Istana Putin. Namun, 77 persen responden menyebutkan video ini tidak merubah sikap mereka terhadap Putin dan hanya 17 persen yang menyebut video ini membuat pandangan mereka terhadap Putin memburuk (The Moscow Times, 2021).

Sementara itu, 33 persen responden tidak mempercayai klaim-klaim dalam video tersebut, dengan 17 persen mempercayai dan sisanya ragu-ragu atau tidak menjawab. Kemudian, 29 persen menyebut Putin tidak pernah menyalahgunakan kekuasaannya, sedangkan 24 persen menyebut kalaupun klaim Navalny itu benar, kehidupan masyarakat Rusia membaik di era Putin. Di sisi lain, pada Januari 2021 disebutkan 64 persen masyarakat Rusia “approve the activities of Putin” dan 31 persen menjawab sebaliknya (Statista, 2021). Sementara itu, jajak pendapat dari lembaga yang sama menunjukkan respons masyarakat Rusia ketika ditanya tentang siapa yang layak menjadi Presiden Rusia pada 2024; 40% menjawab Putin dan hanya 7% yang menjawab Navalny (Levada Center, 2021). Dari sini, dapat dilihat bahwa jumlah masyarakat yang pro-Navalny dan anti-Putin relatif nyatanya tidak begitu besar untuk cukup dilihat sebagai ancaman.  

Dengan kepopuleran Putin yang cukup tinggi karena beberapa pencapaian yang pernah dicapainya selama memerintah seperti meningkatkan pendapatan masyarakat Rusia, menurunkan angka kriminalitas, meningkatkan kualitas pembangunan di beberapa wilayah Rusia (seperti Moskow, Sochi dan Vladivostok,) dan mendorong kembalinya Rusia sebagai great power, sulit bagi masyarakat Rusia untuk mencari alternatif selain Putin—terlepas dari potensi skandal yang melingkupinya. Selain itu, sejarah Rusia juga menunjukkan bahwa pemimpin-pemimpin otoriter justru lebih bertahan lama karena dianggap bisa menjaga kestabilan di Rusia, seperti dalam kasus Ivan the Terrible atau Stalin, sementara pemimpin yang lebih demokratis dianggap lemah dan tidak bisa membuat negara kuat—seperti dalam kasus Tsar Nikolai II, Gorbachev dan Yeltsin. Dengan demikian, sulit bagi masyarakat Rusia untuk mengharapkan Navalny sebagai pemimpin, terutama khawatir akan adanya potensi ketergantungan terhadap Barat dan pelemahan status Rusia secara internasional.

Dalam tulisan ini, penulis tidak akan memberikan opini tentang apakah klaim Navalny ini benar atau salah. Tetapi, menurut penulis, penting untuk mencermati fenomena yang terkait, yaitu sikap Amerika Serikat terhadap oposisi Rusia. Jika melihat kebijakan Amerika Serikat, ada kecenderungan untuk mendukung proses demokratisasi di seluruh dunia dan tidak serta-merta akan menggunakan kekuatan militer untuk mendorong demokratisasi ini, seperti dalam kasus Irak dan Libya. Dalam kasus Navalny, AS termasuk negara yang mendorong pembebasan Navalny dan bahkan merilis lokasi dan jadwal demo pro-Navalny di berbagai kota di Rusia dalam situs kedutaan besarnya di Rusia. Di tahun sebelumnya, Kedutaan AS di Rusia juga pernah mengundang kontroversi dengan mengibarkan bendera pelangi sebagai simbol LGBT yang dilarang ditunjukkan di tempat umum di Rusia.Beberapa ahli dan praktisi AS ingin agar AS terlibat dalam proses demokratisasi di Rusia. Dalam memoarnya, Duta Besar AS untuk Rusia Michael McFaul menyebut “demokratisasi” sebagai salah satu hal yang ingin dilakukannya ketika menjadi duta besar di Rusia (McFaul, 2019). Pada awal 2014, McFaul diusir dari Rusia dan dinyatakan persona non grata. Jika merujuk kembali Konvensi Wina 1961, seorang diplomat tidak boleh campur tangan dalam urusan dalam negeri negara penerimanya, sehingga tindakan Rusia mengusir McFaul dapat dilihat sebagai pelaksanaan konvensi ini. Sementara itu, beberapa ahli lain seperti Victoria Nuland menyebut pentingnya dukungan Amerika Serikat bagi masyarakat sipil di Rusia (Nuland, 2020). Melihat hal-hal ini, termasuk dengan fakta bahwa Navalny pernah mendapat beasiswa dari Universitas Yale di Amerika Serikat, kita melihat adanya hipotesis bahwa Navalny didukung oleh Amerika Serikat untuk “membawa demokrasi di Rusia”. Benar atau tidaknya hipotesis ini, kita lihat saja. Namun yang pasti, fenomena Navalny adalah salah satu fenomena penting yang dapat diamati dalam memahami politik Rusia kontemporer dan hubungannya dengan Amerika Serikat, meskipun, seperti yang dijelaskan di atas, kecil kemungkinan Navalny bisa menggantikan Putin.

Referensi:

Levada Center. (2020, Oktober 12). Prezidentskie elektroral’nye reytingi i uroven’ doveriya politikam. Levada Center.  https://www.levada.ru/2020/12/10/prezidentskie-elektoralnye-rejtingi-i-uroven-doveriya-politikam/

McFaul, Michael. (2018). From Cold War to Hot Peace: An American Ambassador in Putin’s Russia. Houghton Mifflin Harcourt.

Nuland, Victoria. (2020). Pinning Down Putin: How a Confident America Should Deal with Russia. Foreign Affairs. 99 (4). 93-106.

RIA Novosti. (2013). Biografiya Alekseya Naval’nogohttps://ria.ru/20130718/950566935.html,

Statista. (2021). Vladimir Putin monthly approval ratings. Statista. https://www.statista.com/statistics/896181/putin-approval-rating-russia/

The Moscow Times. (2021, Februari 8). 1 in 4 Russians Watched Navalny’s Putin Palace Investigation–Poll. The Moscow Times. https://www.themoscowtimes.com/2021/02/08/1-in-4-russians-watched-navalnys-putin-palace-investigation-poll-a72861 

The Moscow Times. (2021, Februari 3). Pure Cowardice: World Leaders React to Navalny’s Imprisonment. The Moscow Times . https://www.themoscowtimes.com/2021/02/03/in-quotes-world-leaders-react-to-navalnys-imprisonment-a72812

Jonathan Jordan adalah mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Indonesia yang memiliki minat pada kajian politik dan kebijakan luar negeri Rusia. Dapat ditemui di Instragram dengan nama pengguna @yurichernousov

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *