Remuknya Kearifan Lokal di Tangan Industri Pariwisata

0

Ilustrasi budaya lokal di Bali. Foto: pixabay.com.

Saya baru saja menonton kembali film dokumenter berjudul Banda: The Dark Forgotten trail, sebuah dokumenter yang menceritakan masa kejayaan Pulau Banda dan Buah Pala di masa lampau. Namun, ada sebuah kutipan yang sangat menarik dari seorang narasumber di film tersebut,

“saya tidak mau Banda menjadi Bali kedua, mereka tidak tahu apa yang mereka lihat.”

Hal ini membuat saya berpikir seburuk apakah yang terjadi di Bali, sehingga Orang Banda tidak menginginkan Banda menjadi Bali. Saya menemukan jawabannya ketika saya melihat sebuah utas di Twitter yang dibuat oleh akun @adorkableracer mengenai kelakuan nyeleneh turis-turis asing di Bali yang nampaknya sangat jauh dari kata menghargai penduduk lokal.

Apakah Turis Sama Sekali Tidak Mengerti Apa yang Mereka Lihat?

Saya tidak hanya mengomentari mengenai perilaku turis asing yang jauh dari kata menghargai, turis domestik yang mempunyai nilai budaya tidak jauh berbeda dengan penduduk lokal juga nampaknya 11-12 perilakunya.

Masih ingat ketika orang berbondong-bondok datang ke New Zealand van Java yang cukup menghebohkan di awal 2020? Atau apakah kita lupa dengan kerusakan yang terjadi di taman bunga Amaryllis Jogjakarta medio 2015?

Ya, kerusakan yang terjadi di sana disebabkan oleh sikap Fear of Missing Out atau FOMO yang merusak, oleh orang-orang yang tidak ingin ketinggalan untuk meng-update media sosial mereka. Hal ini menunjukan bahwa mereka tidak paham apa yang mereka lihat dan hanya ingin ikut-ikutan saja.

Untuk turis asing, hal ini sering terjadi di tempat-tempat wisata di Indonesia yang sudah terkenal seperti Bali. Saya sudah terlalu sering melihat kelakuan mereka yang viral di media sosial, seperti aksi melompati sepeda motor yang sedang berjalan, perusakan yang terjadi dalam keadaan mabuk, dan sikap tidak menghormati hal-hal yang dianggap keramat dan relijius oleh penduduk lokal. Belum lagi perilaku begpacker, yakni turis asing yang kehabisan uang untuk berlibur dan justru menjadi pengemis di tempat keramaian atau di jalanan.        

Perilaku turis-turis asing ini menunjukan bahwa mereka sama sekali tidak mengerti apa yang mereka lihat; sifat ramah-tamah para penduduk lokal terhadap turis yang datang malah disalahgunakan dan justru membuat mereka semena-mena kepada penduduk lokal serta tidak menghargai kearifan lokal yang berlaku di tengah masyarakat. Padahal kearifan lokal dan adat istiadat merupakan salah satu hal yang menjadi nilai jual sebuah tempat pariwisata, selain keindahan alamnya.

Aksi Menolak Pariwisata di Indonesia, Mungkinkah?

Ketika berbicara mengenai pariwisata, sebagian besar orang menganggap bahwa turis yang datang harus selalu menjadi prioritas utama, mayoritas infrastruktur dibangun guna memuaskan dan mempermudah keinginan wisatawan, seperti akses transportasi, akomodasi, dan kuliner. Jarang melihat kebijakan pariwisata diambil berdasarkan kehendak warga lokal. Biasanya warga lokal dianggap akan mendapatkan keuntungan ketika tempat wisata tersebut sudah ramai dikunjungi. Warga lokal dianggap harus mampu menenggang rasa terhadap setiap perilaku yang dilakukan oleh wisatawan yang berkunjung.

Hal ini mulai memunculkan sikap resistensi warga lokal kepada wisatawan yang hadir ke wilayah mereka. Di beberapa negara telah terjadi gerakan antipariwisata seperti yang terjadi di Barcelona dan Venesia. Keduanya merupakan tempat wisata utama di Spanyol dan Italia, jutaan orang setiap tahunnya mengunjungi keduanya.

Alasan utama penolakan wisatawan ini terjadi setidaknya akibat empat hal, yaitu kondisi daerah yang menjadi terlalu ramai, polusi lingkungan, perilaku wisatawan yang buruk, dan harga yang menjadi mahal bagi warga lokal karena penjual menyesuaikan harga dengan turis yang datang. Bahkan dalam masalah polusi, terjadi fenomena yang unik di Venesia. Ketika tidak ada wisatawan yang berkunjung, polusi turun secara signifikan, yang mengakibatkan munculnya beberapa satwa yang selama bertahun-tahun tidak pernah muncul. 

Kehadiran tempat penginapan seperti hotel dan sejenisnya juga semakin memperkecil dan menggeser ruang hidup warga lokal semakin menjauh dari pusat wisata, mengakibatkan keuntungan yang dapat diambil oleh warga lokal dari pariwisata semakin kecil. Hotel-hotel dan tempat penginapan yang representatif didominasi oleh pemilik modal besar dan menghasilkan keuntungan yang lebih besar, terutama jika dibandingkan dengan apa yang dapat diambil oleh warga lokal.

Terlebih lagi, terdapat banyak kasus mengenai bagaimana penyerobotan lahan masyarakat, seperti kasus yang terjadi di Jogjakarta, yakni ketika aktivitas sebuah penginapan terindikasi mengakibatkan sumur warga disekitarnya menjadi kering untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun. Jika semakin banyak kegiatan pariwisata yang merugikan warga sekitarnya, nampaknya hal ini akan menjadi bom waktu yang akan segera meledak jika tidak ditangani dengan serius oleh semua pihak terkait.        

Selanjutnya, Apa Yang Harus dilakukan? 

Dalam kondisi pandemik seperti ini, pariwisata menjadi salah satu sektor yang sangat terpukul. Siapa juga yang berpikiran untuk berwisata di saat wabah seperti ini, ketika tuntutan utama bagi semua orang adalah untuk tetap bertahan hidup, baik menghindari penyakit, maupun untuk tetap memiliki uang ketika sedang menghadapi ketidakpastian pekerjaan yang sewaktu-waktu dapat hilang.

Pariwisata, sebagai kebutuhan yang melengkapi kebutuhan lainnya, mati suri ketika semua orang lebih dahulu memikirkan kebutuhan utama dalam hidupnya. Ketika nantinya semua akan menjadi normal, baik normal yang lama maupun normal yang baru, dan pariwisata kembali bergeliat, ada perlunya untuk meninjau kembali setiap kebijakan pariwisata yang ada. Masih segar di ingatan ketika wabah ini merebak, kebijakan yang dibuat justru mempermudah arus pariwisata, ketika negara-negara lain mengambil langkah yang lebih hati-hati, yakni menghambat arus keluar masuk orang. Jangan sampai harapan yang terlalu berlebih kepada wisatawan malah mengabaikan dan melupakan warga lokal yang secara de facto merupakan pemilik tempat tersebut. Jika pengabaian ini terjadi, aksi penolakan yang terjadi di Barcelona dan Venesia sangat mungkin terjadi di Indonesia.

Mohd Derial adalah alumni Manajemen Universitas Sumatera Utara. Dapat dihubungi melalui Twitter dan Instagram di @mderial

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *