Pembangunan ala IMF Picu Kerawanan Pangan di Kongo

0

Anak-anak di Kongo sedang menyantap makanannya. Foto: The Borgen Project

Kerawanan pangan menjadi salah satu isu yang digeluti Republik Demokratik Kongo (RDK) bertahun-tahun lamanya. Sejak tahun 1990-an, negara yang terus-terusan dilanda konflik tersebut telah mengalami perubahan besar dalam pola produksi dan konsumsi sehingga kerawanan pangan yang berkelanjutan tak dapat terhindarkan. Kondisi kerawanan pangan ini telah menjadi begitu kronis, bahkan Food and Agriculture Organization (FAO) menyatakan bahwa RDK merupakan negara dengan krisis pangan terbesar di dunia berdasarkan tingginya angka penduduk yang terdampak pada Desember 2020.

Mendukung “penobatan” tersebut, Integrated Food Security Phase Classification (IPC) melaporkan bahwa 27 juta penduduk RDK terancam mengalami kerawanan pangan akut, sementara 860 ribu balita dan 470 ribu ibu hamil diprediksi akan menderita malnutrisi pada tahun 2022 (IPC, 2021). Berkaca dari keberlanjutan isu kerawanan pangan ini, penulis akan membahas mengenai kerawanan pangan sebagai salah satu masalah pembangunan ekonomi di RDK. Artikel ini juga menyajikan argumen bahwa kerawanan pangan yang terjadi berakar dari peminggiran sektor agrikultur akibat implementasi pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan dan merupakan konsekuensi dari program penyesuaian struktural dan komprehensif IMF untuk mendapatkan pinjaman atau keringanan utang (debt relief).

Berkurangnya Perhatian Terhadap Sektor Potensial

Ketergantungan RDK pada organisasi finansial dunia tercatat telah berlangsung sejak pemerintahan Mobutu Sese-Seko, utamanya pasca oil shock pada tahun 1973-1974 dan kejatuhan harga tembaga di pasar internasional pada tahun 1975 (Kiakwama & Chevallier, 1999). Hal ini, diperparah dengan kegagalan kebijakan nasionalisasi di era yang sama, kemudian membawa RDK yang kala itu bernama Zaire ke dalam keterpurukan ekonomi yang ditandai dengan resesi hingga -3,5% dan inflasi yang mencapai 75% per tahunnya (Ibid).

Sebagai upaya stabilisasi perekonomian, pemerintah pun mulai mengajukan pinjaman kepada organisasi finansial dunia, termasuk IMF. Setelah pergulatan alot, IMF akhirnya setuju untuk memberikan bantuan pada RDK dengan berbagai syarat untuk melakukan neoliberalisasi  ekonomi mereka yang kebijakannya kemudian tertuang dalam Reformasi 1983, Rencana 1987, dan Reformasi 1989. Reformasi-reformasi yang sebenarnya ditujukan untuk merestrukturisasi ekonomi RDK pada akhirnya justru menjadi jembatan terbentuknya pembangunan yang berfokus pada pertumbuhan ekonomi dengan implementasi kebijakan pendukung seperti penggaetan investasi asing, penarikan peran negara dalam ekonomi, pendirian perusahaan parastatal, dan privatisasi (Kiakwama & Chevallier, 1999)—alih-alih pembangunan yang memperhatikan aspek sosial, humanis, dan kemampuan institusional negara terkait (Heidhues & Obare, 2011).

Hal ini kemudian berimplikasi pada obsesi negara tersebut pada sektor pertambangan yang dinilai dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi negara. Sebab, sejak pemulihan sektor tersebut pasca Reformasi 1983, industri pertambangan RDK yang dinaungi oleh la Générale des carrières et des mines (Gécamines)—perusahaan parastatal yang mengelola pertambangan di provinsi RDK yang kaya akan sumber daya mineral, Katanga—terbukti dapat berkontribusi sebesar 42,9% terhadap pendapatan negara dan 85% terhadap pendapatan ekspor RDK tiap tahunnya (International Crisis Group, 2016). Tingginya jumlah ini, diiringi dengan produksi tahunan yang stabil di angka 450.000 ton per tahunnya (Kedem & Thomas, 2014), membuat pemerintah menggantungkan ekonominya pada sektor ini. 

Pemrioritasan sektor pertambangan tentu saja diiringi dengan dikorbankannya sektor lain dalam lanskap ekonomi RDK, utamanya sektor agrikultur—terlepas dari vitalnya sektor ini untuk lebih dari 55% penduduk RDK yang bermukim di pedesaan—yang sejak 1960 kontribusinya terhadap ekspor mengalami penurunan. Peminggiran sektor pertanian ini misalnya ditunjukkan dengan banyaknya alih fungsi lahan-lahan pertanian yang sebelumnya dimiliki oleh rakyat, serta menurunnya komitmen pemerintah terhadap Rencana Lima Tahun (1986-1990) yang ditandai dengan pembatasan dana yang dicairkan dari Kinshasa (Davis et al., 2020; Meditz et al., 1994).

Ancaman Terhadap Ketahanan Pangan

Pengesampingan sektor agrikultur ini makin meningkat pasca masa pemerintahan Joseph Kabila yang mengajukan keringanan utang pada IMF dalam kerangka Heavily Indebted and Poor Countries (HIPC). Keringanan utang ini mensyaratkan diberlakukannya program penyesuaian komprehensif yang salah satunya mencakup pelolosan Kode Pertambangan baru. Kode Pertambangan yang mendorong adanya kemudahan izin pertambangan ini pada akhirnya justru menjadi bumerang bagi pemerintah RDK karena banyak menimbulkan konflik akibat tumpang tindihnya izin pertambangan dengan kepemilikan tanah pertanian dan sertifikat hutan (Mpoyi et al., 2013). 

Tak hanya itu, kemudahan izin ini pun memunculkan banyak pertambangan artisanal yang seringkali melanggar peraturan dengan mencuci mineral di dekat daerah pemukiman ataupun lahan pertanian (Tsurukawa et al., 2011). Hal ini berimplikasi pada terkontaminasinya air dan tanah di sekitar daerah pertambangan. Pencemaran tanah ditambah dengan masalah tumpang tindih izin pertambahan dan lahan pertanian ini tentu mengurangi luas tanah pertanian produktif di RDK.

Menipisnya lahan produktif ini mau tak mau memaksa masyarakat yang tinggal di daerah sentra produksi untuk beralih ke sektor lain yang lebih menguntungkan, seperti perdagangan (Marivoet et al., 2018). Peralihan secara besar-besaran ini misalnya dapat dilihat dalam produksi kopi yang kini hanya tersisa di 5 daerah saja dari yang awalnya berjalan di 45 daerah (Marivoet et al., 2018). Sementara itu, produksi makanan sehari-hari seperti beras juga mulai ditinggalkan di delapan daerah produksi (Marivoet et al., 2018).

Pengurangan produksi komoditas pertanian ini diiringi dengan tidak dibangunnya infrastruktur konektivitas darat—di tengah segala pembangunan infrastruktur yang berjalan—dan jelas menyulitkan distribusi bahan makanan dari satu tempat ke tempat lain di RDK sehingga meruntuhkan produksi pasar (Cordell et al., 2021). Tak berhenti di situ, RDK kini juga dibayangi dengan ancaman perubahan iklim yang dapat menggagalkan panen akibat kekeringan yang melanda provinsi-provinsi di bagian barat negara tersebut (Marivoet et al., 2018). Berkelindannya faktor-faktor ini, ditambah komitmen yang terus melemah dan pembiayaan yang masih rendah dari pemerintah kepada sektor agrikultur (Davis et al., 2020), pada akhirnya melahirkan kondisi kerawanan pangan akut di sebagian besar daerah negara tersebut.

Gerakan Akar Rumput: Solusi Alternatif

Untuk mengatasi kerawanan pangan tersebut—meminjam konsep alternatif dari pembangunan ala Parfitt (2002)—penulis merasa bahwa skema pembangunan ekonomi baru yang lebih menginklusi masyarakat dalam kebijakan yang ada perlu diwujudkan agar menghasilkan pembangunan yang sesuai dengan konteks lokal dan dapat menunjang keberlangsungan hidup serta pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat. 

Keterlibatan masyarakat ini utamanya dapat dilakukan dengan metode gerakan akar rumput yang dicetuskan oleh Escobar (1992). Salah satu gerakan akar rumput yang dapat dijadikan teladan dalam hal mencapai ketahanan pangan di level komunitas adalah Masyarakat Pembangunan Deccan di Medak, Adhra Pradesh, India. Dalam kasus tersebut, masyarakat yang utamanya para perempuan dalit, bekerja sama untuk mengelola sebuah rantai produksi di desanya sendiri dengan melakukan produksi, pengadaan, penyimpanan, dan distribusi bahan pangan secara mandiri untuk menghasilkan subsistensi desa (Jha, 2009).

Mempertimbangkan konektivitas darat RDK yang masih buruk, pembangunan rantai produksi dalam sebuah desa yang subsisten oleh masyarakat kiranya dapat diimplementasikan di negara tersebut. Gerakan ini dapat pula dilengkapi dengan sebuah kerangka respons lokal yang sistematis yang memberikan ruang bagi para petani berdialog untuk menyusun strategi dalam menghadapi masalah terbatasnya lahan pertanian dan krisis iklim yang mengancam. Melalui kolaborasi dua metode ini, desa-desa yang ada di RDK dapat diberdayakan untuk lebih tahan dalam menghadapi kerawanan pangan dari tingkat tatanan masyarakat yang paling kecil.

Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa program penyesuaian struktural dan komprehensif yang merupakan syarat dari pinjaman IMF, pada akhirnya membawa RDK pada pembangunan yang amat berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. 

Hal ini berimbas pada dikesampingkannya sektor agrikultur oleh pemerintah yang memunculkan berbagai masalah seperti pencemaran lahan pertanian, berkurangnya rantai produksi bahan makanan, dan diabaikannya pembangunan infrastruktur konektivitas darat untuk keperluan distribusi bahan pangan. Diperparah dengan ancaman krisis iklim yang dapat menggagalkan panen kapan saja, jalinan dari masalah-masalah tersebut ujungnya melahirkan pembangunan baru di RDK, yakni kerawanan pangan. 

Untuk menyelesaikan masalah kerawanan pangan, penulis merasa bahwa sebuah diskursus pembangunan baru yang melibatkan masyarakat dan diinisiasi dari tingkat akar rumput perlu diimplementasikan untuk menghasilkan sebuah gerakan yang dapat merevitalisasi sektor agrikultur sekaligus membangun ketahanan pangan RDK di level komunitas.

Sekarini Wukirasih merupakan mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada dan salah satu anggota dalam tim penulis Kontekstual. Dapat ditemukan di Instagram dengan nama pengguna @skrsekar

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *