Pentingnya Konsistensi Posisi dalam Pragmatisme Partai Politik Indonesia

0

Pertemuan Prabowo dan Jokowi di MRT. Foto: ANTARA/Desca Lidya Natalia.

Pada 27 Juni 2019, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan keputusan terkait sengketa Pemilu Presiden 2019 dengan menolak seluruh nota keberatan yang diajukan oleh kubu Prabowo Subianto – Sandiaga Uno. Sebelumnya pada 24 Mei, Kubu Prabowo – Sandiaga mengajukan gugatan dengan tudingan kubu Joko Widodo – Ma’ruf Amin telah melakukan kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif.

Berbeda dengan edisi pilpres sebelumnya, kali ini kubu oposisi (Koalisi Adil Makmur) memutuskan untuk membubarkan diri setelah berakhirnya sengketa pilpres. Prabowo sebagai calon yang diusung oleh Koalisi Adil Makmur membebaskan partai-partai pendukungnya untuk menentukan sikap politiknya masing-masing.

Meskipun begitu, Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sohibul Iman tidak menutup kemungkinan adanya bentuk kerja sama lain. “Dari semua brainstorming pimpinan partai, spirit kebersamaan tetap ada tentu dalam bentuk lain gitu. Kalau sekarang formal namanya koalisi, mungkin nanti namanya kaukus apa gitu ya,” ucap Sohibul, dilansir dari Tempo.

Kekhawatiran akan Ketiadaan Koalisi Oposisi

Pembubaran koalisi ini menimbulkan kekhawatiran akan ketidakhadiran pihak oposisi di kancah perpolitikan Indonesia. Saat ini, partai-partai Koalisi Joko Widodo – Ma’ruf Amin menguasai total 60.69% jumlah kursi di DPR, jauh diatas jumlah suara partai-partai oposisi.

Kekhawatiran semakin meningkat dikarenakan mulai beredarnya isu bahwa Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Demokrat dan Partai Gerindra ingin bergabung dengan koalisi Jokowi. Hal ini tentu akan mengganggu proses check and balance pada periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi.

Perpindahan posisi partai yang begitu cepat bukan merupakan hal baru dalam perpolitikan Indonesia. Dalam empat edisi pemilu terakhir, komposisi koalisi partai selalu berubah-ubah bergantung kepada calon yang setiap partai usung sebagai kandidat capres.  

Mujani, Liddle, dan Ambardi, melalui bukunya yang berjudul Kaum Demokrat Kritis, menyebutkan bahwa hal ini terjadi dikarenakan identitas partai politik Indonesia yang mayoritas masih bergantung pada citra calon yang diusung dan juga karisma dari pemimpin atau tokoh partai. Praktis hanya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang dalam Pemilu 2019 lalu tampak memiliki posisi kebijakan publik yang jelas.

Posisi Politisi Amerika Serikat dalam Suatu Isu Perlu Menjadi Pembelajaran

Berbeda halnya dengan kondisi politik di Indonesia, perbedaan posisi politisi Amerika Serikat dalam menanggapi suatu isu terlihat secara jelas. Kader Partai Republikan dan Demokrat sebagai dua partai utama dan terbesar di Amerika Serikat tidak hanya bergantung kepada karisma calon yang mereka usung dalam pemilu.

Posisi-posisi mendasar yang jelas dalam berbagai isu dan kebijakan publik justru menjadi identitas dari masing-masing partai. Hal inilah yang mendukung stabilitas posisi partai dan juga jumlah suara yang mereka terima. Pemilih cenderung tidak bergantung kepada tokoh, tetapi kepada nilai dan kebijakan yang ia percaya mampu menyejahterakan masyarakat Amerika Serikat.

Seperti contoh pada isu aborsi, mayoritas kader Partai Demokrat mendukung penuh kebebasan seseorang dalam menentukan pilihan hidupya. Sedangkan posisi mayoritas Partai Republikan melarang tindakan aborsi dan menganggapnya sebagai sebuah tindakan ilegal.

Berangkat dari posisi terhadap suatu isu inilah kemudian para calon senat, legislatif, atau pun presiden menentukan kebijakan yang mereka kampanyekan. Contoh paling nyata adalah ketika Presiden Donald Trump (Partai Republikan) berpendapat bahwa aborsi hanya boleh dilakukan pada tiga kondisi yaitu akibat pemerkosaan, hubungan sedarah, dan untuk melindungi nyawa sang ibu. Di luar itu, Trump yang berasal dari Partai Republikan menolak untuk melegalkan aborsi. Posisi ini merupakan suara mayoritas di kubu Partai Republikan.

Pentingnya Konsistensi Posisi Partai Politik di Indonesia

Partai politik di Indonesia, seperti yang sudah dijelaskan diatas, memang memiliki identitas. Namun, identitas yang saat ini dimiliki oleh Partai Politik di Indonesia justru mengakibatkan instabilitas jumlah suara pemilih dan juga perubahan koalisi partai yang terus berubah-ubah. Hal ini dikarenakan identitas tersebut bergantung pada karisma dari calon Presiden yang diusung oleh partai tersebut.

Sejak Pemilu 1999, baru PDIP yang bisa mempertahankan gelarnya sebagai Partai dengan jumlah kursi terbanyak sejak pemilu 2014 hingga pemilu 2019. Kemampuan ini juga tidak berangkat sepenuhnya berangkat dari posisi kebijakan yang konsisten, melainkan dari adanya tokoh-tokoh besar seperti Jokowi yang kembali maju sebagai calon presiden dalam Pemilu 2019.

Peta politik yang kemungkinan suaranya akan kembali terpecah pada pemilu 2024, mempertegas urgensi akan perubahan identitas partai politik di Indonesia. Identitas harus berangkat dari kejelasan partai politik dalam suatu isu. Hal ini akan memudahkan pemilih dalam menentukan pilihan mereka dan meningkatkan stabilitas jumlah suara pemilih bagi parpol itu sendiri.

Dengan total pemilih pada pemilu 2019 hampir mencapai angka 193 juta orang, sudah sepatutnya perpindahan suara yang begitu masif dan perubahan koalisi yang bergantung pada calon presiden tidak lagi menjadi hal yang lumrah. Antusiasme masyarakat yang tinggi layak untuk dibarengi dengan pembenahan identitas partai politik di Indonesia.

Satria Yuma adalah kontributor Kontekstual lulusan sarjana Hubungan Internasional Universitas Parahyangan.Dapat Dihubungi di Instagram @satriayuma dan surel satriayuma@outlook.com.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *