Penyuapan dalam Lapas: Yang Luput dari Korupsi Sistem Peradilan dan Kehakiman

0

Setya Novanto yang menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, pada 23 November 2017 lalu. Foto: Imam Sukamto/TEMPO

Dengan menggunakan pengertian korupsi sebagai penyalahgunaan jabatan publik untuk keuntungan privat, tulisan ini akan membahas mengenai alasan terjadinya korupsi dalam sistem pemasyarakatan (correctional system), khususnya Lembaga Pemasyarakatan (lapas) dan Rumah Tahanan (rutan) atau penjara. Secara spesifik, bentuk korupsi politik yang dibicarakan dalam tulisan ini merupakan yang paling marak dilakukan, yakni penyuapan terhadap sipir atau kepala lapas agar narapidana dapat mendapatkan privilese tertentu. 

Korupsi dalam sistem pemasyarakatan dipandang menarik dan penting untuk dibicarakan karena ia terjadi dalam sebuah subkultur yang dibentuk oleh lingkungan dengan penjagaan ketat dan tidak terekspos terhadap pengaruh sosial yang sama dengan sistem pelayanan publik lain (Mutingh, 2006). Tulisan ini berargumen bahwa korupsi politik dalam sistem pemasyarakatan terjadi karena dua faktor, yakni: 1) faktor relasi kuasa berupa hubungan patron-klien antara narapidana dengan sipir atau pejabat lapas; dan 2) faktor struktural yang ditandai dengan tidak dimasukkannya sistem pemasyarakatan dalam prioritas anggaran berbagai negara sehingga lembaga ini sering kali mengalami kekurangan pendanaan.

Relasi Kuasa Terbalik: Kegagalan Implementasi Fungsi Therapeutic Sipir

Dalam hubungan antara sipir dan tahanan, sipir seharusnya menjadi pihak yang menjadi patron bagi tahanan. Hal ini dikarenakan tahanan dipandang memiliki defisiensi moral sehingga seorang sipir tak hanya memiliki mandat untuk menjaga atau memperhatikan tahanan (fungsi custodian) namun juga harus dapat menerapi, merehabilitasi, dan “menyembuhkan” moral para tahanan (fungsi therapeutic) (Meliala, 2021). Akan tetapi, dalam beberapa kasus, tahanan merupakan seorang yang berkuasa karena memiliki sumber daya besar atau jabatan tinggi. Oleh karena itu, situasi dapat berbalik. Sipir justru sering kali menjadi klien dalam sistem relasi kuasa yang terbentuk, sementara tahanan sel menjadi patronnya. Hal ini dikarenakan narapidana memiliki sumber daya yang berupa material (seperti uang dan barang-barang mewah) ataupun koneksi dengan pejabat lapas atau bahkan pejabat-pejabat tinggi yang kemudian dimanfaatkan untuk menyuap sipir dan/atau petugas penjara lainnya untuk kepentingan pribadi (Meliala, 2021).

Penyuapan umumnya dilakukan agar tahanan dapat mengakses privilese tertentu seperti sel yang lebih mewah, dapat mengakses ponsel atau barang tertentu dari dalam sel, ataupun mendapatkan izin untuk keluar dari lapas selama beberapa waktu. Hubungan patron-klien semacam ini menurut Sunaryo (2012) sering kali dimuat dalam sebuah “paket kesepakatan” yang berisi konfigurasi jasa yang ditawarkan oleh masing-masing patron dan klien serta bentuk hubungan yang akan dijalin, baik berupa loyalitas pribadi ataupun hubungan resiprokal.

Korupsi di dalam lapas dengan model patron-klien ini dapat ditemukan di beberapa negara termasuk Indonesia, India, dan Amerika Serikat. Indonesia Corruption Watch atau ICW (2018) mencatat bahwa di Indonesia selama rentang tahun 2008–2018 setidaknya terdapat 20 staf lapas termasuk kepala rutan, kepala penjara, ataupun sipir yang terlibat kasus penyuapan. Salah satu dari 20 kasus tersebut adalah kasus korupsi yang dilakukan oleh Kepala Lapas Sukamiskin Wahid Husen—lapas yang khusus menahan para koruptor. Wahid ditangkap pada Juli 2018 dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga terlibat dalam kasus suap terkait dengan pemberian fasilitas tahanan khusus, seperti sel mewah milik beberapa narapidana seperti Agusrin M. Najamudin, Setya Novanto, dan Jero Wacik. Selain itu, Wahid juga terlibat dalam penyuapan mengenai izin keluar lapas yang dibuktikan oleh KPK dengan kosongnya sel tahanan Fuad Amin dan Tubagus Chaeri Wardana saat OTT dilaksanakan (ICW, 2018).

Sementara itu, pada tahun 2017 di India, seorang petugas senior departemen pemasyarakatan di Bengaluru melaporkan bahwa kepala departemen mereka telah memberikan fasilitas khusus dalam sel terhadap seorang tahanan dari kalangan atas, yakni V. K. Sasikala yang merupakan Sekretaris Jenderal Faksi Partai All India Anna Dravida Munnetra Kazhagam (Rajendran, 2017). Di Amerika Serikat, kasus korupsi politik terjadi di sembilan rumah tahanan di negara bagian Georgia. Dilaporkan bahwa selama tahun 2014-2015, 46 sipir telah menerima suap sebesar 500-1000 dollar AS untuk menyelundupkan satu ponsel yang sebelumnya disita ke dalam sel tahanan (Center for the Advancement of Public Integrity of Columbia Law School, 2016).

Persoalan Struktural: Dukungan Minim Negara Terhadap Sistem Pemasyarakatan

Berdasarkan alokasi anggaran pendapatan dan belanja berbagai negara, pendanaan sistem pemasyarakatan sering kali tidak masuk dalam prioritas. Faktor ini menjadi hal yang mendukung munculnya tindakan penyuapan baik dari sisi narapidana maupun sipir. Di Inggris dan Amerika Serikat misalnya, pemerintah sempat melakukan pemotongan besar-besaran bagi anggaran Departemen Kehakiman (Center for the Advancement of Public Integrity of Columbia Law School, 2016; Wyner, Coffin, & Stewart, 2021). Hal ini berdampak pada anggaran yang turun ke lapas menjadi berkurang secara signifikan sehingga mayoritas penjara di kedua negara tersebut mengalami kekurangan pendanaan (underfunding). Padahal, politisi terus mendesak agar lebih banyak pelanggar hukum dapat ditahan (Wyner, Coffin, & Stewart, 2021). 

Dengan adanya kekurangan pendanaan ini tentu sarana prasarana yang disediakan lapas akan semakin memburuk. Lapas pun akan semakin penuh dan sesak sehingga—layaknya yang telah disebutkan pada poin pertama—muncul kebutuhan untuk mendapatkan fasilitas yang lebih baik dari sisi napi. 

Sementara itu, dari sisi sipir muncul pula kebutuhan untuk mendapatkan pendapatan tambahan. Sebab, kekurangan pendanaan pada ujungnya membuat sipir tidak dibayar secara layak, bahkan terkadang mereka mendapatkan gaji di bawah rata-rata pendapatan nasional. Di Amerika Serikat, sipir hanya memiliki rata-rata pendapatan sejumlah 43.550 dollar AS. Menurut Biro Statistik Tenaga Kerja AS, angka tersebut hampir menyentuh 14% di bawah rata-rata pendapatan rumah tangga nasional (Center for the Advancement of Public Integrity of Columbia Law School, 2016). Adanya kondisi tidak menguntungkan bagi napi dan sipir akibat pemotongan anggaran bagi lapas inilah memunculkan hubungan saling membutuhkan antara kedua pihak sehingga korupsi rentan terjadi. Napi yang merasa kekurangan sesuatu kemudian dapat menyuap sipir-sipir yang berpenghasilan rendah untuk menyelundupkan barang tersebut ke dalam selnya dengan insentif tertentu. 

Menurut laporan Departemen Investigasi Kepolisian Kota New York pada tahun 2015, sipir di Penjara Rikers bisa mendapatkan 400-600 dollar AS per hari dengan menyelundupkan barang-barang ke dalam kompleks tahanan. Selain itu, seorang sipir penjara di California terbukti menghasilkan lebih dari 150.000 dollar AS dalam satu tahun dengan menyelundupkan ponsel (Center for the Advancement of Public Integrity of Columbia Law School, 2016). Adanya kondisi gaji yang tidak layak membuat penerimaan suap untuk melakukan penyelundupan menjadi menarik bagi sipir dengan gaji di bawah rata-rata (Center for the Advancement of Public Integrity of Columbia Law School, 2016).

Selain gaji yang tidak layak, kekurangan pendanaan juga memaksa Departemen Kehakiman di Amerika Serikat untuk memotong pelatihan formal bagi sipir (Center for the Advancement of Public Integrity of Columbia Law School, 2016). Di New York misalnya, sipir hanya mendapatkan 200 jam pelatihan formal sebelum sipir diturunkan ke rumah tahanan tempat ia ditugaskan. Waktu ini sangat singkat dibandingkan dengan 26 minggu yang diberikan untuk melatih aparat keamanan di kota yang sama (Ibid). 

Secara singkat, kurangnya pelatihan tak jarang membuat para sipir belum sepenuhnya memahami mengenai ekspektasi pekerjaan mereka. Oleh karena itu, dalam banyak kasus, akhirnya fungsi therapeutic yang seharusnya dijalankan oleh sipir tidak dapat diimplementasikan dan sipir mengutamakan kelangsungan hidup mereka di bawah gaji tak layak dengan mencari insentif tambahan. Di samping itu, alasan struktural lainnya yang dapat melatari terjadinya korupsi politik ini adalah minimnya konsekuensi terhadap praktik korupsi yang dilakukan—misalnya di Indonesia, alhasil hanya 2 dari 20 petugas rutan yang melakukan korupsi diproses secara hukum kasusnya, sementara lainnya hanya diproses secara administrasi (ICW, 2018).

Pembahasan sebelumnya dapat menunjukkan bahwa hubungan patron-klien yang terbentuk antara tahanan dengan sipir atau petugas lapas lainnya termasuk kepala lapas, gaji tidak layak yang diterima oleh sipir, dan pelatihan sipir yang singkat akibat pemotongan anggaran yang berkaitan dengan sistem pemasyarakatan pada akhirnya mendorong terjadinya korupsi oleh sipir dan petugas lapas. Hal ini membuktikan bahwa meskipun korupsi tersebut di atas kertas terlihat dilandasi oleh motivasi personal namun sejatinya terdapat latar relasi kuasa dan isu struktural yang menyebabkan korupsi terjadi.

Untuk mencegah korupsi di lingkungan lembaga masyarakat yang mempunyai interaksi antara tahanan dan sipir dan antarsipir atau petugas yang terjalin secara intens dan tertutup dari layanan pemerintah lain, beberapa upaya sekiranya dapat dilakukan. Pertama, rotasi petugas dalam waktu yang singkat agar siklus pembentukan hubungan patron-klien dapat dicegah sebelum terjadi. Kedua, peningkatan tingkat prioritas pemerintah atas sistem pemasyarakatan sehingga sistem tersebut memiliki keamanan finansial untuk melakukan pemeliharaan atas lembaga pemasyarakatan, menjamin gaji yang layak untuk petugasnya, dan dapat mengadakan pelatihan formal yang memadai. 

Salah satu negara yang telah membuktikan bahwa pengentasan faktor struktural berupa prioritas pemerintah yang rendah ini dapat berhasil melahirkan lapas yang bebas korupsi adalah Norwegia. Melalui reformasi yang dilakukan pada tahun 1990-an, lembaga pemberdayaan masyarakat Norwegia kini memiliki sebuah pusat pelatihan sendiri yang akan mengajarkan para petugas lapas ilmu hukum, etika, kriminologi, bahasa Inggris, cara reintegrasi dan pekerjaan sosial selama dua hingga tiga tahun sebelum mereka ditempatkan setahun di lapas untuk masa percobaan. Selain itu, mereka juga diberi gaji yang layak sekitar 60.000 dollar AS per bulannya (Kirby, 2019). Gaji ini setidaknya 15% lebih tinggi dibandingkan gaji sipir di penjara-penjara Amerika Serikat yang membuat sipir di sana lebih rentan terhadap korupsi. 

Terakhir, upaya yang dapat dilakukan untuk memberantas korupsi di lembaga pemasyarakatan adalah mempertegas konsekuensi yang dapat diterima petugas maupun pejabat atas korupsi yang dilakukan dengan memproses semua kasusnya tidak hanya secara administrasi namun juga secara hukum. Melalui cara ini, deterrence dapat dilakukan sehingga tak hanya petugas atau pejabat korup yang terkena sanksi, namun petugas dan pejabat yang belum melakukannya dapat merasakan efek jera yang ditimbulkan. Dengan upaya-upaya yang berfokus pada intervensi relasi kuasa dan struktur tersebut, korupsi di lingkungan lembaga pemasyarakatan sekiranya akan dapat ditangani dengan lebih serius.

Sekarini Wukirasih merupakan mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada dan salah satu staf dalam tim penulis Kontekstual. Dapat ditemukan di Instagram dengan nama pengguna @skrsekar

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *