Perjalanan Demokratisasi Dadakan Jurnalisme di Indonesia

0

Ilustrasi jurnalistik yang masih terpapar kepentingan oligarki. Foto: pixabay.com.

Gaya pemerintahan authoritarian yang diaplikasikan Soeharto pada rezim orde baru kerap kali dianggap sebagai salah satu faktor yang menghambat perjalanan demokrasi Indonesia. Namun, masa orde baru juga merupakan suatu momentum pendewasaan demokrasi Indonesia. Tercatat ribuan mahasiswa di berbagai belahan Indonesia turun ke jalan menuntut adanya reformasi dan pengaplikasian demokrasi yang sebenarnya dalam kehidupan bernegara di Republik Indonesia. Sesaat setelah semua tirai pemerintahan orde baru runtuh, perjalanan media jurnalisme Indonesia tampak seolah-olah mendapat serangan fajar dan angin segar dalam mengembangkan dunia jurnalisme Indonesia. Presiden ketiga Indonesia Bacharuddin Jusuf Habibie dianggap sebagai tokoh yang memainkan peran signifikan dalam demokratisasi media di Indonesia. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 pada masa pemerintahan Habibie dianggap menjadi titik balik kebebasan pers di Indonesia. Setelah 20 tahun berjalan, demokrasi dalam tubuh pers Indonesia perlu dipertanyakan apakah maju ke arah yang tepat atau justru cenderung stagnan.

Demokratisasi Pers dan Implikasinya terhadap Perkembangan Demokrasi Indonesia

Sebagai negara demokrasi terbesar nomor tiga, tidak dapat dipungkiri perjalanan demokrasi Indonesia sangat dinamis dan berubah drastis setelah orde baru runtuh. Limitasi dan pembungkaman secara masif pada media jurnalisme Indonesia yang terjadi pada era orde baru mengakibatkan perkembangan jurnalistik Indonesia tidak berkembang secara alami. Kontrol pemerintah sangat kuat terasa pada produk jurnalistik Indonesia. Hal ini diperparah dengan dibredelnya Majalah Tempo, Detik, dan Editor pada pertengahan 1994. Fungsi media sebagai pemantau dan pengawas jalannya kehidupan bernegara tak terasa pada rezim ini. Setelah orde baru runtuh, dilansir Media Indonesia dalam sebuah artikel, Presiden Habibie dianggap sebagai aktor utama demokratisasi Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers dan memberikan dasar hukum yang lebih jelas bagi media jurnalisme Indonesia. Selain itu, setelah runtuhnya orde baru, diversifikasi media jurnalistik Indonesia tumbuh dengan pesat terlebih bagi media-media online.

Presiden Soeharto dan rezimnya juga memainkan peran yang signifikan pada media-media jurnalisme besar Indonesia yang telah ada sejak atau bahkan sebelum era orde baru. Sebuah riset oleh Nanyang Technological University mengatakan dengan adanya kontrol penuh oleh pemerintah pada rezim orde baru menjadikan perjalanan jurnalistik Indonesia setelahnya sangat terpengaruh dengan adanya kontrol yang masif. Hal ini dapat dibuktikan dengan fenomena-fenomena politik yang terjadi di Indonesia setelah orde baru. Pemilu tahun 2014 dan 2019 merupakan momentum besar perkembangan demokrasi Indonesia dimana dua calon presiden yang sama berkontestasi dalam dua periode berturut-turut menunjukan betapa berpengaruhnya pemberitaan media di Indonesia terhadap pembentukan opini publik dan sistem perpolitikan Indonesia.

Produk Media Massa di Indonesia Masih Dipengaruhi Kepentingan Oligarki

Kepemilikan media jurnalistik di Indonesia yang banyak dilatarbelakangi tokoh-tokoh politik menjadikan objektivitas produk jurnalistik Indonesia patut dipertanyakan. Demokratisasi yang secara tetiba dilaksanakan setelah orde baru runtuh telah menghilangkan kekuasaan dalam mengontrol produk jurnalistik Indonesia. Dengan demikian, kontrol ketat oleh pemerintah berpindah tangan pada pemimpin-pemimpin media jurnalisme Indonesia. Sudah menjadi rahasia umum banyak pemimpin-pemimpin media jurnalisme Indonesia juga merupakan tokoh-tokoh berpengaruh pada perpolitikan Indonesia.

Sebut saja Viva Media Asia, Media Indonesia, dan MNC Group, ketiga korporasi media jurnalisme di Indonesia ini memiliki lebih dari dua anak perusahaan yang juga bergerak di bidang media jurnalisme. Dengan besarnya jangkauan korporasi-korporasi media ini dan pengaruh pemimpin-pemimpinnya dapat terlihat jelas hasilnya pada produk-produk jurnalistik masing-masing media. Mengambil contoh dari penelitian yang diterbitkan Remotivi pada Mei 2014, ada peningkatan yang cukup signifikan pada pemberitaan calon presiden tertentu dengan media-media jurnalisme tertentu. Porsi pemberitaan positif calon presiden Prabowo Subianto yang awalnya hanya 34% melonjak hingga 70% pada TV One, sementara calon presiden Joko Widodo mendapat porsi 16% dengan hanya 4% pemberitaan positif. Tren ini juga terjadi pada 78% pemberitaan MNC Group yang menonjolkan Prabowo Subianto dengan 100% pemberitaan positif. Hal ini berbanding terbalik dengan pemberitaan Metro TV yang secara blak-blakan membeberkan pesan negatif terhadap Prabowo Subianto dalam produk jurnalistiknya dengan 15% porsi pemberitaan dan 100% dari berita tersebut bernada negatif. Tren pemberitaan seperti ini terus berlanjut hingga pemilu tahun 2019. Dengan demikian, tampak adanya polarisasi yang sangat kuat dalam media jurnalisme tanah air.

Polarisasi yang Kian Menjadi

Polarisasi media jurnalisme membuat jalannya demokrasi Indonesia seakan-akan bergerak tapi terpenjara dengan kepentingan-kepentingan tertentu. Surya Paloh sebagai pemilik Media Indonesia sangat erat hubungannya dengan posisinya sebagai Ketua Umum Partai NasDem, begitu pula Viva Media Asia dengan Aburizal Bakrie, dan MNC Group dengan Hary Tanoesoedibjo. Polarisasi yang sangat kuat dirasakan pada dua pemilu terakhir juga berdampak pada pembentukan gaya berpikir masyarakat awam dalam melihat perpolitikan Indonesia. Peran media yang sangat berat pada pemilihan presiden semata menjadikan pemilihan legislatif yang notabennya juga bagian dari pesta demokrasi Indonesia seakan-akan luput dari perhatian. Sebuah penelitian oleh CSIS beberapa bulan yang lalu mengatakan kurangnya reportase dan perhatian media jurnalisme terhadap pemilihan legislatif menjadikan masyarakat kurang mendapatkan informasi yang berimbang dalam menentukan pilihannya.

Polarisasi pada media dan komunitas masyarakat yang terjadi akibat dua pemilu terakhir telah berpengaruh pada penilaian dunia internasional terhadap demokrasi dan kebebasan berpendapat Indonesia. Laporan terbaru oleh Freedom House memberikan skor 62 untuk demokrasi Indonesia dan mengidentifikasi Indonesia sebagai negara dengan standar demokrasi yang tidak sepenuhnya bebas. Angka ini berada dibawah Timor Leste dan beberapa negara kepulauan Pasifik lainnya.

Peran media jurnalisme sangatlah penting dalam menggiring opini publik, tapi dibalik itu semua masih ada peran organisasional yang tidak dapat dihindari oleh setiap orang yang memainkan peran sebagai pewarta jurnalisme. Media jurnalisme Indonesia dengan afiliasi tertentu tidak pernah menunjukan dirinya sebagai media partisan dalam rangka menjaga imparsialitasnya, tapi seringkali menerbitkan berita yang tidak berimbang. Independensi, objektivitas, otonomi, dan etik dalam memproduksi berita harus tetap dijaga tanpa memandang tokoh dibalik besarnya sebuah media jurnalisme. Mengutip salah satu pemimpin redaksi media ternama Indonesia, Wisnu Nugroho, dalam suatu kesempatan, media harus bisa menentukan posisi dan juga harus bisa independen dan imparsial dalam waktu yang sama.

Erlangga Sahertian adalah kontributor Kontekstual dengan latar belakang studi Ilmu Hubungan Internasional di International University Liaison Indonesia.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *