Ilustrasi Konflik Agama di India. Foto: FPCI UPH.

India dikenal sebagai negara dengan ikon perdamaian yang kuat melalui Mahatma Gandhi. Negara ini juga merupakan negara terbesar yang mengadopsi demokrasi dan sekularisme dalam konstitusinya. Namun, konflik yang terjadi pada bulan Februari 2020 di Delhi Timur Laut membuat status tersebut dipertanyakan. Konflik yang terjadi antara kelompok garis keras Hindu dan Muslim ini mengakibatkan 53 orang meninggal dunia, dengan lebih dari 200 orang terluka.

Menguatnya kekerasan dengan latar belakang agama di India belakangan ini dipicu oleh pengesahan Citizenship Amendment Act (Undang-Undang Amendemen Kewarganegaraan ) 2019, yang dinilai mendiskriminasi kelompok pengungsi beragama Islam. Undang-undang tersebut menyatakan bahwa hak Kewarganegaraan India boleh diberikan kepada pengungsi beragama Kristen, Jain, Sikh, dan Hindu. Sedangkan hak yang sama tidak berlaku bagi pengungsi yang beragama Islam.

Situasi ini mengakibatkan protes damai berminggu-minggu oleh umat Islam. Umat Islam mengkritik digunakannya agama sebagai kriteria kebangsaan, yang sejatinya tidak mencerminkan pluralisme dan sekularisme di India. Namun, setelah beberapa minggu protes secara damai, konflik pun tak terelakkan. Pada akhir Februari, para demonstran anti-CAA bentrok dengan kelompok garis keras Hindu.

Kerusuhan itu menjadi semakin parah ketika sebuah video yang beredar di media sosial memperlihatkan sekelompok pria merobek pengeras suara masjid di atas menara masjid, dan menempatkan bendera agama Hindu dan bendera India. Yang semakin parah, gerombolan massa memegang batu bata dan tongkat bambu, menyerang rumah-rumah Muslim di tengah teriakan “Jai Shri Ram,” atau “Kemenangan bagi Dewa Ram,” yang mengacu pada cerita “Ramayana”.

Perhatian dunia pun langsung tertuju pada Perdana Menteri Narendra Modi yang tampak tak menggubris konflik tersebut. Meskipun adanya ketegangan dari partai oposisi di Kongres yang meminta Menteri Dalam Negeri Amit Shah mengundurkan diri karena gagal mengendalikan kekerasan yang mematikan, kecaman juga mengalir dari Perdana Menteri Pakistan Imran Khan yang mengatakan, “setiap kali ideologi rasis berbasis kebencian mengambil alih, pertumpahan darah akan terjadi.”

Kritik juga mengalir dari mitra terdekat India seperti Iran, Bangladesh, dan Amerika Serikat, bahkan setelah Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (United Nations High Commisioner for Human Rights) mengajukan petisi di Mahkamah Agung India untuk menantang CAA. Sebagai respons, Narendra Modi mulai mengatasi kekerasan dengan tenang bagi orang-orang di ibukota untuk “menjaga perdamaian dan persaudaraan setiap saat.”

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *