Politik Hijau, Perdamaian, dan Masa Depan yang Berkelanjutan

0

Ilustrasi Politik Hijau. Foto: Roberto Pfeil/Getty

Pendahuluan

“Sejarah berulang dengan sendirinya,” adalah ungkapan yang relevan dalam dinamika umat manusia seperti adanya perang dan upaya perdamaian yang mengikutinya. Sejak zaman dahulu, umat manusia pun sudah menghadapi beragam konflik dan mengupayakan rekonsiliasi sebagai solusi. Seringkali konflik atau perang disebabkan oleh perebutan wilayah atau sumber daya alam. Hal ini tidak dapat dilepaskan nafsu manusia untuk menguasai atau memiliki sesuatu, terlebih penguasaan terhadap sumber daya alam yang melimpah, baik yang tampak di atas tanah ataupun tersimpan di bawah tanah.

Sifat manusia ini kemudian terbawa pada perilaku pemerintah suatu negara yang dapat mengancam keselamatan masyarakat dan lingkungan. Sebagai contoh, Invasi Iraq terhadap Kuwait dalam Perang Teluk untuk merebut cadangan minyak bumi telah menewaskan sekitar 4.200 warga Kuwait. Invasi tersebut juga merusak lingkungan akibat pembakaran kilang minyak milik Kuwait yang meracuni udara di sekitarnya (Britannica, 2023). Contoh lainnya yang masih berlangsung hingga hari ini adalah Perang Israel-Palestina sudah berlangsung sejak awal abad ke-20. Perang ini terjadi akibat adanya perebutan tanah yang sudah menimbulkan kerugian korban jiwa, khususnya bagi pihak Palestina kehilangan banyak anak-anak, balita, ibu hamil dan lansia (Fitria & Putra, G.RA, 2022). Baru-baru ini, lingkungan juga ikut terdampak akibat penggunaan bom fosfor putih oleh Israel. Bom ini membakar apapun yang ada di dekatnya dan mengendap dalam tanah selama beberapa tahun tanpa mengalami perubahan apapun (Mojabi, S.M, dkk, 2010).

Dua contoh yang dibawa oleh penulis menegaskan tesis bahwa sumber daya alam dapat menjadi salah satu pemicu sebuah konflik. Kedua contoh tersebut menunjukkan bahwa perang dan konflik berisiko menyebabkan pertumpahan darah yang tidak sedikit dan merusak lingkungan. Selain itu, kedua contoh tersebut menunjukkan bahwa perang dan konflik menyalahi kodrat manusia yang seharusnya patuh pada hukum yang dikenal dengan adagium ubi societas ibi ius.

Perang dan konflik dapat mengancam human security yang terdiri dari economic security, environmental security, food security, personal security, dan health security. Perang dan konflik akan mengganggu roda ekonomi sehingga menyebabkan meroketnya angka kemiskinan. Lingkungan menjadi rusak akibat dieksploitasi untuk kebutuhan militer. Akses terhadap pangan pun menjadi sulit dan berisiko menimbulkan bencana kelaparan. Demikian juga dengan hilangnya perlindungan fisik tiap masyarakat dan lumpuhnya akses pelayanan kesehatan (UNDP, 1994).

Menilik pada dampaknya yang berbahaya dan mengganggu tatanan kehidupan, dibutuhkannya segera strategi untuk mencegah timbulnya konflik dalam hal ini perebutan sumber daya alam. Menjadi sebuah urgensi kasus dimana dunia sudah lama terus menghadapi konflik yang berkepanjangan, hal ini sudah tertulis jelas dalam buku-buku sejarah sebagai pembelajaran generasi umat manusia. Akan tetapi masih banyak yang tidak menghiraukannya dan pada akhirnya konflik kembali pecah. Nyatanya sistem yang terbentuk saat ini masih belum bisa mencegah konflik, dimana tiap negara hanya berfokus pada kepentingan bukan tanggung jawab bersama. Dengan demikian, dibutuhkannya penerapan sistem, pandangan, dan strategi alternatif yang dapat mencegah kembali konflik. Melihat sangat disayangkan apabila konflik kembali pecah, terlebih di dunia ini dianugerahi oleh keragaman masyarakat yang dapat dipelajari dan memaknai kehidupan yang multikultural. 

Demikian menjadikan perbedaan sebagai pemersatu bukan titik konflik, dan politik hijau memiliki perhatian akan hal itu. Politik hijau dapat menjadi solusi perdamaian, dimana resolusi konfliknya lebih mengedepankan aspek lingkungan.   

Politik Hijau Sebagai Alternatif Solusi Konflik

Melihat konflik yang terjadi terus – menerus dan merugikan bagi umat manusia serta lingkungan. Sudah saatnya negara – negara di dunia beralih kepada penerapan politik hijau dalam aktivitas bernegaranya, dimana peran dan proses politik hijau sendiri akan menghasilkan kebijakan yang berwawasan lingkungan. Selain mencegah terjadinya konflik, mendesak pula perubahan iklim yang semakin parah. Disinyalir perubahan iklim pun menjadi salah satu faktor terjadinya konflik perebutan sumber daya alam.   

Politik hijau sendiri telah didefinisikan, salah satunya dalam Piagam Hijau Global (Global Greens Charter) yang diadopsi pertama kali di Canberra, Australia pada 2001. Dalam piagam tersebut, terdapat enam prinsip yang dipegang politik hijau, yakni kearifan ekologis, keadilan sosial, demokrasi partisipatif, non-kekerasan, keberlanjutan, dan menghargai keberagaman (Global Greens, 2001). Prinsip – prinsip tersebut masih relevan hingga saat ini, disamping berdasar kepada wawasan lingkungan, prinsip non-kekerasan dan menghargai kebersamaan pun menjadi fokus dalam perjuangan politik hijau. Hal ini menandakan bahwasanya manusia dengan lingkungan memiliki hubungan yang erat. Nyatanya kedua hal tersebut pun saling bergantungan, dimana manusia bergantung pada lingkungan (alam) untuk memenuhi kebutuhan manusia dan begitupun sebaliknya. 

Implementasi politik hijau dapat menjadi solusi, dimana nilai atau panduannya memfokuskan pada keberlanjutan dan menghindari konflik. Demikian hal ini dapat menjadi pandangan dan penerapan pada 193 negara di dunia yang terdaftar di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dimana sebagian memiliki budaya yang multikultural dan rentan akan terjadinya konflik. Sejalan dengan Pierre L. van den Berghe (1993) mengatakan bahwa konflik klasik sering terjadi pada negara multikultural, seperti intoleransi, konflik sosial, dan dominasi politik. Politik hijau sendiri memperhatikan isu ini dan menjadi nilai kesatuan. 

Sebab politik hijau memprioritaskan dukungan dan dorongan kepada gerakan akar rumput dan organisasi masyarakat sipil (OMS). Disamping sebagai check and balance terhadap pemerintah, gerakan akar rumput dan OMS dapat mencegah sekaligus menjembatani penyelesaian konflik. Kajian (Meinema, 2012) mengatakan bahwa terjadinya konflik di Maluku 1999 – 2002 dapat berhenti karena masyarakat sendiri yang menghendaki. Selaras dengan kajian (Hasan & Sulasman, 2022) menjelaskan bahwa masyarakat Maluku dapat membangun perdamaian dibawah nilai – nilai kearifan lokal pela gandong (persaudaraan, solidaritas, kerukunan, dan demokrasi). Demikian mengapa politik hijau mendukung pergerakan mulai dari level bawah, sebab memiliki pengaruh yang besar terhadap penyelesaian konflik, terlebih menggunakan nilai-nilai yang sudah berdasar dan mengikat pada masyarakat setempat. 

Terakhir, menurut (Muhamad & Khalid, 2014) politik hijau bersifat non-divisif, dimana politik ini mampu menyatukan seluruh pihak dalam satu kepentingan yang universal, yaitu melestarikan bumi dan melanggengkan masa depan. Politik ini dapat mempersatukan dan mempertemukan orang dari berbagai lingkungan. Demikian, prinsip keberagaman ini menjadi pembentuk keharmonisan di masyarakat, dimana tidak berbenturan dengan ideologi dan pandangan yang berbeda. Malahan dapat bersama – sama mengangkat arti pentingnya hidup bersama sekaligus menjaga kelestarian di bumi. Sehingga terjadinya sinkronisasi dengan damainya kehidupan umat manusia yang dapat menunjang keberlangsungan lingkungan.   

Menerapkan Politik Hijau di Indonesia 

Indonesia dapat menjadi salah satu contoh dari negara multikultural untuk menerapkan politik hijau. Sebagai negara yang dirahmati oleh luasnya kekayaan alam, Indonesia pun tidak menutup kemungkinan memiliki masalah terkait lingkungan, salah satunya ialah perebutan hutan adat. Contohnya, perebutan hutan adat Pubabu oleh masyarakat adat Besipae di NTT dengan Pemprov NTT. Masalah diawali ketika masyarakat Besipae enggan memperpanjang izin pinjam pakai lahan di kawasan hutan Pubabu, dimana Pemda menginginkan sebagai area peternakan, perkebunan, dan pariwisata. Kemudian, pemerintah daerah (Pemda) mengeluarkan sertifikat lahan atas hutan Pubabu tanpa sepengetahuan masyarakat. Pada akhirnya, Pemda menggusur tempat tinggal masyarakat adat yang berada di hutan Pubabu dimana di dalamnya terdapat desa Linamnutu, Mio, dan Oe Ekam. Intimidasi dan kekerasan pun tak terhindarkan, sebab Pemda menggunakan gabungan aparat (TNI, Polri, dan Satpol PP) untuk mengusir masyarakat adat. (Amindoni, 2020) 

Peristiwa tersebut merupakan satu dari banyaknya kejadian terkait perebutan hutan adat di Indonesia. Dimana pemerintah pusat hingga daerah kurang memahami terkait penggunaan dan pemanfaatan terkait hutan adat, bahkan masyarakat adat percaya bahwa hutan merupakan hal yang sakral dan kawasan konservasi. Layaknya masyarakat Besipae yang menganggap hutan adat Pubabu merupakan kawasan konservasi atau Nais Kio (dilarangnya bertani dan berburu). 

Konflik perebutan ini pun pada akhirnya mengganggu keragaman yang berada di dalam kawasan hutan adat, sebab masyarakat aslinya tidak memiliki tempat bernaung lagi untuk aktivitas. Hadirnya konflik ini pun disebabkan belum adanya payung hukum terkait mengatur masyarakat adat. Menilik pada kebijakan, tampaknya RUU Masyarakat Adat sudah 14 tahun belum dibahas oleh DPR dan pemerintah. Seiring belum disahkannya RUU, seiring pula akan bertambah kasus perampasan hutan adat. AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) melaporkan bahwa lima tahun belakang sudah terjadi 301 kasus perampasan wilayah adat. (Adisubrata, 2023) 

Masalah nasional ini harus menjadi perhatian pemerintah pusat yang bersinergi dengan pemerintah daerah sebab apabila tidak terselesaikan akan berdampak pada menurunnya kapabilitas negara dalam menyelesaikan konflik, dan berpengaruh kepada sektor – sektor negara, seperti ekonomi, sosial, dan keamanan. Apabila masalah berlarut-larut dan membesar berakibat pada perhatian internasional dan berujung intervensi oleh negara lain. Pada dasarnya, masalah internasional sendiri berawal dari sengketa yang berlingkup kecil (wilayah dan subnasional).

Apabila menerapkan politik hijau, konflik seperti masyarakat adat Besipae dalam hutan adat Pubabu akan teratasi dan RUU Masyarakat Adat pun sudah pasti disahkan sejak lama. Sebab politik hijau mengedepankan pengakuan kepada hak – hak masyarakat adat yang sudah lama mendiami wilayah tersebut, bahkan akan menghargai kontribusi mereka karena telah menjaga dan melindungi lingkungan maupun warisan budaya. Selain itu, penggunaan kekerasan pun dapat dihindarkan sebab prinsip tanpa-kekerasan akan lebih diutamakan. Pada akhirnya, politik hijau akan memprioritaskan dalam menghargai hadirnya keragaman masyarakat adat disamping memenuhi prinsip keberlanjutan. 

Dalam mengembangkan pembangunan ekonomi untuk memberantas kesenjangan dan kemiskinan di masyarakat, seumpama tanah adat akan tersentuh, dibutuhkannya saling memahami dari kedua belah pihak terkait proyek yang akan dilaksanakan. Dimana pengurusannya akan diatur oleh tetua adat setempat dan bersinergi dengan pemerintah, sehingga terciptanya pendistribusian yang merata serta terwujudnya prinsip keadilan sosial. Demikian, pemerintah akan meregulasi dan masyarakat adat akan mengelolanya. 

Selain melihat betapa urgensinya Indonesia untuk menerapkan politik hijau terhadap perdamaian sekaligus pelestarian alam. Politik hijau pun sesuai dengan nilai – nilai ideologi Pancasila, salah duanya adalah, sila ke-2 yang berbunyi “Kemanusiaan yang adil dan beradab” dan sila ke-5 “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Sila ke-2 menjelaskan bahwasanya perilaku manusia harus berlaku baik, beretika, berakhlak, berilmu, dan lainnya kepada makhluk hidup maupun benda mati. Intinya manusia yang beradab ialah makhluk yang tidak merusak atau mengeksploitasi lingkungan. Sebab sifat serakah manusia dapat memicu terjadinya konflik. Selanjutnya sila ke-5 yang sesuai dengan prinsip keadilan sosial, seperti penyamarataan ekonomi sehingga tidak terjadinya jurang antar masyarakat berkecukupan dengan ketidakcukupan, perlakuan yang setara di mata hukum, pendidikan yang universal, dan sebagainya. Dengan demikian, politik hijau dapat menjadi manifestasi suatu pengamalan nilai Pancasila diiringi mengutamakan keberlanjutan.      

Kemudian dengan menerapkan politik hijau di Indonesia, diharapkan dapat menjadi pelopor perdamaian dalam koridor lingkungan. Sebagai negara yang politik luar negeri bebas dan aktif, Indonesia dapat menjadi peran sentral dengan menggunakan diplomasinya. Melihat Indonesia sendiri memiliki portfolio yang banyak terkait kontribusi perdamaian di dunia, seperti pernah menjabat empat kali menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan (DKK) PBB dan sekarang kembali mencalonkan, memiliki pasukan perdamaian Garuda-PBB, memimpin gerakan non-blok, pernah menjadi pemecah masalah terkait konflik antara Kamboja – Vietnam, dan lainnya (Oktavia, 2023) (Miranti, 2023). Menjadi hal yang menarik dan menantang untuk Indonesia apabila menjadi negara yang memfasilitator perdamaian di dalam koridor lingkungan.  

Pada akhirnya, penerapan perdamaian pun tampaknya tidak dapat berjalan sendiri oleh satu negara, akan tetapi perlunya dukungan, kerja sama, kolaborasi, dan sinergi dari negara lain untuk dapat mencegah terjadinya konflik. Dengan demikian hal ini merupakan menjadi tanggung jawab bersama umat manusia di dunia, sekaligus menjaga rantai generasi umat manusia dan lingkungan kedepannya.    

Kesimpulan

Politik hijau hadir sebagai solusi alternatif untuk mencegah terjadinya konflik. Dengan sifat non-divisive yang dimilikinya, politik hijau mampu menyelesaikan permasalahan dengan pendekatan yang merangkul semua dibawah payung lingkungan. Indonesia tampaknya sesuai dalam menerapkan politik hijau, dimana keragaman budaya dan keanekaragaman hayati menjadi dua hal yang diunggulkan, dan politik hijau selaras dengan hal itu. Dengan demikian, politik hijau dapat sebagai solusi untuk melindungi kedua hal tersebut, sekaligus mempertahankan eksistensi Indonesia yang dikenal sebagai negara multikultural dan zamrud khatulistiwa. 

Penguatan dan dorongan masyarakat dalam hal ini gerakan akar rumput dan organisasi masyarakat sipil menjadi kunci utama untuk dapat menyelesaikan konflik yang ada, sebab apabila masyarakat saling memahami perdamaian pun bersemi bak bunga. Selain itu, prinsip – prinsip yang terkandung dalam politik hijau pun memiliki keselarasan dalam ideologi Indonesia sendiri, yaitu Pancasila. Demikian damainya bumi senantiasa mendukung kelestarian lingkungan sehingga dapat terciptanya keberlanjutan.

Daftar Pustaka

Adisubrata, I. (2023). RUU Masyarakat Adat tak kunjung disahkan, DPR RI dan Presiden digugat. https://jubi.id/nasional-internasional/2023/ruu-masyarakat-adat-tak-kunjung-disahkan-dpr-ri-dan-presiden-digugat/ 

Amindoni, A. (2020). Masyarakat adat Besipae di NTT yang ‘digusur’ dari hutan ada Pubabu: Anak-anak dan perempuan ‘trauma’ dan ‘hidup di bawah pohon’. https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-53839101 

Britannica, T. Editors of Encyclopaedia. (2023). Persian Gulf War. Encyclopedia Britannica. https://www.britannica.com/event/Persian-Gulf-War 

Fitria & Putra, G.R.A. (2022). Problematika Antara Israel dan Palestina. ADALAH: Buletin Hukum & Keadilan, 6.  

Global Greens. (2001). Piagam Kaum Hijau Sedunia. Canberra: Global Greens

Hasan, H & Sulasman. (2022). Rekonsiliasi Konflik Ambon Berbasis Nilai-Nilai Kearifan Lokal Pela Gandong, 1999 – 2002. Tsaqofah: Jurnal Agama dan Budaya, 20

Meinemen, E.H. (2012). Provoking Peace: Grassroots Peacebuilding by Ambonese Youth. Tesis. University of Groningen

Miranti, B. (2023). Indonesia Kembali Calonkan diri jadi Anggota Dewan Keamanan dan Dewan HAM PBB. https://www.liputan6.com/global/read/5177778/indonesia-kembali-calonkan-diri-jadi-anggota-dewan-keamanan-dan-dewan-ham-pbb?page=3 

Mojabi, S. M, dkk. (2010). Environmental Impact of White Phosphorus Weapons on Urban Areas. 2010 International Conference on Environmental Engineering and Applications, 112-116. doi: 10.1109/ICEEA.2010.5596102.

Muhammad, J & Khalid, K. (2014). Politik Hijau dalam Priyono, A.E & Usman Hamid (Ed.) Merancang Arah Baru Demokrasi. Jakarta: Kepustakaan Populer Media

Oktavia. S. (2023). Hari PBB 24 Oktober dan Peran Indonesia untuk Perdamaian Dunia. https://www.detik.com/jatim/berita/d-6998721/hari-pbb-24-oktober-dan-peran-indonesia-untuk-perdamaian-dunia#:~:text=Indonesia%20berhasil%20ditetapkan%20sebagai%20anggota%20tidak%20tetap%20Dewan,keseluruhan%20192%20negara%20anggota%20yang%20mempunyai%20hak%20pilih

Pierre L. van den Berghe dikutip oleh Michael Banton. (1993). Racial and Ethnic Competition. New York: Cambridge University PressUNDP (United Nations Development Programme). (1994). Human Development Report 1994: New Dimensions of Human Security. New York: UNDP

Muhamad Fikri Asy’ari merupakan lulusan dari Universitas Al-Azhar Indonesia. Dapat ditemukan di Instagram dan Twitter dengan nama pengguna @fasy.ari @BisayukS2

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *