Tanggung Jawab Terhadap Pengungsi Afghanistan: Perspektif Kosmopolitanisme

0

Ilustrasi Pengungsi. Foto: Kutluhan Cucel/Getty

Meskipun Indonesia tidak termasuk ke dalam daftar negara yang menandatangani Konvensi PBB Tentang Pengungsi tahun 1951 (United Nations, 1951) maupun Protokol Mengenai Pengungsi tahun 1967 (United Nations, 1967), hal tersebut tetap tidak mencegah berdatangannya pengungsi yang berniat untuk menjadikan Indonesia sebagai negara ‘transit’ dikarenakan posisinya yang strategis (Susetyo, 2022). Dari 13.459 pengungsi yang ada di Indonesia, terdapat 7.460 orang yang berasal dari Afghanistan (CNN Indonesia, 2022). Mereka hidup dengan kondisi terlunta-lunta, tidak memperoleh perhatian dari pemerintah maupun organisasi-organisasi lainnya (CNN Indonesia, 2022). Meskipun United Nations High Commissioner For Refugees (UNHCR) turut memberikan bantuan, bantuan tersebut hanya diberikan secara terbatas selama 3 bulan, sebelum mereka akhirnya melepas para pengungsi tersebut untuk menghidupi diri mereka sendiri (CNN Indonesia, 2022).

Meskipun telah terdapat bantuan dari beberapa individu yang simpatik kepada para pengungsi tersebut, tetap saja bantuan tersebut tidak dapat memperbaiki kondisi hidup mereka secara signifikan (CNN Indonesia, 2022). Ditambah lagi, banyak dari mereka yang merasa dibohongi dan ditelantarkan selama lebih dari 10 tahun karena mereka tidak diberi kesempatan hidup layak di Indonesia, namun juga tidak segera diperbolehkan pindah ke negara ketiga seperti Amerika Serikat (AS), Australia, serta Selandia Baru yang sejatinya menjadi tujuan akhir mereka (Baihaqi, 2022). Hal ini kemudian membuat beberapa dari pengungsi mengalami keputusasaan, bahkan ada di antara mereka yang meninggal karena sakit (Baihaqi, 2022) atau melakukan tindakan bunuh diri (Khamoosh, 2021). Keadaan tersebut menunjukkan hambatan dalam penerapan kosmopolitanisme hak asasi manusia, yang kemudian menimbulkan pertanyaan mengenai bagaimana penanganan pengungsi Afghanistan di Indonesia seharusnya dilakukan, serta mengenai siapa yang pantasnya bertanggung jawab atas nasib para pengungsi tersebut jika dilihat dari sudut pandang kosmopolitanisme.

Kosmopolitanisme Menurut Poggee

Dalam artikel jurnal Thomas W. Pogge berjudul “Cosmopolitanism and Sovereignty” (1992), dijelaskan bahwa terdapat dua cara untuk memahami kosmopolitanisme hak asasi manusia berdasarkan cakupan (Pogge, 1992:50)[1] : 1) Kosmopolitanisme institusional, dan; 2) Kosmopolitanisme interaksional. Kosmopolitanisme institusional percaya bahwa menegakkan nilai-nilai hak asasi manusia secara kosmopolit merupakan tanggung jawab dari institusi tertentu, sementara kosmopolitanisme interaksional percaya bahwa tanggung jawab tersebut diemban oleh individu. Selain itu, kedua jenis kosmopolitanisme ini juga memiliki perbedaan pendekatan, dimana kosmopolitanisme institusional menekankan pada constraint upon shared practice[2]  yang mengandalkan seperangkat peraturan baku untuk dijalankan, sementara kosmopolitanisme interaksional menekankan pada constraint on conduct yang mengandalkan kemampuan tiap individu untuk mengontrol diri masing-masing dalam bertindak (Pogge, 1992:50-51).

Yang menarik dari kedua pendekatan ini adalah bagaimana Pogge berargumen bahwa kedua pendekatan tersebut tidak dapat berdiri sendiri (Pogge, 1992:55), terutama jika dipahami dari konteks negara demokrasi; pendekatan institusional tidak dapat memaksakan perilaku masyarakat secara mendetail dan keseluruhan tanpa merenggut kebebasan individu, sementara pendekatan interaksional tetap memerlukan serangkaian peraturan agar dapat dijalankan secara konsisten. Karena itu lah, Pogge berargumen bahwa pilihan untuk mencapai pemenuhan hak asasi manusia secara maksimal harus dimulai dari individu, yang kemudian akan memicu terjadinya perubahan di tingkat institusi (Pogge, 1992:52).

Pengungsi Afghanistan di Indonesia

Menurut esai[3]  ini, dalam kasus pengungsi Afghanistan di Indonesia, hal yang terjadi adalah kurangnya efektivitas pendekatan institusional dalam penanganan pengungsi tersebut, dimana tidak terdapat kerangka institusional yang jelas mengenai bagaimana bantuan harus diberikan dan siapa yang menjadi stakeholder utama dalam menangani permasalahan ini. Hal ini bisa terjadi karena Indonesia bukanlah negara yang ikut menandatangani Konvensi PBB Tentang Pengungsi tahun 1951 Protokol Mengenai Pengungsi tahun 1967, sementara pemerintah hanya memiliki Perpres 125 Tahun 2016 sebagai dasar hukum, yang belum memiliki kekuatan hukum yang cukup mengikat (Susetyo, 2022). Karena itu, secara institusional negara tidak memiliki motivasi yang cukup mendesak untuk menangani permasalahan ini secara serius. Hal ini kemudian menciptakan pendekatan Indonesia yang cenderung state-centric dan mengedepankan gagasan ‘kedaulatan’ dalam penanganan pengungsi, yang kemudian menghasilkan peraturan yang membuat pengungsi sulit untuk meraih penghidupan yang layak, seperti tidak dijaminnya hak untuk memperoleh pendidikan

serta pelarangan bagi pengungsi untuk melakukan kegiatan yang menghasilkan uang, seperti bekerja (Prabandari & Adiputera, 2019:140).

Permasalahan secara institusional juga makin diperparah dengan status para pengungsi yang sudah dianggap sebagai orang stateless (tanpa negara) oleh pemerintah Afghanistan karena upaya mereka untuk kabur dari Afghanistan, sehingga otoritas Afghanistan, termasuk didalamnya adalah perwakilan diplomatik Afghanistan di Indonesia, sudah lepas tangan terhadap nasib mereka (Nathanael & Puspita, 2021:319-320). Selain itu, juga terdapat penghalang lain bagi pengungsi Afghanistan ini untuk berinteraksi secara baik dengan masyarakat, yaitu agama. Kebanyakan pengungsi Afghanistan yang melarikan diri ke Indonesia merupakan pengungsi dari suku Hazara, dimana mereka biasanya menganut agama Islam aliran Syi’ah (BBC News Indonesia, 2021). Aliran ini berbeda dari aliran yang lazim diikuti di Indonesia, yaitu Islam aliran Sunni. Karena itu lah, lembaga-lembaga non-pemerintah seperti UNHCR, International Organization for Migration (IOM), maupun lembaga-lembaga non-negara lain pada akhirnya menjadi stakeholder yang lebih sering terlibat dalam mengurusi para pengungsi ketimbang negara (Prabandari & Adiputera, 2019:140).

Sementara itu, jika dilihat dari segi interaksional, dapat dilihat bahwa masyarakat masih cenderung tertutup terhadap para pengungsi, kebanyakan dikarenakan permasalahan bahasa maupun upaya pengungsi untuk tidak mengundang perhatian yang tidak diinginkan (Prabandari & Adiputera, 2019:140). Jika dinalar, hal ini juga masuk akal mengingat pengungsi Afghanistan tidak memiliki outlet interaksi dengan masyarakat di latar agama maupun di latar formal, seperti di sektor pendidikan serta sektor profesi. Meskipun begitu, terdapat pula contoh interaksi positif di antara masyarakat lokal dengan pengungsi Afghanistan secara informal, seperti yang ditunjukkan melalui keberadaan aktivitas pengungsi Afghanistan di dalam komunitas parkour Kota Makassar (BBC News Indonesia, 2021). Dalam kegiatan tersebut, dilaporkan bahwa Habib dan Ali, dua pengungsi asal Afghanistan, telah menemukan komunitas yang dapat membantu mereka berbaur dengan masyarakat lokal serta memberikan ruang bagi mereka untuk menyebarkan kesadaran akan kondisi para pengungsi Afghanistan di Indonesia (BBC News Indonesia, 2021).

Contoh lain dari kosmopolitanisme interaksional dalam kasus ini adalah komunitas belajar bagi anak-anak pengungsi di Cisarua yang dibentuk atas usaha pengungsi Afghanistan, pengungsi Pakistan, masyarakat lokal, serta pengunjung asing, dimana komunitas belajar ini menjadi wadah bagi para pengungsi untuk berinteraksi dengan masyarakat lokal (Ali, Briskman, & Fiske, 2016:24). Selain dua contoh tersebut, meskipun

tidak besar, terdapat pula sebagian kecil warga Indonesia yang memberikan bantuan bagi pengungsi Afghanistan di Jakarta (CNN Indonesia, 2022). Hal ini menunjukkan bahwa potensi interaksi positif di antara masyarakat lokal dengan pengungsi Afghanistan, dan kosmopolitanisme nilai hak asasi manusia dapat hadir melalui interaksi antar-individu.

Meskipun begitu, interaksi antar-individu tidak dapat menjadi satu-satunya jalur yang menjamin terwujudnya kosmopolitanisme hak asasi manusia bagi pengungsi Afghanistan di Indonesia. Sejalan dengan yang disampaikan oleh Pogge (1992:52), esai ini[4]  berargumen bahwa kunci penyelesaian permasalahan pengungsi Afghanistan di Indonesia ini adalah melalui interaksi antar-individu yang kemudian dibawa hingga ke tahapan institusional. Hanya mengandalkan model interaksional untuk mewujudkan kosmopolitanisme hak asasi manusia bagi para pengungsi Afghanistan hanya akan memberikan ketenangan sementara, tanpa mengatasi akar permasalahan. Akar permasalahan yang dimaksud yaitu kesulitan pengungsi Afghanistan untuk berbaur dengan masyarakat Indonesia di latar formal guna memperoleh hak asasi mereka yang berkaitan erat dengan interaksi di latar tersebut. Tanpa pemberian hak-hak dasar seperti hak untuk mendapatkan pendidikan maupun hak untuk mencari penghasilan, kosmopolitanisme hak asasi manusia bagi pengungsi Afghanistan tetap tidak akan terpenuhi. Esai ini berargumen bahwa langkah pertama yang harus dilakukan untuk mewujudkan kosmopolitanisme hak asasi manusia bagi pengungsi Afghanistan adalah melalui pembuatan peraturan perundang-undangan yang lebih dapat menjamin terwujudnya kosmopolitanisme hak asasi manusia bagi mereka.

Dalam tahapan tersebut, peranan masyarakat lokal sebagai konstituen dari pembuat kebijakan dapat digunakan untuk mengadvokasikan tujuan ini. Esai ini berargumen bahwa langkah ini bukanlah langkah yang mustahil, terutama jika melihat terdapatnya contoh interaksi positif antara pengungsi Afghanistan dengan masyarakat setempat melalui wadah informal. Hal tersebut telah menunjukkan bahwa spirit kosmopolitanisme hak asasi manusia sebenarnya sudah hidup di masyarakat dan dapat diterapkan di tahapan interaksional, sehingga tantangan yang tersisa adalah bagaimana pengungsi serta masyarakat setempat dapat turut mengambil langkah yang lebih kolaboratif dengan pemerintah untuk memperbaiki kondisi hidup pengungsi Afghanistan. Perihal Indonesia hanya sekedar negara ‘transit’ bagi para pengungsi Afghanistan seharusnya tidak berarti bahwa kosmopolitanisme hak asasi manusia tidak berlaku di Indonesia, dan tanggung jawab untuk mewujudkan hal tersebut ada di pundak pemerintah sekaligus masyarakat.

Kesimpulan

Melalui pemaparan dalam esai ini, dapat disimpulkan bahwa jika dilihat melalui kacamata kosmopolitanisme, permasalahan mengenai siapa yang harus bertanggung jawab

terhadap penyelesaian kasus pengungsi Afghanistan yang terlantar ini merupakan permasalahan yang kompleks. Terdapat banyak penghalang yang mengiringi permasalahan ini, yang sebenarnya berakar dari satu permasalahan: peranan institusional negara yang kurang mumpuni baik di tahapan produk hukum maupun di tahapan tindakan secara langsung di lapangan. 

Penyebab kurangnya peran pemerintah tersebut adalah karena nilai-nilai kosmopolitanisme mengenai hak asasi manusia belum diinstitusionalkan secara memadai di institusi-institusi negara. Minimnya peran negara Indonesia tersebut kemudian menimbulkan masalah-masalah lanjutan, seperti terisolasinya pengungsi Afghanistan dari akses pendidikan dan pekerjaan maupun perbedaan aliran agama yang dianut dengan mayoritas masyarakat Indonesia. Hal tersebut otomatis mempersempit ruang gerak mereka untuk berinteraksi secara positif dengan masyarakat. 

Meskipun begitu, pada realitanya sebenarnya jika dilihat dari segi kosmopolitanisme interaksional terdapat harapan dari komunitas-komunitas yang dapat melibatkan pengungsi Afghanistan dalam kegiatan mereka. Meskipun begitu, esai ini tetap berkesimpulan bahwa jalan terbaik untuk mewujudkan pemenuhan hak asasi manusia bagi pengungsi Afghanistan di Indonesia adalah melalui kolaborasi masyarakat dengan negara, dimana peranan warga negara Indonesia sebagai konstituen untuk mengadvokasikan kosmopolitanisme hak asasi manusia bagi pengungsi merupakan langkah awal yang bagus untuk memulai.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, M., Briskman, L. R., & Fiske, L. I. (2016). Asylum seekers and refugees in Indonesia: Problems and potentials. Cosmopolitan Civil Societies: An Interdisciplinary Journal8(2), 22–43. https://doi.org/10.5130/ccs.v8i2.4883

Baihaqi, A. (2022, January 25). Pengungsi Afghanistan demo di DPRD surabaya, Tuntut Pindah           Ke        negaraketiga.  detikjatim. https://www.detik.com/jatim/berita/d-5913607/pengungsi-afghanistan-demo-di-dprd-surabaya-tuntut-pindah-ke-negara-ketiga

BBC News Indonesia. (2021, November 17). Pengungsi Afghanistan di Indonesia: “Saya Tak Punya Harapan untuk masa depan, Tapi Saat berlatih parkur Saya Merasa rileks.” BBC News Indonesia. https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-59316057

CNN Indonesia. (2022, January 21). Pengungsi Afghanistan Terlunta-Lunta di Ri, Berharap Bantuan   Warga. CNN   Indonesia. https://www.cnnindonesia.com/internasional/20220120193635-106-749308/pengungsi- afghanistan-terlunta-lunta-di-ri-berharap-bantuan-warga#:~:text=Hingga%20kini%20to tal%20pengungsi%20di,dan%205%20persen%20dari%20Irak.

Khamoosh, K. (2021, April 25). Pengungsi Afghanistan di Indonesia yang “Terlupakan”, Mereka Bunuh Diri Dalam Penantian. BBC News Indonesia. https://www.bbc.com/indonesia/dunia-56825864

Nathanael, J. J., & Puspita, N. Y. (2021). Penanganan Pengungsi Afghanistan di Indonesia: Turut Bertanggung Jawabkah Perwakilan Diplomatik Afghanistan di Indonesia? Jurnal Komunikasi Hukum (JKH)7(1), 312–325. https://doi.org/10.23887/jkh.v7i1.31685

Pogge, T. W. (1992). Cosmopolitanism and Sovereignty. Ethics103(1), 48–75.

Prabandari, A., & Adiputera, Y. (2019). Alternative paths to refugee and asylum seeker protection in Malaysia and Indonesia. Asian and Pacific Migration Journal28(2), 132–154. https://doi.org/10.1177/0117196819850946

Susetyo, H. (2022, March 2). Urgensi Penanganan Pengungsi Dan Pencari Suaka di Indonesia.            hukumonline.com.

https://www.hukumonline.com/berita/a/urgensi-penanganan-pengungsi-dan-pencari-sua ka-di-indonesia-lt621edab5abc5c/?page=5

United Nations. (1951, July 28). REFUGEES AND STATELESS PERSONS | Convention relating to the Status of Refugees. United Nations Treaty Collection. https://treaties.un.org/pages/ViewDetailsII.aspx?src=TREATY&mtdsg_no=V-2&chapte r=5&Temp=mtdsg2&clang=_en

United Nations. (1967, January 31). REFUGEES AND STATELESS PERSONS | Protocol relating to the Status of Refugees. United Nations Treaty Collection. https://treaties.un.org/pages/ViewDetails.aspx?src=IND&mtdsg_no=V-5&chapter=5


Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *