Rampok Pasar Saham dan Rasionalitas Berlapis Kita

0

Trump dan Truth Social. Foto: Kelly Caminero/The Daily Beast

Trump dan Truth Social. Foto: Kelly Caminero/The Daily Beast

Di tengah puluhan kasus hukum dan setidaknya empat dakwaan kriminal terhadap Donald John Trump, sang presumptive nominee atau bakal calon presiden Amerika Serikat dari Partai Republikan, satu kasus perdata terkait penipuan proyek real estate menuntut Trump untuk mengeluarkan uang dalam bentuk surat hutang senilai $464 juta (yang kemudian diturunkan menjadi $175 juta) atau menghadapi penyitaan terhadap aset-asetnya di New York. Hal ini belum termasuk ratusan juta dolar lainnya yang Ia butuhkan untuk membayar biaya hukumnya. Dalam unggahan di Truth Social, media sosial andalannya, Trump mengaku memiliki setidaknya $500 juta yang dapat Ia gunakan. Meski begitu, tentu saja sebagai entrepreneur-cum-con artist handal Ia lebih memilih menggunakan uang orang lain ketimbang uangnya sendiri untuk membayar liabilitasnya.

Sejak dulu dan sampai detik ini, Trump telah menggunakan berbagai cara mulai dari meminta sumbangan, mengambil dana dari Political Action Committee (PAC), hingga menjual berbagai merchandise eksklusif Trump untuk membiayai ambisi politik sekaligus masalah hukumnya. Salah satu upaya yang disebut sebagai cara baru Trump untuk mengumpulkan uang dari publik ini dilakukan di pasar saham New York, yakni melalui initial public offering (IPO) dari Truth Social dengan akronim DJT, yang juga merupakan inisial Trump.

Upaya yang berpotensi menjadi perampokan siang bolong di pasar saham ini membuka lembaran lama terkait berbagai manipulasi pasar saham, membuat prospek baru penyalahgunaan pasar saham, dan menunjukkan watak rasionalitas yang berlapis dalam arena ekonomi yang “rasional”.

Duduk Perkara Truth Social, Trump, dan Pasar Saham

Pasar saham adalah instrumen yang esensial dalam kapitalisme sejak penemuannya, sebab seorang entrepreneur harus dapat mengumpulkan kapital dalam jumlah besar untuk membiayai usahanya, yang tidak selalu dapat dipenuhi melalui kredit perbankan. Hal ini dapat dilakukan dengan menjual saham sebagai bukti kepemilikan nilai suatu perusahaan. Publik kemudian membeli saham dengan janji keuntungan di masa depan, baik melalui dividen maupun penjualan saham dengan nilai yang lebih tinggi (offloading).

Dalam hal ini, Truth Social sebagai perusahaan media sosial melakukan debutnya di pasar saham New York pada Senin, 26 Maret 2024 tanpa janji keuntungan yang jelas. Hal ini karena Truth Social tidak merilis data pengguna yang jelas, dan dengan demikian tidak menawarkan rencana bisnis yang jelas. Estimasi SimilarWeb menyebut Truth Social hanya memiliki sekitar lima juta website visits pada Februari 2024, sementara estimasi lain menempatkan pengguna aktif bulanannya hanya sekitar 500,000 orang. Meski begitu, di minggu pertama debutnya saham DJT mencatatkan performa yang luar biasa, mencapai harga $79  per saham di hari keduanya atau naik lebih dari 250% dari harga penawaran awalnya senilai $14 per saham. Valuasi Truth Social mencapai $6 miliar dollar pada puncaknya, setara dengan Reddit yang memiliki 267 juta pengguna aktif bulanan.

Valuasi fantastis ini dimungkinkan oleh simpatisan Trump yang berbondong-bondong memberli saham DJT. Para pendukung Trump menganggap membeli saham tersebut sama dengan memberikan dukungan terhadapnya. Meski begitu, terdapat juga peran megadonor Republikan seperti Jeff Yass, yang baru bertemu Trump Maret lalu, yang memegang sekitar 2% saham Truth Social melalui Susquehanna International Group, serta enam investor institusional lainnya yang memegang setidaknya 0.1% saham.

Terkait ini, banyak ahli menyebutkan potensi terjadinya “perampokan” melalui cara offloading saham yang akan mengumpulkan uang yang Trump butuhkan untuk membayar keperluan hukumnya. Trump tercatat memiliki 57% saham Truth Social senilai $5.2 miliar pada puncaknya. Perampokan ini menjadi mungkin terjadi karena performa saham DJT terlepas dari performa bisnis aktualnya, sehingga IPO Truth Social berpotensi menjadi skema pengumpulan kapital bukan untuk bisnis, tetapi untuk kepentingan politik Trump.

Per hari Senin (1/4), setelah Truth Social merilis laporan yang menunjukkan bahwa perusahaan tersebut rugi $58.2 juta dan untung hanya $4.1 juta pada 2023, harga sahamnya segera turun menjadi $49 per saham di bursa New York. Akibatnya, nilai saham yang dimiliki Trump juga turun menjadi $3.8 miliar

Meski tidak dapat dipastikan bahwa Trump melakukan offloading saham atau tidak, bahkan jika hanya sedikit, tidak diketahui jika Trump mempermainkan harga saham ini melalui pihak ketiga. Selain itu, jika memang ternyata Trump akan memegang saham ini dalam jangka waktu yang panjang, dikhawatirkan bahwa kepemilikan saham Trump ini dapat menjadi sarana penyuapan bagi pihak-pihak yang ingin memengaruhi kebijakan AS apabila Trump kembali terpilih menjadi presiden. Tidak perlu menyuap lewat kripto atau tunai, cukup beli saham Truth Social yang sepenuhnya legal.

Perampokan dan Rasionalitas Berlapis

Pasar saham, dan juga kapitalisme, berfungsi dengan asumsi ekonomi ortodoks bahwa manusia sebagai homo economicus bersifat rasional yang egois dan memaksimalkan keuntungan mereka sendiri (self-interested). Dalam perkembangan kapitalisme tahap lanjut dengan pasar finansial yang sudah dewasa, hal ini termanifestasi dalam spekulasi ekstrim melalui berbagai instrumen finansial, yang paling utama diantaranya tentu pasar saham. Bahkan dalam iklim spekulatif yang kerap kali tidak sehat ini, banyak yang menyebut bahwa pasar saham masih bekerja dengan baik karena aktor-aktor di dalamnya “rasional”.

Meski begitu, dari kasus Trump dan Truth Social dapat disimpulkan bahwa asumsi ini tidak sepenuhnya benar dalam dua cara. Pertama, asumsi ini kurang tepat karena aktualisasi rasionalitas seseorang tidak selalu sama, sebab berbasis pada pengetahuan dan sumber daya materiil tertentu. Di level paling mendasar, aktor yang rasional pasti berpartisipasi dalam pasar saham dengan cara yang langsung dan menguntungkan mereka, utamanya membeli saham yang berpotensi untung, baik melalui spekulasi jangka pendek atau investasi jangka panjang, baik melalui analisis teknikal maupun fundamental. Bahkan di level mendasar ini, tidak semua orang yang berpartisipasi dalam pasar saham mampu “bertindak rasional” dengan melakukan analisis yang tepat, sesederhana karena informasi yang overwhelming dan metode yang kompleks. Akan tetapi, terdapat banyak orang yang kemudian berpartisipasi dalam pasar saham karena dorongan rasional untuk meraup untung darinya. Kalau orang lain bisa, kenapa saya tidak?

Di level lanjut, rasionalitas ini didasarkan pada pengetahuan makro dan kemampuan mobilisasional yang tinggi. Rasionalitas ini menjadi makro karena tidak hanya terbatas pada level individual, tetapi berbasis pada pengetahuan bahwa semua orang dalam pasar saham bersifat rasional sekaligus memiliki keterbatasan dalam rasionalitasnya. Salah satu simpulan dari kesadaran ini bahwa pasar saham merupakan sesuatu yang dapat dimainkan karena investor di pasar saham memiliki herd mentality. Ditambah dengan kemampuan mobilisasional yang tinggi, seperti uang yang banyak, maka Anda dapat game the system.

Kedua, asumsi ini salah karena ternyata tidak semua orang yang berpartisipasi dalam pasar saham bersifat rasional yang self-interested. Kasus Trump menunjukkan bahwa orang dapat ikut membeli saham dengan motif sosial yang bersifat altruistik, yakni memberikan dukungan terhadap seorang tokoh. Pasar saham yang “rasional” kemudian diisi oleh orang-orang yang “tidak rasional”. Kesenjangan dalam rasionalitas inilah yang membuat perampokan pasar saham menjadi lebih mudah, meski mungkin beberapa pihak kurang setuju dengan istilah tersebut karena sebagian pemegang saham Truth Social memang memberikan persetujuan uangnya diambil oleh Trump. Bagaimanapun juga, istilah etis seperti “perampokan” yang digunakan dalam artikel ini memang berbasis pada konsiderasi moral tertentu.

Dengan deskripsi rasionalitas tersebut, dapat diketahui bahwa terdapat rasionalitas yang berlapis antara aktor-aktor yang berpartisipasi dalam pasar saham. Kesenjangan antar lapisan rasionalitas ini juga yang membuat perampokan melalui pasar saham menjadi mungkin untuk dilakukan.

Pasar Saham, Institusi, dan Pengalaman Indonesia

Tulisan ini tidak bermaksud menakut-nakuti pembaca untuk berinvestasi di pasar saham. Bagaimanapun juga, pasar saham yang semakin dewasa tampak tidak dapat dipisahkan dalam perkembangan ekonomi Indonesia dan dunia. Akan tetapi, bahwa pasar saham memiliki potensi untuk disalahgunakan adalah fenomena yang terus terjadi sejak dahulu hingga kini. Tahun lalu misalnya, kasus Jiwasraya dan Asabri ramai dibicarakan tidak hanya karena korupsi, tetapi juga melibatkan praktik-praktik manipulasi saham. Sementara kerugian negara dari kedua kasus tersebut ditaksir mencapai hampir Rp 40 triliun, tidak diketahui dengan pasti ukuran dampak negatifnya terhadap Bursa Efek Indonesia, sebab semua (selain pelaku) yang terlibat dalam perdagangan saham melakukannya secara rasional sebagaimana umumnya.

Perkembangan kapitalisme menjadi tahap lanjut dan pasar saham menjadi semakin dalam memang seyogyanya dibarengi dengan institusi dan regulasi yang semakin maju juga. Dalam konteks sektor finansial, paling sering institusi ini berkembang melalui proses iterasi dalam jangka waktu yang lama. Namun di sisi lain, derajat kemiripan yang tinggi antar pasar saham di dunia sebagai bagian dari perkembangan kapitalisme seharusnya dapat mengakselerasi proses pembelajaran ini. Dalam hal ini, UU No 8/1995 tentang pasar saham yang baru membatasi terkait penipuan, manipulasi, dan insider trading barangkali memiliki urgensi untuk diperbarui.

Institusi lain yang barangkali juga perlu diperbaiki adalah media secara luas melalui pemberitaan yang masif, terutama untuk memperbaiki ketimpangan pengetahuan dan informasi soal pasar saham. Solusi ini turut diajukan oleh ekonom ternama Indonesia Kwik Kian Gie sebagai cara yang “paling fair, meski belum tentu efektif”. Kondisi dalam perusahaan hanya dapat diketahui secara luas apabila diberitakan secara luas pula, lebih baik lagi jika disertai dengan analisis-analisis yang mencerahkan, sehingga pengetahuan soal pasar saham tidak hanya menjadi pengetahuan yang niche.

Keganasan dan ketidaksempurnaan pasar harus dijinakkan dan diperbaiki oleh institusi, termasuk juga memediasi kesenjangan kemampuan materiil, informasi, dan rasionalitas. Jangan sampai yang berkemampuan besar dan berpemahaman tinggi mampu memainkan pasar di atas biaya mereka yang berkebatasan. Melihat sejarah Indonesia, tidak sedikit kasus manipulasi saham yang terjadi, terutama di masa Orde Baru saat konglomerasi sedang marak berkonsolidasi dan memiliki berbagai lini bisnis sekaligus. Masih terjadinya manipulasi saham saat ini menjadi peringatan atas bencana yang mungkin terjadi. Jangan sampai muncul juga Trump versi Indonesia yang dapat memanfaatkan celah ini untuk keuntungan pribadi.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *