Pragmatisme Politk Luar Negeri Indonesia terhadap Isu HAM

0

Indonesia dan Pragmatisme Politik Luar Negeri. Foto: VOI

Sejak dimulainya era demokratisasi dan reformasi di Indonesia pasca runtuhnya rezim otoriter Soeharto pada 1998, Indonesia secara aktif menggaungkan demokrasi dan HAM sebagai bagian dari politik luar negerinya. Pada tahun 2001, tiga tahun setelah jatuhnya Soeharto, Menteri Luar Negeri Indonesia Hassan Wirajuda bahkan secara gamblang menyebutkan bahwa “Indonesia saat ini dapat berdiri bangga sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia” (Sukma, 2011, hlm. 110). Tidak ketinggalan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bahkan menyatakan di dalam pidato luar negerinya pada 2005 bahwa demokrasi merupakan bagian dari “identitas internasional” Indonesia (Anwar, 2010).

Penarasian politik luar negeri (polugri) Indonesia dengan unsur demokrasi dan HAM yang distingtif ini menjadi hal yang menarik, terutama setelah Indonesia 32 tahun berada di bawah rezim otoriter Orde Baru. Oleh karena itu, artikel ini mencoba membahas evolusi agenda HAM dalam kebijakan luar negeri Indonesia dan bagaimana agenda tersebut sejatinya dilatarbelakangi oleh tujuan yang pragmatis, sebagaimana watak kebijakan luar negeri Indonesia pada umumnya.

Kemunculan Demokrasi dan HAM dalam Polugri Indonesia

Saat rezim Orde Baru runtuh, Indonesia dihadapkan oleh krisis ekonomi dan krisis demokrasi yang rapuh pasca-transisi. Terkhusus untuk kondisi demokrasi, Indonesia dihadapi oleh tuntutan dunia internasional untuk melakukan proses demokratisasi serta penyelesaian pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh rezim Soeharto. Sebagai bagian dari respons atas tuntutan internasional itu, Presiden BJ Habibie yang menggantikan Soeharto—dan diikuti oleh presiden-presiden selanjutnya—kemudian menjadikan demokrasi dan penghormatan HAM sebagai bagian dari “identitas Indonesia” di dunia internasional. (sukma, 2011).

Presiden BJ Habibie melakukan hal ini dengan meratifikasi berbagai rezim HAM internasional seperti Kovenan Anti-Penyiksaan, Kovenan Penghapusan Diskriminasi Rasial, dan beberapa kovenan atas hak-hak pekerja dalam waktu yang singkat (Sukma, 2011). Di tingkat regional, Indonesia bahkan menjadi pionir dari Deklarasi ASEAN Concord II dan Piagam ASEAN yang memasukkan agenda HAM dan demokrasi sebagai agenda utama ASEAN (Anwar, 2010). Indonesia juga menginisiasi pembentukan badan HAM PBB baru pada tahun 2005, yang kini bernama Dewan HAM PBB (Karim, 2020, hlm. 356)

Namun, perlu digarisbawahi bahwa walaupun Indonesia pasca-reformasi meletakkan HAM dan demokrasi sebagai salah satu pilar utama kebijakan luar negeri Indonesia, Indonesia tidak serta-merta mematuhi norma HAM di lapangan, seperti terjadinya pelanggaran HAM yang terus-menerus dilakukan oleh pihak keamanan seperti polisi dan militer Indonesia di Papua akhir-akhir ini. Hal ini dapat terjadi karena agenda HAM dalam kebijakan luar negeri Indonesia ditujukan untuk kepentingan instrumental dan pragmatisme semata, alih-alih benar-benar menginternalisasi dan mengimplementasikan norma HAM di lapangan. 

Watak Pragmatisme Polugri Indonesia

Setelah masa kepresidenan Habibie yang singkat berlalu, watak pragmatisme polugri Indonesia ini semakin terlihat. Presiden SBY, misalnya, mengatakan bahwa konflik di Papua harus segera diselesaikan karena konflik ini merusak citra Indonesia di dunia internasional (Acharya, 2015, hlm. 127). Hal ini justru menunjukkan isu demokrasi dan HAM yang hanya bersifat branding dan tidak mengindahkan implementasi aktualnya di lapangan. 

Pragmatisme ini terutama dapat diamati ketika presiden-presiden Indonesia pasca-reformasi kerap kali mengampanyekan penyelesaian HAM berat masa lalu kepada masyarakat Indonesia dan dunia internasional pada saat masa kampanye pemilihan mereka, walaupun kenyataannya proses penyelesaian tersebut berjalan di tempat. Wahyuningroem (2022, hlm. 420) menjelaskan bahwa janji-janji kampanye tersebut digaungkan oleh elit-elit politik agar mereka dapat dipersepsikan berseberangan dengan rezim Orde Baru, alih-alih benar-benar memiliki keinginan kuat untuk menyelesaikan masalah HAM berat masa lalu di Indonesia.

Selain itu, pragmatisme pola kebijakan luar negeri Indonesia terhadap isu HAM dapat dengan mudah dilacak jika suatu isu HAM bertabrakan dua hal: kedaulatan nasional serta keutuhan regional, yang dalam kasus ini adalah ASEAN. Karim (2020) menjelaskan bahwa keengganan Indonesia untuk membangun mekanisme penegakan HAM yang kuat di dalam proses institutional-building Dewan HAM PBB disebabkan oleh kekhawatiran Indonesia jika mekanisme penegakan tersebut dilakukan di Papua. Tak hanya itu, keengganan Indonesia untuk menandatangani Statuta Roma disebabkan karena Indonesia “tidak ingin kedaulatan nasionalnya diganggu” oleh mekanisme penegakan HAM internasional seperti di Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC). 

Sementara itu di level ASEAN, kendati Indonesia menjadi promotor aktif bagi agenda HAM di ASEAN, Indonesia selalu mengedepankan kompromi dan konsensus di dalam pembahasan mengenai HAM di ASEAN dengan mengacu pada prinsip-prinsip utama ASEAN seperti prinsip non-intervensi dan pengedepanan konsensus (Nandyatama, 2021, hlm. 97-98). Hal ini tentu dapat menyebabkan hambatan bagi penyelesaian masalah pelanggaran HAM di negara-negara anggota ASEAN, seperti di Myanmar pasca-kudeta junta militer.

Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan kasus-kasus di atas, dapat disimpulkan bahwa watak pragmatisme di dalam kebijakan luar negeri masih kian eksis di berbagai isu, salah satunya ketika berhadapan dengan isu HAM. Kendati Indonesia mengedepankan penghormatan terhadap HAM dan demokrasi sebagai bagian dari agenda kebijakan luar negerinya di tingkat internasional dan regional, pengedepanan isu-isu tersebut ditujukan demi kepentingan pragmatis dan instrumental, yaitu untuk memoles dan memperbaiki citra Indonesia di mata internasional. 

Tak hanya itu, watak pragmatisme dari kebijakan luar negeri Indonesia terhadap HAM pun dapat dilihat ketika terdapat isu HAM yang bersinggungan dengan kedaulatan negara dan keutuhan institusi regional seperti ASEAN. Kebijakan Indonesia di lapangan kerap kali kontradiktif dengan agenda kebijakan HAM luar negeri yang dibawakannya, seperti keengganan Indonesia untuk memperkuat mekanisme penegakan HAM di tingkat PBB dan kecenderungan Indonesia untuk mengedepankan kompromi dan konsensus ketika terjadi pelanggaran HAM di negara anggota ASEAN.

Daftar Pustaka

Acharya, Amitav. Indonesia Matters: Asia’s Emerging Democratic Power. New Jersey London Singapore Beijing Shanghai Hong Kong Taipei Chennai: World Scientific, 2015.

Anwar, Dewi Fortuna. “The Impact of Domestic and Asian Regional Changes on Indonesian Foreign Policy.” Southeast Asian Affairs, 2010, 126–41. https://www.jstor.org/stable/41418562.

Karim, Moch Faisal. “The Limits of Global Human Rights Promotion: Indonesia’s Ambivalent Roles in the UN Human Rights Council.” Contemporary Politics, January 29, 2020, 1–20. https://doi.org/10.1080/13569775.2020.1720065.

Nandyatama, Randy W. Indonesian Civil Society and Human Rights Advocacy in ASEAN: Power and Normative Struggles. Contestations in Contemporary Southeast Asia. Singapore: Springer Singapore, 2021. https://doi.org/10.1007/978-981-16-3093-4.

Sukma, Rizal. “Do New Democracies Support Democracy? Indonesia Finds a New Voice.” Journal of Democracy 22, no. 4 (2011): 110–23. https://muse.jhu.edu/pub/1/article/454064.Wahyuningroem, Sri Lestari. “Breaking the Promise: Transitional Justice between Tactical Concession and Legacies of Authoritarian Regime in Indonesia.” International Journal of Transitional Justice 16, no. 3 (November 1, 2022): 406–21. https://doi.org/10.1093/ijtj/ijac021.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *