Refleksi Perang Informasi dalam Perang Rusia-Ukraina: Propaganda dan Ancaman Keamanan Negara

0

Putin berbicara dalam sebuah konferensi. Foto: Alexander Zemlianichenko/AP

Digitalisasi pada abad ke- 21 mempermudah distribusi informasi secara real time mengenai suatu fenomena dan peristiwa lintas batas negara. Kemudahan tersebut dimanfaatkan oleh pengguna untuk berbagi ide, gagasan, dan pengetahuan secara demokratis. Namun dalam perkembangannya, kemudahan tersebut juga diinstrumentalisasi untuk kepentingan politik aktor tertentu melalui manipulasi informasi. Hal itu dilakukan untuk mempengaruhi preferensi sikap dan tindakan publik melalui konstruksi emosi sebagaimana kepentingan aktor tertentu. Instrumentalisasi informasi semakin berbahaya jika diartikulasikan ke dalam permasalahan keamanan negara seperti invasi Rusia ke Ukraina yang menyebabkan perang informasi. Dengan demikian, instrumentalisasi informasi melalui propaganda dapat menimbulkan berbagai kerugian dan mengancam keamanan suatu negara.
Dalam tulisan ini, keamanan akan dimaknai secara tradisional yang berfokus pada entitas negara. Oleh sebab itu, ide utama dalam melihat keamanan negara didasarkan pada upaya meminimalisir ancaman-ancaman tradisional. Selain itu, konsepsi mengenai keamanan juga dipahami dalam perspektif teknokratis yang berfokus pada upaya memperjelas pendefinisian ancaman dan memaksimalkan tercapainya keamanan (Cox, 1981). Berdasarkan pemahaman tersebut, konsep keamanan merujuk pada Baldwin (1997), bahwa keamanan merupakan “low probability of damage to acquired values”. Dengan demikian, keamanan dapat muncul ketika entitas negara terbebas dari ancaman internal maupun eksternal terutama dalam bentuk peperangan. Selain itu, diperlukan juga identifikasi dan spesifikasi penentuan masalah keamanan melalui analisis beberapa formulasi pertanyaan. Hal itu juga terdapat dalam Baldwin (1997), diantaranya security for whom, security for which values, how much security, for what threats, by what means, at what coast, dan in what time period.
Dalam konteks perang informasi melalui propaganda, sumber ancaman terhadap entitas negara yaitu tindakan atau sikap negara lain dalam merespon suatu peristiwa tersebut. Pasalnya, dalam politik internasional terdapat tiga preferensi utama dalam merespon suatu permasalahan yaitu mendukung, mengutuk, dan abstain. Ketiga sikap tersebut dapat dimanifestasikan ke dalam berbagai tindakan seperti pemberian bantuan finansial maupun militer. Dengan demikian, perang informasi melalui propaganda dilakukan untuk memperoleh

dukungan, simpati publik, dan perlindungan dari negara lain. Bantuan dan dukungan tersebut akan dinilai sebagai ancaman dan memunculkan ketidakamanan kepada negara yang memperoleh framing sebagai lawan. Pasalnya, bantuan tersebut akan melemahkan power suatu negara dan mengancam keberlangsungan negara tersebut. Propaganda juga berdampak buruk terhadap citra suatu negara yang terframing karena berimplikasi pada penolakan berbagai kemungkinan kerjasama (Avraham, 2017). Instrumentalisasi informasi tersebut juga dapat melegitimasi tindakan intervensi dan konfrontasi terbuka terhadap suatu negara yang akan menimbulkan instabilitas. Bahkan lebih jauh lagi, instrumentalisasi informasi melalui propaganda akan mendorong masyarakat suatu negara untuk melakukan gerakan sosial resistensi yang akan mengancam kedaulatan negara (Huang & Cruz, 2021).
Dengan berbagai elaborasi tersebut, instrumentalisasi dan perang informasi dapat dinilai sebagai strategi yang efektif dalam mengartikulasikan kepentingan suatu negara. Hal tersebut juga memudahkan aktor negara untuk melawan atau mengeliminasi kekuatan negara lainnya. Selain itu, biaya finansial dan waktu yang dikeluarkan juga sangat sedikit jika dibandingkan strategi perang lainnya. Narasi persuasi dan media menjadi kunci utama dalam memenangkan perang informasi. Dalam hal ini, pihak yang menang adalah mereka yang mampu mengendalikan narasi dan memperoleh respon positif publik. Dalam perkembangannya, perang informasi terdiri dari berbagai teknik diantaranya information collection, transportation, protection, manipulation, disturbance, degradation, dan denial (Burns, 1999). Teknik tersebut banyak dimanfaatkan untuk menaikkan ataupun menurunkan eskalasi konflik antar negara sehingga menguntungkan salah satu pihak yang terlibat. Selain itu, instrumentalisasi juga mendorong pada konstruksi Us melawan Them sehingga memunculkan segmentasi dalam merespon suatu peristiwa (Wondolleck et al., 2003).
Perang informasi tersebut pernah dipraktikkan oleh Rusia ketika menganeksasi Krimea yang merupakan bagian dari Ukraina pada 2014. Rusia berusaha mempengaruhi sikap negara- negara Eropa Timur agar mendukung tindakan aneksasi tersebut. Hal itu dilakukan dengan membeli dukungan para politisi, menyerang infrastruktur informasi negara lawan, serta memanfaatkan internet robot untuk mempengaruhi para pengguna media sosial (Holloway, 2017). Praktik tersebut merupakan bagian dari strategi control escalation untuk menghindari perang terbuka dengan NATO (North Atlantic Treaty Organization). Selain itu, Russia juga melakukan instrumentalisasi informasi pada pemilihan Presiden Amerika Serikat pada 2016 yang dimenangkan oleh Donald Trump. Serangan tersebut dilakukan oleh intelijen Rusia dengan menurunkan elektabilitas Hillary Clinton dan meningkatkan kampanye media sosial Donald Trump. Hal tersebut dinilai berhasil karena Rusia dapat lebih berkembang secara

ekonomi maupun militer akibat kemunduran politik luar negeri Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Donald Trump (Marinea, 2020).
Dalam perkembangannya, Rusia juga melancarkan perang informasi dalam invasi ke Ukraina pada 24 Februari 2022. Ketika itu, Presiden Putin memobilisasi pasukan militer untuk menguasai perbatasan timur Ukraina utamanya di wilayah Donetsk dan Luhansk. Secara bersamaan, Rusia juga melancarkan propaganda di Twitter dan Facebook dengan narasi bahwa Pemerintahan Ukraina telah melakukan persekusi terhadap masyarakat sipil di kedua wilayah tersebut (Pankieiev, 2022). Dengan demikian, tindakan militer Rusia dilakukan untuk merespon krisis tersebut sehingga memperoleh pembenaran dan dukungan dari masyarakat internasional. Tidak hanya sampai disitu, narasi pro-invasi diperluas melalui berdirinya The Donetsk and The Luhansk People’s Republic yang diinisiasi masyarakat setempat. Dengan demikian, Rusia mendukungkemerdekaan wilayahtersebut karena mereka memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri. Instrumentalisasi informasi oleh Rusia tersebut dinilai berhasil pada awal invasi sebelum Ukraina melancarkan counter-propaganda.
Setelah serangkaian serangan militer oleh Rusia, Presiden Volodymyr Zelensky melancarkan kontra propaganda melalui rekaman video yang didistribusikan di media sosial. Video tersebut menunjukkan bahwa Zelensky tidak akan meninggalkan Ukraina dan akan terus berjuang bersama dengan rakyatnya. Tindakan tersebut dinilai heroik dan mampu mengubah persepsi negara lain untuk mendukung Ukraina. Keberhasilan tersebut tidak terlepas dari kemampuan analisis Ukraina dalam menciptakan kontra narasi yang efektif terhadap Rusia. Zelensky menganalogikan Rusia tidak lebihnya sebagai penjajah, dan narasi persekusi terhadap masyarakat Donetsk maupun Luhansk merupakan hoax (Heffernan, 2022). Selain itu, masyarakat sipil di Ukraina secara konsisten juga mendistribusikan gambaran mengenai kehancuran dan korban jiwa dari serangan invasi Rusia. Hal tersebut membuat masyarakat internasional marah dan mengutuk tindakan Rusia dengan memberlakukan sanksi ekonomi melalui instrumen ekspor dan impor. Ukraina juga memperoleh berbagai bantuan finansial dan militer dari negara-negara lainnya. Hal tersebut membuat propaganda Rusia tidak memiliki kapasitas dalam mempengaruhi persepsi publik, dan perang informasi dimenangkan oleh Ukraina yang membuat keamanan nasional Rusia semakin terancam.
Efektivitas instrumentalisasi informasi sebagai sebuah strategi juga ditopang oleh sulitnya antisipasi dan mekanisme deterrence dari serangan tersebut. Pasalnya dalam peperangan tradisional, sebuah negara dapat mengantisipasi serangan melalui informasi intelijen sehingga mampu merespon lebih cepat dan terarah (Commin & Filiol, 2015). Kondisi tersebut kurang relevan dalam situasi peperangan informasi melalui propaganda karena

minimnya pengetahuan intelijen terkait sumber dan letak lokasi musuh. Hal tersebut didukung oleh perkembangan teknologi VPN (Virtual Private Network) yang merupakan layanan untuk menyembunyikan lalu lintas pertukaran data. Dengan demikian, data yang didistribusikan akan terenkripsi sehingga lokasi dan identitas propagandis sulit untuk dilacak. Selain itu, hadirnya internet robot membuat amplifikasi informasi semakin cepat meluas sehingga negara sulit untuk menahan informasi dari akun-akun tersebut (DiResta, 2021).
Tidak hanya itu saja, sulitnya penerapan deterrence dalam perang informasi juga terjadi karena minimnya kapasitas dalam membedakan teman dan musuh. Kesulitan atribusi tersebut terjadi karena adanya sulitnya informasi intelijen negara dalam menembus ranah privat individu (Commin & Filiol, 2015). Pasalnya, narasi yang berkembang tersebut tidak mudah dikaitkan dengan tindakan individu maupun institusi jika tanpa adanya self credit. Dalam perkembangannya, pelaku dalam serangan informasi justru sering ditemukan berasal dari internal suatu negara. Individu tersebut membocorkan informasi rahasia negara untuk didistribusikan kepada publik dengan tujuan tertentu. Peristiwa serangan tersebut pernah dialami oleh Amerika Serikat melalui situs WikiLeaks oleh pada tahun 2006. Situs tersebut banyak menerbitkan dokumen dan informasi intelijen Amerika Serikat terutama berkaitan dengan perang di Timur Tengah. Serangan informasi tersebut mengancam keamanan nasional berkaitan dengan menurunnya kepercayaan masyarakat internasional terhadap Amerika Serikat. Dengan demikian, sulitnya mekanisme deterrence mendorong negara-negara tersebut lebih sering melakukan perang informasi dalam mencapai kepentingannya (Prislan & Bernik, 2012).
Meskipun demikian, perang informasi sebagai sumber ancaman harus tetap dimitigasi dan dieliminasi untuk menjaga keamanan negara. Hal tersebut dapat dilakukan melalui pembentukan NTF (National Task Force) maupun polisi siber yang mengawasi lalu lintas data dan informasi. Pembentukan entitas tersebut dilakukan sebagai upaya melakukan konter narasi jika terdapat informasi yang salah dan menyesatkan (Fee, 2021). Selain itu, negara juga harus membangun sarana komunikasi yang baik dengan konstituen dan masyarakat internasional. Dengan demikian, konter narasi melalui informasi yang disampaikan oleh negara dapat secara efektif melemahkan kapasitas para propagandis lawan.
Namun perlu disadari, penerapan dari upaya tersebut mengorbankan aspek kebebasan dan demokrasi di suatu negara. Pasalnya, suatu informasi yang memuat ide, gagasan, dan pengetahuan yang didistribusikan kepada publik harus memperoleh justifikasi kebenaran dari negara. Hal tersebut cukup berbahaya karena standar kebenaran negara kerap berkelindan dengan kepentingan agen politik di dalamnya. Dengan kata lain, negara juga dapat

membungkam informasi yang mengandung kebenaran karena berisiko akan menjatuhkan kredibilitas suatu aktor politik (Jacobsen, 2021). Namun, sensor tetap menjadi pilihan utama sejauh dapat mengamankan eksistensi negara dari ancaman internal maupun eksternal.
Upaya lainnya yang dapat dilakukan negara yaitu memperkuat infrastruktur terkait penguasaan jaringan informasi dan teknologi komunikasi. Hal tersebut sebagai upaya antisipasi terhadap serangan informasi yang dilakukan bersamaan dengan pelumpuhan sistem, sehingga negara tetap memiliki kapasitas untuk melakukan konter narasi (Engstrom, 2018). Selain itu, negara harus menegaskan kembali instrumen hukum domestik yang mengatur terkait tindakan kriminal mengenai pertukaran informasi. Dengan demikian, masyarakat menjadi semakin bertanggung jawab dalam mendistribusikan informasi dan meminimalisir adanya amplifikasi berita menyesatkan yang mengancam keamanan negara. Upaya lain yang harus dilakukan negara dalam lingkup internasional yaitu menyepakati instrumen hukum yang mengatur permasalahan terkait. Hal tersebut cukup penting karena perang informasi yang terjadi di ruang siber kerap kali tidak dapat dibatasi oleh ruang teritorial fisik. Oleh sebab itu, sifatnya yang lintas batas negara maka memerlukan penanganan khusus dari masyarakat internasional.
Pada akhirnya, perang informasi dalam invasi Rusia ke Ukraina memberikan banyak pelajaran penting mengenai implikasi serius berupa ancaman terhadap keamanan negara. Hal tersebut semakin kompleks dengan perkembangan teknologi dan proliferasi aktor-aktor non negara yang semakin canggih dalam memanfaatkan data dan informasi. Dengan demikian, setiap negara juga harus meningkatkan kapasitasnyadalam mengeliminasi setiap kemungkinan ancaman dalam perang informasi. Selain itu, negara juga harus membangun komunikasi intensif dengan perusahaan teknologi komunikasi sebagai upaya kontrol dan regulasi terhadap arus pertukaran informasi. Hal tersebut cukup penting karena perang informasi terjadi di ruang virtual yang tidak terikat di dalam wilayah teritorial atau negara dalam arti tradisional.

Referensi

Avraham, E. (2017). Changing the Conversation: How Developing Countries Handle the International Media During Disasters, Conflicts, and Tourism Crises. Journal of Information Policy, 7, 275–296. https://doi.org/10.5325/jinfopoli.7.2017.0275

Baldwin, D. A. (1997). The Concept of Security. Review of International Studies, 23(1), 5–

26. http://www.jstor.org/stable/20097464

Burns, A. (1999). Collaborative Action Research for English Language Teachers. Cambridge University Press.

Commin, G., & Filiol, E. (2015). Unrestricted Warfare Versus Western Traditional Warfare: A Comparative Study. Journal of Information Warfare, 14(1), 14–23. https://www.jstor.org/stable/26487515

Cox, R. W. (1981). Social Forces, States and World Orders: Beyond International Relations Theory. Millennium: Journal of International Studies, 10(2), 126–155. https://doi.org/10.1177/03058298810100020501

DiResta, R. (2021, October 11). It’s Not Misinformation. It’s Amplified Propaganda. The Atlantic. https://www.theatlantic.com/ideas/archive/2021/10/disinformation- propaganda-amplification-ampliganda/620334/

Engstrom, J. G. (2018). Systems Confrontation And System Destruction Warfare: How the Chinese People’s Liberation Army seeks to wage modern warfare . Rand Corporation.

Fee, J. (2021, February 17). Information warfare: Fighting for narrative dominance in a time of crisis. Encyclopedia Geopolitica.

https://encyclopediageopolitica.com/2020/06/07/information-warfare-fighting-for- narrative-dominance-in-a-time-of-crisis/

Heffernan, V. (2022, May 22). Volodymyr Zelensky and The Art of The War Story. Wired. https://www.wired.com/story/volodymyr-zelensky-video-ukraine-war/

Holloway, M. (2017, May 10). How Russia Weaponized Social Media in Crimea. The Strategy Bridge. https://thestrategybridge.org/the-bridge/2017/5/10/how-russia- weaponized-social-media-in-crimea

Huang, H., & Cruz, N. (2021). Propaganda, Presumed Influence, and Collective Protest.

Political Behavior, 1–23. https://doi.org/10.1007/s11109-021-09683-0

Jacobsen, E. L. (2021, January 18). How to Control The Masses by Silencing The Press. – The Diplomat. https://thediplomat.com/2021/01/how-to-control-the-masses-by-silencing- the-press/

Marinea, S. (2022, April 11). Fact Check us: What is the Impact of Russian Interference in The US Presidential Election? The Conversation. https://theconversation.com/fact-check- us-what-is-the-impact-of-russian-interference-in-the-us-presidential-election-146711

Pankieiev, O. (2022, June 5). How Russia’s Unanswered Propaganda Led to The War in Ukraine. The Conversation. https://theconversation.com/how-russias-unanswered- propaganda-led-to-the-war-in-ukraine-180202

Prislan, K., & Bernik, I. (2012). Global and National Take on State information Warfare.

Journal of Information Warfare, 11(2), 37–53. https://www.jstor.org/stable/26486777

Wondolleck, J. M., Gray, B., & Bryan, T. (2003). Us Versus Them: How Identities and Characterizations Influence Conflict. Environmental Practice, 5(3), 207–213. https://doi.org/10.1017/s1466046603035592



Ananda Dimas Bagaskara adalah mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Gajah Mada. Dapat ditemukan di Instagram dan Twitter dengan nama pengguna @adbagaskaraa dan @anandabgskara

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *